Thursday, 27 September 2018

Diary quarter life crisis - Part 1

Sebetulnya saya bukan sedang mengeluh, namun hanya menuliskan pikiran-pikiran saya dalam bentuk tulisan. Tepat sudah satu tahun saya merasakan sesuatu yang menganggu saya selama ini, sulit tidur, dan mencari terus mencari jati diri. Sampai di tengah malam di sebuah aplikasi yang sering di gunakan gamers, saya bercerita pada seorang teman yang tak jauh beda dengan saya, seorang fresh graduate juga, dan sedang mencari jati diri. Saya bercerita apa yang membuat saya gelisah setahun belakangan ini, dan saya tidak tahu persis apa namanya, saya hanya menyebutkan ciri cirinya saja, kata temanku ini yang dinamakan "Quarter life crisis". Ini nama yang tepat.

Quarter life crisis saya di mulai saat saya lepas dari sidang tugas akhir dan mencari kerja pada umur 22 tahun. Awal-awal saya sangat bersemangat setealah lulus kuliah karena saya pikir saya hanya butuh waktu yang tepat untuk menemukannya. 22 oktober saya di wisuda dan memakai toga sarjana. Hari itu saya sangat bahagia. Keluarga saya datang ke Bandung untuk menghadiri acara wisuda saya. Mereka menemani saya 5 hari di Bandung, setelah itu akhirnya keluarga kembali ke Padang. Kami tak pernah berkumpul dan jalan jalan bersama hanya berempat se komplit dan se bahagia di pekan itu. Keluarga sempat mengajakku pulang, untuk menenangkan diri dari kehidupan kuliah dan menikmati libur sejenak. 

Saat itu aku memilih tidak langsung pulang, aku masih penasaran untuk mendaftar kerja, apalagi karena akhir oktober 2017 ada jobfair itb, aku menaruh harapan cukup besar disitu. Hasil nya nihil. 2 bulan berlalu. Aku menemukan titik persimpangan, haruskah aku pulang atau tetap mencari. Ayah bilang, kalau disana tak menghasilkan apa-apa sebaiknya pulang, sampai ayah sempat berkata "Apa yang kamu cari dan tunggu disana?", aku jawab "pekerjaan yang cocok untukku". Masa fresh graduate 0 -2 tahun dari kelulusan, akan sayang sekali kalau aku tidak memiliki kegiatan positif, seperti magang, training atau bekerja. Aku akan kesulitan ke depannya. Itulah yang terpikirkan di benakku saat itu.

2 Bulan berlalu, aku sadar diri status pengangguranku di bdg cukup memberatkan orang tuaku. Perjuangan terakhirku sebelum memutuskan pulang adalah, mendaftar kerja di konsultan. Kalau di terima aku tidak jadi pulang, kalau tidak aku akan pulang saja. Aku di terima.