Showing posts with label quarter life crisis. Show all posts
Showing posts with label quarter life crisis. Show all posts

Sunday, 7 July 2019

Ingin Punya Rumah

Akhir-akhir aku merasa kurang semangat gitu, karena rutinitas, dan hal-hal lain yang tidak sesuai rencana. Contohnya masalah gigi bungsu yang tumbuh mengganggu ini, membuat hari-hariku sedikit terganggu dan jadi repot untuk urus mengurus rujukan ke rumah sakit, dikarenakan aku pakai bpjs. Ya, kalau bukan dengan asuransi ini, biaya yang dikeluarkan akan sangat membengkak sekali, ya tak apa walau mesti antri berjam-jam. Ke 4 gigi bungsu ku disarankan di cabut, karena akan memberikan masalah. Hal-hal seperti ini membuatku agak sedikit lelah dikarenakan semuanya harus di hadapi sendirian tanpa keluarga. Bahkan aku tak bisa membayangkan jika operasi ke 4 gigi tersebut dan harus menginap, siapa yang akan menunggui di rumah sakit. Inilah salah satu yang membuatku harus mencari solusinya. 

Untuk menghilangkan stress karena si gigi, aku streaming di youtube. Tak sengaja aku menonton acara tentang gaya hidup minimalis dan rumah yang di desain se minimalis mungkin ya karena harga tanah sangat mahal. Aku kepikiran bisa ga ya setelah nikah aku punya rumah, tak apa kecilpun jadi, yang penting ada tempat berteduh dari panas dan hujan daripada harus ngontrak, tapi disisi lain mana mampu pasangan muda beli rumah kalau ga ngutang, tapi disisi lain takut riba juga. Hmmm aku jadi rajin menghitung akhir-akhir ini.

Simulasi pendanaan beli rumah:
1. Beli Cash ---> tapi ga punya cukup uang kalau pakai uang sendiri
2. Cari yang second, yang orangnya butuh cepat (ini agak untung-untungan, uangnya juga belum tentu cukup)
3. Ngontrak, ngumpulin uang baru beli tanah dan bangun ---> kelamaan, harga tanahnya nanti naik, dan uang kontrakannya sayang :( .
4. Kumpulin uang 3 tahun ini dan beli tanahnya aja dulu. ya ngumpulinnya berdua, jangan sendiri aja. Dan buat bangun, sisa uang dari beli tanah, atau minjam duit mertua mungkin wkwk, dan dicicil bayarnya (daripada nyicil ke bank, ye kan?).
5. KPR, ---> ngutang lama banget, lebih mahal dari harga build sendiri, dan repot kalau pasangan yang anti riba, pasti kaga mau. Ngutangnya kelamaan juga.
6. KPR syariah, embel-embel ga riba, tapi justru jadi ladang bisnis banget buat developer atau pihak yang sama si banknya, harganya lebih mahal di banding KPR biasa.

Setelah itung-itung mengitung, aku prefer pengen metode 4. Ya ngumpulin uang dulu, ga apa-apa deh aku harus ngirit, atau ga beli baju baru dsb, karena aku ga gitu ngiler sama baju, tas, cuma kalau lihat rumah aku sangat-sangat ke pengen banget, atau ga apa2 deh nikah tanpa resepsi juga wkwk, asal biayanya bisa buat bikin rumah.

Akhirnya cobalah itung-itung lagi, berapa perkiraan budget dan sebagainya. Kira-kira beli tanah 45 m2, trus aku modelin 3D, dengan bekal kemampuan pemodelan 3D seadanya, ya cukup sih, dapat 2 kamar di bikin bertingkat dan sedikit halaman belakang.
Berikut inilah gambar-gambar imajinasi yang kutuangkan dengan pemodelan 3D:

ruang makan yang menghadap ke taman belakang, ingin deh nanam-nanam di belakang itu


living room, dan dapur mini

Ini tampah perspektif dari living room, sengaja di desain tanpa sekat biar terlihat lapang dan sirkulasi udara dan cahaya jadi lancar, jadi akan minim penggunaan energi litstrik jadi bisa eco friendly. Pemodelan tangganya agak sedikit salah, tapi tak apa yang penting bisa disimulasikan. Lumayan deh ini siapa tau bisa diajukan sebagai proposal peminjaman uang ke mertua ya nanti kalau udah punya pasangan wkwk.

