Friday, 22 March 2019

Millenial Punya Target

Ini salah satu celetukan seorang millenial di sosial media twiteer, 
"Hehe orang Indonesia emang deh umur 25 seakan-akan udah harus punya segalanya; suami, anak, rumah, investasi, asuransi, karir sukses, bahagiain ortu (materiil), S2, S3, Haji, omg berat banget culture dan pressure ini lol".

Memiliki target dalam hidup itu adalah suatu hal yang positif, hidup memang perlu di rencanakan dan di usahakan dengan baik. Karena hidup di dunia cuma sekali. Namun target seperti apa yang membuat kita tak terbebani? target yang terukur dengan kemampuan kita, target orang lain belum cocok dengan diri kita sendiri. Jadi dalam menyusun target hidup memang target yang di tuju haruslah logis. 

Sebagai millenial yang memiliki target, target yang ku miliki tak ada ubahnya seperti status twiteer di atas, tapi target yang ku buat cukup terukur. Misalnya S2, aku memang akan memulai kuliah S2 di umur 24 tahun, alhamdulillah aku sudah mendapat beasiswa, lulus S2 di usia 26 - 27 tahun, menikah setelah S2 selesai, karir sukses ? (aku juga pengen tetapi ini masig tentatif ya, aku masih melihat peluang yang paling suitable dengan diriku), investasi (of course, nah jumlah investasi setiap orang bisa beda-beda, menurutku ya sekitar 5-10% dari penghasilan bulanan), bahagiain ortu dalam hal materi ya ada tapi tidak besar juga, ya sekitar 5%-10% dari pendapatan, punya rumah ini salah satu impian juga, tapi belum keharusan untuk membelinya saat ini karena setelah lulus S2 belum tahu akan menetap dimana, namun hal itu termasuk dalam sasaran target, tapi juga tak memaksakan diri, berusaha hukumnya wajib.

Menurutku yang penting adalah mindset yang perlu diatur, dalam hidup tak perlu ikut-ikutan orang lain, sehingga membuat kita merasa tertekan. 



Friday, 8 March 2019

Beradaptasi

Pengalaman hidup, lingkungan dan latar belakang pendidikan sangat mempengaruhi cara seseorang dalam mengambil keputusan. Di keluargaku sendiri masih di temui arogansi mengenai suku yang dimiliki. Keluarga ibuku sangat membanggakan adat yang mereka pakai, memang tak salah, memang adanya pride sendiri dengan suku yang kita anut. Akupun bangga lahir secara tulen menjadi orang minang,  alamnya yang indah, standard sopan santun yang tinggi, masyarakat yang religius dan makanannya yang lezat. Bagaimana tidak aku selalu merindukan kampung.

Aku belajar budaya minang baik secara formal maupun non formal. 9 tahun aku menimbanya secara formal di bangku sekolah, dan seumur hidup aku belajarnya secara non formal alias dari kehidupan sehari-hari menjadi orang minang. Minangkabau sangat unik dan apalagi orang-orangnya. Minangkabau merupakan suku terbesar yang menganut matrilineal, bahwa garis keturunannya bedasarkan dari ibu, sehingga suku pun diwariskan dari ibu, warisanpun juga di turunkan pada perempuan. Peran keluarga ibu sangatlah tinggi di minangkabau. Di karenakan keunikannya itulah terkadang menghadirkan masalah-masalah unik di dalam internal masing-masing lingkungan masyarakatnya, salah satunya tentang pernikahan dengan suku di luar minangkabau yang secara umum menganut matrilineal dan hal ini lumrah terjadi. Percaya atau tidak, orang tua dari anak-anak yang tulen minang pasti menginginkan anaknya menikah dengan orang minang yang tulen lagi. Menurut pandangan mereka, mereka saling lebih mudah mengerti karna budaya, adat istiadat yang mereka pakaipun sama sehingga akan minim konflik. 

Akupun paham, 6 tahun merantau membuatku sangat mengerti akan perbedaan berinteraksi dengan teman yang berasal dari suku non-minang. Namun justru selama merantau justru aku punya banyak sahabat yang bukan orang minang, dan banyak sekali aku dibantu oleh mereka. Memang berbeda cara berinteraksi dengan teman yang minang dan non minang. Namun keduanya dapat aku terima. Beberapa perbedaan di antaranya adalah (ini hanya subjektif berdasarkan pandanganku saja, mungkin bagi orang lain bisa berbeda):

Minang => teman-teman yang minang cendrung sensitif dan peka (bukan negatif), mereka sangat lihat melihat gelagat dan kondisi, sehingga mereka cendrung lebih mudah memposisikan diri dalam mengutarakan sesuatu, selain itu basa-basi mereka itu sangat tinggi untuk hal yang kecil mereka tidak perhitungan, dan laki-laki minang dalam berteman pun sangat melindungi misal (jika pulang dari kampus bersama, ia akan mengantarkannya sampai depan kos dan tidak akan beranjak pergi sebelum saya masuk dan sudah selesai mengunci pintu kos), sikap-sikap gentle seperti itu membuat beberapa teman saya yang non minangpun lebih mudah baper, selain itu mereka ringan tangan untuk menolong, karena bagi mereka perempuan sangat di hargainya.

Non minang => hal yang saya suka dari orang non-minang adalah mereka cendrung tegas, dan frontal untuk mengungkapkan sesuatu, misal nih dia bawa kue dan menawarkannya pada teman-temannya dengan kondisi teman2nya ini bukan teman akrab, ketika temannya mengambil agak banyak dia spontan bilang "jangan ambil banyak-banyak", kalau aku tak terbiasa dengan berbaur seperti ini mungkin aku akan tersinggung wkwk.

Pada awalnya memang akupun merasa dianggap menjadi orang kaku, tidak bisa diajak bekerja sama di awal-awal aku merantau di Bandung oleh teman-temanku, dikarenakan memang cara berkomunikasi kamipun agak berbeda. Lambat-laun akupun beradaptasi, karena sesuai falsafah hidup orang minang "Dimana bumi di pijak disitu langit dijunjung", sehingga pada akhirnya akupun bisa membaur dan memiliki sahabat-sahabat yang bukan orang minang.