Saturday, 27 May 2017

Gempa Padang 30 September 2009




Pagi ini saya terinspirasi untuk menulis cerita tentang judul diatas karena usai menonton film yang diangkat dari novelnya tere liye yang berjudul "hafalan sholat Delisa". Film ini memiliki latar cerita di Aceh, dan menceritakan tentang Delisa yang di tinggal oleh saudara-saudara dan ibunya karena peristiwa tsunami Aceh.

Cerita saya kali ini tak jauh dari bencana Alam juga, yaitu tentang gempa Padang, 8 tahun silam. 
Saat itu saya masih kelas 3 SMP, peristiwa ini usai lebaran dan minggu pertama semester baru. Saat itu tante saya dari Jakarta pulang ke rumah nenek saya di Pariaman, yah saat itu saya tinggal bersama nenek saya di Pariaman. Esok harinya tepat tanggal 30 september itu saya baru saja pulang dari sekolah, sekitar pukul 14.00 , saya lihat di rumah tak ada orang, kunci rumah di titipkan pada tetangga. Saya ke dapur dan ingin makan siang, hanya ada sepotong telur dadar dan nasi di magic jar. Tak apa, saya pun tetap makan. Karena bosan sendirian di rumah akhirnya saya ke warnet. Sepulang di warnet, jam pun menunjukan pukul 5 sore, saya pikir sudah saatnya mandi. Semua pintu depan dan belakang rumah saya kunci karena saya sendirian di rumah, baru saja saya mengusap sabun ke badan, tiba-tiba terasa goncangan itu. Saat itu saya hanya memakai sehelai handuk dan berusaha keluar kamar mandi. Saya berjalan menuju pintu depan, tetapi berjalan sangatlah sulit, karena getaran di tanah terasa sangat kuat, sesampai di depan pintu pun pintu tidak bisa terbuka, berkali kali saya coba tidak terbuka. Foto di dinding berjatuhan, air bak tumpah, dan rak piring jatuh berantakan dengan kaca. Saat itu semua keluar tidak ada satupun di rumah. Saya pikir saat itu adalah hari kiamat, ternyata tidak. Gempa pun berhenti, air di sungai meluap karna liquifaksi, tanah merangkah, lantai rumah terbelah. saya bergegas memakai baju. Semua orang mengungsi, jalanan macet, tetangga semuanya pergi mengungsi karena di takutkan tsunami, rumah saya hanya 700 m dari pantai , listrik padam, sinyal hilang, telepon rumahpun tak bisa. Dalam 1 kampung itu hanya saya sendirian di rumah. Hari pun gelap, saya tak tahu akan kemana, saya sendirian di rumah, dalam gelap, dan sendirian di kampung, rumah dalam keadaan berantakan penuh pecahan kaca, dan tak ada makan. Itu adalah hari dimana saya memasrahkan diri dengan apa yang terjadi. 

Akhirnya pukul 2 pagi, keluarga saya pun datang. Mereka semua selamat. Pagi itu saya hanya makan mi instan, bantuan pun berdatangan. 2 minggu sekolah di liburkan, karen kondisi sekolah rusak parah, peralatan labor banyak yang rusak, beberapa kelas terpaksa harus mengungsi. 2 minggu listrik tidak menyala, 2 minggu pula kami dalam gelap setiap malam, 2 minggu pula tak ada air. Untuk mencuci piring dan buang air kami menampung air hujan, sudah jelas air hujan tidak lah bersih, tapi keadaan memaksa. Sedangkan untuk mandi dan mencuci baju terpaksa ke sungai terdekat. Mandi pun hanya sekali 3 hari. Tetapi sungai di kampung air nya masihlah jernih. 

Semua terasa darurat.

Sedangkan rumah orang tuaku di Padang, roboh sebelah. Ya itu karena rumah yang di beli di perumahan dengan uang cicilan, dindingnya terbuat dari lobik, tidaklah kuat, karena roboh, sebagian dindingnya di tuutp dengan seng sampai rumah di perbaiki.

Sampai detik ini hidup di Padang, masihlah kami di hantui gempa. 
Dan masih di gentayangi ketakutan akan terjadi tsunami. 
Tsunami terasa ibaratkan arisan, banyak para ahli meramalkan bahwa sumbar akan terjadi suatu gempa besar yang akan mengakitkan terjadinya tsunami.
Saat SMA saya tak mengerti mengapa para ahli meramalkan seperti itu. 
kita masih di bayang-bayangi ketakutan
Setiap sekolah, kampung, dsb, dilakukan sosialisasi bencana alam, di persimpangan jalan, tertulis petunjuk "jalur evakuasi tsunami".

Sampai akhirnya saya kuliah di Bandung, di jurusan teknik sipil. Pada semester 7 saya mengambil mata kuliah Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa. Itu adalah mata kuliah yang membuat saya antusias sejauh ini, karena gempa selalu terasa dekat dengan diri saya. Dari mata kuliah tersebut saya menjadi tahu tentang gempa dan tsunami yang sebenarnya. Yah ibaratnya SUmbar di perkirakan akan menerima arisannya, karen pertemuan lempeng eurasia dan australia secara subduksi itu sudah memasuki zona Megatrhust. Ketika menonton film "hafalan sholat Delisa", saya sangat sedih, saya tak bisa membayangkan jika hal itu terjadi pada diri saya. Sejujurnya saya semakin takut, takut kehilangan keluarga, entahlah saya hanya menyerahkannya kepada Allah. Dialah yang maha berkehendak.

Mungkin sekian cerita dari saya hari ini.

*#RamadhanInspiratif*
*#Challenge*
*#Aksara*