living room yang merangkap jadi ruang tamu juga, kalau tamunya rame bisa di tambah stool aja sebagai tempat duduk

kamar tamu, atau anak deh kalau udah punya anak

balkon lantai 2, toilet dan semua kamar dilantai 2

Tampak Eksterior dari luar

Karena mengerjakan ini, aku sampai lupa tidur dan baru kelar sekitar subuh, agak sedikit memutar otak sih memang, dikarenakan tanah sangat sempit dan budget pas-pasan, namun tetap ingin terlihat artistik dan minimalis, di postingan berikutnya aku ingin bikin hitungan berapa rencana anggaran biaya untuk rumah seperti ini. Yap itulah hayalanku yang baru ku tuangkan dalam bentuk digital saja, actionnya sekarang nabung dulu. Terima kasih sudah menyimak artikel sederhana ini.



Saturday, 4 May 2019

Nikah Muda

Sebetulnya postingan aku tentang nikah muda ini, bukan karena aku telah menjalani nikah muda wkwk, aku sama sekali belum menikah. Ini hanya pandanganku tentang nikah muda. Beberapa kali aku mendapat saran ataupun pernyataan tentang anjuran menikah "kalau udah nemu parnert hidup, ataupun pasangan cocok, solusinya ya menikah. make it simple", itu kata mereka. Namun pikiran yang berkelabat di kepalaku bukan se simple itu. Nikah bukan cuma tentang kamu dan dia, tapi tentang kehidupanmu dan kehidupannya. 

Ketika buka instagram, seringkali berkeliaran foto-foto teman yang nikah, ada yang lagi hamil, dan ada juga yang udah lahiran. Aku bahagia melihat mereka, bukan iri. Tapi bukan berarti aku tak pernah ingin memiliki kehidupan seperti itu juga, tapi ga se simple itu. Masa lalu dan pengalaman kehidupan setiap orang beda-beda. Kedua hal itulah yang membuat aku berpikir bahwa membangun rumah tangga itu ga simple. Kehidupan setelah menikah, bukan hanya enak-enak di atas ranjang, tetapi juga jutaan konflik yang mesti di selesaikan.

Aku tidak pernah menyalahkan atau kontra terhadap orang yang menikah muda, tapi aku hanya menjelaskan bahwa itu tidak cocok jika jalani oleh diriku, dan itu terang-terangan aku beri tahu pada seseorang yang aku suka. Banyak perempuan yang mendesak pasangan atau pacarnya untuk segera menikahinya, sementara pasangannya belum siap secara finansial, aku mengerti mengapa banyak perempuan melakukan itu, karena beberapa alasan, umur yang udah makin menua, takut dosa dan sebagainya. 

Bukan matrealistis ataupun bagaimana, menjalani kehidupan berumah tangga memang ga cukup hanya dengan cinta, walaupun cinta memang landasan yang penting. Tapi setidaknya, coba lah belajar mengestimasi, apakah cukup safe dengan keadaan yang ada untuk menjalani rumah tangga?. Untuk menikah, memang tak harus punya rumah dulu, tapi setidaknya perkirakan apakah pendapatanmu bisa menghidupi minimal dirimu berdua saja dulu?, minimal apakah kamu sudah bisa mengelola keuanganmu secara baik?, kalau masih di support orang tua terus-menerus sampai kapan?. Biaya akan semakin lebih besar ketika kamu punya anak, biaya melahirkan, biaya pendidikan anak dan sebagainya?.

Teman-temanku yang sudah menikah, memang rata-rata mereka sudah mampu secara finansial, atau minimal suaminya punya usaha ataupun pekerjaan yang bagus, atau separah-parahnya punya keluarga yang siap siaga menyuport keadaannya ketika jatuh. Menurutku, ya pantas-pantas saja mereka menikah muda. 

