|
Sumber: Kompasiana |
Finansial merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan dewasa ini pengukuran kecerdasan tak hanya sebatas, IQ, EQ, dan SQ saja, tetapi juga ada FQ yaitu finansial Intellegence. Satu satu isu yang terkait masalah finansial adalah maraknya masyarakat yang terjerat pinjaman online, cukup membuat keresahan. Di Indonesia pinjaman online memang menjadi peluang bisnis yang besar karena, supply terhadap demand pinjaman ini hanya 33% yang terpenuhi oleh perbankan, sedangkan sisanya terdapat gap yang mana menjadi peluang bisnis pinjam meminjam. Selain itu meminjam pada bank jauh lebih sulit prosedurnya, karena harus ada jaminan dan bank perlu melihat profil peminjam.
Iming-iming dari perusahaan lending:
- cairnya cepat
- hanya butuh ktp saja
Membuat banyak orang yang tergiur untuk melakukan pinjaman.
Faktanya:
- Orang yang meminjam ini, rata-rata meminjam karena kebutuhan konsumtif. Misal kebutuhan makan sehari-hari. Logikanya kalau kebutuhan sehari-hari saja sudah tidak bisa memenuhi, bagaimana melunasi pokok pinjaman? apalagi ditambah dengan bunga yang berlipat ganda. Dan bunganya sangat-sangat tidak masuk akal.
Contoh: ilustasi A meminjam uang pada fintech 1.000.000
yang diterima A hanya 600.000 luar biasa sekali bukan keuntungan yang mereka tarik?.
Di hari H jatuh tempo, peminjam harus membayar 1.100.000
Durasi pinjaman : 7 hari
Kalau telat 1 hari: denda 80.000
Menurut pengakuan peminjam: ia meminjam ke 10 hingga 20 fintech.
Ya jelas bagaimana ga kelabakan ngebayarnya gimana.
Bank aja bunga pinjamannya 12 - 15 % pertahun. Itu pertahun loh. Sedangkan fintech ilegal ini bunga nya saja 10% perhari.
Resiko: Hanya karena telat beberapa jam atau 1 hari saja, semua kontak kebobolan, tiba-tiba semua rekan kerja, keluarga mendapat pesan, dan bahkan semua kontak orang yang ada di hp dimasukan dalam satu group wa lalu, si peminjam di permalukan terang-terangan, bahkan muncul di pencarian orang hilang, dan setiap harinya mereka di telfon dan diancam. Banyak karyawan yang di pecat, dan menjadi kehilangan pekerjaan. Cara menagihnyapun melanggar etika, kasar dan ada yang melontarkan kalimat tidak senonoh. Tak hanya sampai disitu, jeratan pinjaman online ini sudah banyak menelan korban, yang mana peminjam tersebut depresi akibat setiap hari ditekan hingga depresi dan bunuh diri.
Menurut pendapat ahli hukum Hotman Paris, jika terjadi persengketaan mengenai pinjaman online ini, level hukumnya perdata. Jadi penyelesaiannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, sehingga peminjam tidak perlu takut dengan ancaman dilaporkan ke polisi dan masuk penjara. Namun lantas bukan karena ini juga ga kapok minjam online. Cara penagih hutang yang sampai mengakses semua kontak, hingga seluruh isi hp, + menagih dengan cara kasar sudah melanggar hukum yaitu UU ITE dan layak di laporkan pada kepolisian (masalahnya, rata2 yang seperti ini adalah fintech2 yang ilegal, dan tidak diketahui kantor dan siapa saja yang terlibat, sehingga kepolisiam pun sulit mengusut tindak kejahatan ini). Selain itu mengenai bunga yang tidak masuk akal tersebut sulit diusut ke jalur hukum di karenakan di Indonesia belum ada undang-undangnya, sehingga hanya bisa melalui jalur perdata saja.
Solusi preventif: sekecil apapun penghasilan ataupun pendapatan kita, tetap sisihkan sedikit walaupun hanya 2 hingga 5% untuk dana darurat, karena dana darurat akan sangat membantu di kala terjadi kebutuhan yang di luar dugaan. Jangan terlalu mengikuti life style, tanpa life style sebenarnya kita tetap mampu untuk hidup, daripada mengikuti life style namun berhutang. Dengan memiliki dana darurat kita dapat menghindari jeratan pinjaman online.
Sekian catatan Annisa kali ini.