Tapi keadaan orang lain belum tentu cocok dengan diri kita kan?. Kalau aku memang memilih untuk selesai dengan diriku sendiri dulu, pengalaman masa lalu masih membuatku trauma untuk menjalani pernikahan di bawah umur 26 tahun. Aku tidak ingin anak-anakku kelak merasakan hidup terlalu keras, aku ingin memutus mata rantai kesulitan finansial di keluargaku. Sebetulnya, seburuk-buruknya kondisi ekonomi keluargaku, kami tidak pernah berhutang, ataupun meminta-minta pada orang lain ataupun saudara, namun pada kenyataannya tetap saja sering di hina, di caci, di remehkan, direndahkan oleh keluarga sendiri, bahkan aku di perlakukan hampir seperti pembantu di rumah nenekku sendiri di masa kecil hingga remaja. Hinaan paling pedih yang pernah ku terima bahwa diriku tak punya masa depan, dan tidak akan sekolah tinggi. Bukan dendam, tapi kata-kata itu sering kali masih tergiang di telingaku. Itulah yang mendasari mengapa aku tidak memiliki kecendrungan untuk nikah muda.


Thursday, 18 October 2018

Quarter Life Crisis - Part IV - Kapan Nikah?

Setelah memasuki umur lebih dari 25, percayalah pertanyaan "kapan nikah" akan menjadi pertanyaan yang membisingkan di telinga.

Sekarang umurku 23 tahun, tapi aku belum merasakan hal ini kentara, tapi aku yakin akan melewati fase itu, and now, I'm preparing. Di usia 23 tahun, beberapa teman SMP, SMA, dan kuliah sudah banyak yang married. Sebetulnya ku tak menginginkan secepat itu, ya aku ingin menikah diatas usia 25 atau 26 tahun tapi yang jelas di bawah 30 tahun.

Kembali pada pengamatanku pada kawan-kawan seumuranku, biasanya mereka sudah punya pacar atau kecengan yang siap diajak melangkah lebih. Jangan tanya aku kapan wkwk. Aku sempat melakukan riset kecil-kecilan mengenai pertanyaan sensitif ini pada kawan-kawanku yang sudah beranjak umur diatas 26 tahun, yea wawancara yang cukup menantang bukan hehe. Ada resiko bakal di jauhin sama mereka, tapi aku cukup pandai membawakan wawancara ini, tanpa membuat mereka merasa tersinggung, dengan cara berlakulah sebagai sahabatnya dan jangan mengguruinya.

Berikut hasil pengamatanku dengan beberapa responden, yang dinominasi perempuan. Memang targetku respondennya perempuan, karena perempuanlah yang sangat krisis untuk soal umur pernikahan, banyak faktor diantaranya, kesuburan, dan daya tarik bagi lawan jenis. Karena kenyataan di lapangan membuktikan bahwa kecendrungannya laki-laki lebih senang memiliki pasangan yang umurnya lebih muda darinya. Postingan ini tidak bermaksud memojokan kaum perempuan, tapi agar kita sama-sama respect dan paham salah satu bentuk quarter life crisis yang nyata dalam hidup salah satunya ini.

Responden pertama A, umur menginjak 30 tahun, perempuan.

A mengaku diusia tersebut belum memiliki teman kencan, bahkan seumur hidup belum pernah pacaran. Sempat di jodoh-jodohkan oleh orang tua tetapi belum sesuai dengan seleranya. Sempat jatuh cinta pada pria yang benar-benar cocok dengan dirinya, tapi kehendak kenyataan berkata lain. Ia memang memiliki niat menikah, tapi hanya dengan orang yang bisa membuatnya jatuh cinta. Selama pergi jalan-jalan, reunian, rata-rata ia menemui teman pria seumurannya sudah menikah. Bingung juga gebet yang mana.

Responden B, umur 27 tahun, perempuan.

Kalau responden B memang agak menutup diri. Bahkan ia belum pernah yang benar-benar srek dengan seorang pria. Dan belum ada yang mengalihkan perhatiannya. Kondisi hidupnya memang berat, keluarganya broken home, dia menderita bipolar dan bertahun-tahun mengkonsumsi obat anti depresan. Orang tua sempat menjodoh-jodohkannya, tapi belum nemu yang klik.

Responden C, 28 tahun, perempuan.

Wawancara dengan responden C ini melalui adiknya, bukan melalui orangnya langsung karena nggak kenal hehe. C merupakan salah seorang karyawan BUMN yang bonafit, karirnya bagus, dan ya kesejahteraannya sudah terjamin. Belum menikah karena ya belum ketemu yang melamar. Sempat dekat dengan seorang rekan kerja di perusahaan yang sama, namun peraturan di perusahaan tidak diijinkan menikah sesama karyawan, salah satunya harus mengundurkan diri jika sudah berstatus karyawan tetap.

Responden D, 32 tahun, perempuan

Sebetulnya ini kakaknya si C, C juga pegawai salah satu BUMN. Karir bagus dan sudah menikah dengan suaminya yang bekerja sebagai kontraktor lokal, tapi diusia 30 tahun. Suaminya merupakan teman SMA nya. Sempat hamil, tapi keguguran karena kandungannya lemah.

Responden E, 27 tahun, laki-laki

Memilih belum menikah karena masih mencari yang terbaik, sedang gencar-gencarnya melakukan penjajakan ke berbagai wanita sekaligus, incaran yang di cari dinominasi yang bekerja di sektor kesehatan terutama dokter, dan lulusan universitas bonafit lainnya. Sempat berpacaran dengan seorang dokter, tak di jelaskan mengapa kandas di tengah jalan.

Responden F, 27 tahun, belum menikah.

F belum menikah karena beberapa faktor, belum ada yang melamar, jatuh cinta pernah, tapi di simpan diam-diam. Kakaknya belum menikah, ya sejauh ini merasa aman-aman saja karena kakaknyalah yang dibombardir dengan pertanyaan kapan nikah. Selain itu ia sedang ingin fokus studi S3 di luar negeri. F memang anak yang senang belajar, untuk urusan pendidikan ia bagaikan atlet marathon, kuat tanpa jeda berkuliah dari TK hingga S3.

Saya menarik suatu kesimpulan bahwa banyak responden yang melajang di atas usia 26, karena bebarapa faktor berikut:
1. Belum menemukan yang cocok
2. Belum adanya yang siap melamar
3. Mindset laki-laki lebih senang yang umurnya lebih muda
4. Sibuk karir dengan karir/pendidikan
5. Selektif
6. Peraturan perusahaan/ tempat kerja
7. Kakak yang belum menikah
8. Masih nyaman sendiri (ini mah aku tambah-tambahin aja biar rame hehe)

Tapi memang tak bisa di pungkiri juga untuk menemukan seseorang yang tepat itu ibaratnya trial n' eror, atau semacam looping dan interasi. Misal coba dekat dengan A, ah ternyata nggak match, coba dengan B masih nggak, dengan C eh cocok. Ada yang iterasinya cepat konvergen ke suatu titik yaitu si dia yang jadi jodoh, ada juga yang lama, tapi kan tetap konvergen. Mungkinkah inetrasi ini akan divergen? menjalani iterasi yang divergen memang melelahkan tidak ada gunanya. Tapi itulah hidup, yaitu untuk hal ini agak misterius, apakah konvergen atau divergen? ga ada yang tau. Yang bisa diusahakan adalah mengusahakan yang terbaik yang kita mampu.

Salah satu yang dapat dilakukan adalah memperluas pergaulan dan mencari mak comblang. Sebetulnya beberapa dari kita terutama perempuan, malu menggunakan jasa mak comblang, ada yang merasa takut dianggap agresif, atau kebelet banget nikah atau sejenisnya. Dogma dimasyarakat bahwa perempuan hanya berlaku menunggu itu bisa jadi salah satu faktor pemicu kelajangan di usia diatas 26. Tapi mungkin caranya yang kurang tepat. Kawan dekatku sempat bercerita tentang ta'aruf proses, yang mana salah satu rangkaiannya dengan sebar CV, tapi melalui perantara yang di dapat di percaya. Dan hal ini tanpa harus mengurangi kehormatan seorang perempuan. Kalau ada diantara orang yang ditawarkan CV ini klik, maka barulah CV yang laki-laki di tawarkan ke perempuan itu. Kalau nggak cocok ya sudah, tapi kalau cocok lanjut ke tahap kenal lebih lanjut. Menarik sih ya proses ini. Mungkin buat kamu yang tengah mengalami qurter life crisis seperti ini, bisa di coba cara ini, siapa tau membantu.







Sunday, 30 September 2018

Quarter Life Crisis - Part II - Setelah Lulus Kuliah Harus Kerja

Ada suatu Dogma di masyarakat bahwa ajang pembuktian diri dari sebuah kesuksesan bahwa setelah wisuda adalah mesti kerja. Tak ada yang salah memang setelah wisuda langsung mencari pekerjaan, dan bebas finansial dari orang tua. 

Setelah lulus kuliah, aku di recoki pertanyaan seperti ini: kerja dimana sekarang? Ngapain aja sekarang?. What?. Kadang ku ingin bertanya "Bolehkah aku menghirup udara kebebasan sebentar saja?", "Tahukah kamu pertanyaanmu membuat orang lain gelisah?". Ketika yang bertanya adalah teman seangkatan atau mereka-mereka yang sudah mengalami fase yang sama, aku biasa saja mendengar pertanyaan seperti itu, karena aku tahu mereka mengerti setelah melewati fase ini. Namun berbeda dengan  orang lain saudara-saudara yang kepo maximal sama hidupku ini, termasuk bahkan penjual lontong Padang pun ikut kepo maximal dan bertanya dengan pertanyaan "Setelah lulus ngapain aja? cuma makan tidur doang di kosan?". Ditodong dengan pertanyaan seperti itu setelah merasakan kegagalan rekruitmen di perusahaan yang udah lama pengen di terima disitu, rasanya aduh.

2 Bulan masa kosong sebelum bekerja benar-benar terasa bagai neraka, padahal niat awal setelah lulus ingin benar-benar pure libur tidak di tanyakan pertanyaan sana sini bahwa aku akan apa dan bagaimana. I need times to relax, refreshing and know what I will do, and know what I want. 

Please, jika kalian entah punya saudara, teman, atau rekan kerja. Jangan kepoin hidup mereka setelah lulus, biarkan mereka settle down dengan apa yang mereka alami. Justru dengan merecoki mereka dengan pertanyaan itu membuat kepala mereka semakin rumit. 

Masyarakat terdoktrin bahwa, hidup yang nyaman itu punya pekerjaan tetap seperti di BUMN, dan PNS. Tak heran memang banyak orang yang berebutan untuk menjadi seorang PNS. Kita tidak terdoktrin bagaimana untuk membuka usaha dan membuka lapangan kerja. Ayah pernah berkata "Goal seorang lulusan sarjana itu membuka lapangan kerja, bukan di pekerjakan". Kata-kata ini seperti angin lalu karena ayah sendiri tidak membuktikan bahwa ia berusaha mencapai goal itu, membuka lapangan pekerjaan sendiri untuk anaknya pun tidak. 

Sampai di suatu titik aku berpikir, aku mengikuti dogma masyarakat, harus bekerja setelah lulus kuliah dengan pekerjaan yang tetap, selama 1 tahun pasca kelulusan aku menjadi job seeker, rekruitment 1 BUMN menghabiskan 1-3 bulan. Lama, dan melelahkan. Apalagi dengan kenyataan "tidak lolos seleksi", sakit tapi ga berdarah kata anak jaman sekarang. 

Dan bosan dengan hal itu, aku terpikir ingin S2, jadilah aku mendaftar beasiswa XXXX. Namun selang beberapa bulan usai seleksi, CPNS buka, semua orang membombardir ku untuk daftar dan ikut seleksi cpns. Sampai menanyakan berapa living allowance yang akan ku terima dengan beasiswa itu, seperti ini "ada ga X juta?", emang penting ya untuk di tanyakan?. Aku tidak akan sensi dengan pertanyaan ini jika yang bertanya adalah junior atau teman sebaya, karena mereka bisa jadi ingin tahu dan mempertimbangkan untuk lanjut kuliah. Tapi untuk menjawab pertanyaan tersebut dari orang-orang yang money oriented memang menyebalkan.

Untuk menjadi seorang PNS aku mempertanyakan pada diri sendiri, 
1. Siapkah aku di tempatkan di mana saja se Indonesia
2. Baru bisa minta mutasi kerja setelah bekerja 10 tahun
3. Hampir seumur hidup mengabdikan diri 
4. Jika suatu hari bosan dan ingin hidup merdeka dari rutinita yang sama, apa aku harus menunggu pensiun?

Sebetulnya ku tak siap dengan resiko ini, namun dogma masyarakat dan orang terdekat seakan memaksa dan meyakinkan bahwa "ini jalan yang tepat loh", "ini yang terbaik loh untuk hidupmu". Kembali ke diri sendiri, yang akan ngejalanin itu aku, yang memilih adalah aku, meski pikiran masyarakat sangat persuasif, tapi aku atau dirimu lah yang tau jawaban apa yang benar-benar kamu inginkan dalam hidup ini.

Entah mengikuti dogma masyarakat atau menjadi seorang yang bebas, yang penting bagiku adalah tidak lari dari agama, tidak lari dari Allah. Yang kuinginkan apapun pekerjaanku, apapun yang aku lakukan selalu ada kedamaian disana. Dan ada kebermanfaatan yang di tuai dari sana. Aku menghormati apapun yang aku pilih dan orang lain pilih. 



Thursday, 27 September 2018

Diary quarter life crisis - Part 1

Sebetulnya saya bukan sedang mengeluh, namun hanya menuliskan pikiran-pikiran saya dalam bentuk tulisan. Tepat sudah satu tahun saya merasakan sesuatu yang menganggu saya selama ini, sulit tidur, dan mencari terus mencari jati diri. Sampai di tengah malam di sebuah aplikasi yang sering di gunakan gamers, saya bercerita pada seorang teman yang tak jauh beda dengan saya, seorang fresh graduate juga, dan sedang mencari jati diri. Saya bercerita apa yang membuat saya gelisah setahun belakangan ini, dan saya tidak tahu persis apa namanya, saya hanya menyebutkan ciri cirinya saja, kata temanku ini yang dinamakan "Quarter life crisis". Ini nama yang tepat.

Quarter life crisis saya di mulai saat saya lepas dari sidang tugas akhir dan mencari kerja pada umur 22 tahun. Awal-awal saya sangat bersemangat setealah lulus kuliah karena saya pikir saya hanya butuh waktu yang tepat untuk menemukannya. 22 oktober saya di wisuda dan memakai toga sarjana. Hari itu saya sangat bahagia. Keluarga saya datang ke Bandung untuk menghadiri acara wisuda saya. Mereka menemani saya 5 hari di Bandung, setelah itu akhirnya keluarga kembali ke Padang. Kami tak pernah berkumpul dan jalan jalan bersama hanya berempat se komplit dan se bahagia di pekan itu. Keluarga sempat mengajakku pulang, untuk menenangkan diri dari kehidupan kuliah dan menikmati libur sejenak. 

Saat itu aku memilih tidak langsung pulang, aku masih penasaran untuk mendaftar kerja, apalagi karena akhir oktober 2017 ada jobfair itb, aku menaruh harapan cukup besar disitu. Hasil nya nihil. 2 bulan berlalu. Aku menemukan titik persimpangan, haruskah aku pulang atau tetap mencari. Ayah bilang, kalau disana tak menghasilkan apa-apa sebaiknya pulang, sampai ayah sempat berkata "Apa yang kamu cari dan tunggu disana?", aku jawab "pekerjaan yang cocok untukku". Masa fresh graduate 0 -2 tahun dari kelulusan, akan sayang sekali kalau aku tidak memiliki kegiatan positif, seperti magang, training atau bekerja. Aku akan kesulitan ke depannya. Itulah yang terpikirkan di benakku saat itu.

2 Bulan berlalu, aku sadar diri status pengangguranku di bdg cukup memberatkan orang tuaku. Perjuangan terakhirku sebelum memutuskan pulang adalah, mendaftar kerja di konsultan. Kalau di terima aku tidak jadi pulang, kalau tidak aku akan pulang saja. Aku di terima.