Aku sering penasaran orang-orang yang hidup di Jakarta gimana cara mereka atur waktu dan atur keuangan sehari-hari. Jakarta merupakan kota yang spesial menurutku, pergerakan yang cepat, keras, dan menuntut hustle culture banget. Udaranya udah ga sejuk lagi, panas, dan padat.
Salah seorang teman di kantor main ke mejaku, aku salah fokus sama wajahnya yang sedang masa penyembuhan sehabis perawatan laser di Nastasha. Jadi pada mulanya ngomongin terkait perawatan wajah hingga aku nanyain skincare apa untuk ngilangin bekas akibat jerawat.
Si mbak yang datang ke mejaku katanya sih hidup sendiri, trus aku nanya anak suami mereka dimana? di Serang, anak yang jaga ya neneknya. Dia tinggal di SCBD sehari-hari naik transportasi umum ke kantor, memakan biaya sekitar 56 ribu/harinya. Biaya makan 1 juta/bulannya. Kira-kira 2,5 juta perbulan, kontrakan 15 juta pertahun, listrik dan air mungkin belum termasuk. Pulsa, dan total-total mungkin ia menghabiskan 5 juta perbulan. Sisa pendapatannya dari dinas dan lain-lain di tabung.
Jujur aku pribadi tak begitu suka Jakarta, disini juga bingung cari tempat main kemana. Tapi kalau aku ditempatkan di Jakarta aku tetap bersyukur karena punya pacar disini, tapi kalau ditempatkan di daerah aku juga tetap bersyukur karena biaya hidupnya lebih murah dan bisa beli rumah yang ga jauh dari tempat kerja.
Kalau dipikir-pikir aku sebenarnya lebih banyak menghabiskan uang di Lifestyle sih, ketemu teman, jalan-jalan, nongkrong dan nonton di mall. Jakarta too much stress, gedung-gedungnya indah, tapi pepohonan kurang, padahal kantorku termasuk enak loh banyak ruang terbuka hijaunya. Entah karena kurang bersyukur apa gimana, emang akunya aja yang sekarang doyan leyeh-leyeh malas masak dan sebagainya.
Aku kayaknya emang kecapean aja sih sehari-hari, karena kerja sambilan juga ngajar, ya sepadan lah dengan self reward yang harus aku kasih ke diri sendiri.
Soal hubungan, cuma ini yang bikin Jakarta terasa menarik, karena ada Pacar disini. Baru sebulan jadian, terlalu cepat untuk membicarakan keseriusan. Aku ngelihat dia sehari-hari capek sih kerja dan masih ingin menikmati waktu bebas diluar jam kerja, akupun sama. Aku masih ingin menikmati hubungan ini untuk saling mengenal dia dan mendewasa. Terlepas happy ending atau tragis, aku tak menaruh ekspektasi lagi untuk sebuah hubungan, biarkan ngalir aja, setidaknya membuat Jakarta terasa lebih berwarna selain abunya langit akibat polusi ibukota.
Aku tahu persis masalahnya dimana, kakaknya harus menemukan pasangan dulu. Dia dan aku masih ingin punya ruang masing-masing. Belum kenal lama juga. Banyak trauma di hubungan-hubungan sebelumnya yang harus ku selesaikan juga. Penempatanku juga belum jelas dimana, bisa jadi saja kemungkinan terburuknya bisa putus karena sulitnya LDR.
Dilemanya seorang perempuan adalah soal umur, kejar-kejaran dengan umur dan batas kemampuan reproduksi. Umur bertambah, daya tarik menurun. Sementara itu di cap pilih-pilih. Perempuan banyak bingungnya, mempertahankan hubungannya yang ga tau ujungnya akan seperti apa, atau menerima org lain yang "katanya" serius dan profilnya juga bagus. Emang banyak sekali cobaannya, disaat memiliki pacar banyak sekali yang mencoba ngedekatin, ada yang ngajak taaruf, atau ngasih perhatian dan sebagainya. Disaat lagi jomblo kok pada ga ada yang deketin, kan sebel ya wkwk.
Hmm jujur menikah belum menjadi hal yang menarik dimataku. Tetapi limit dibuat oleh sosial sangat mengganggu pikiranku. Contohnya saja, aku selalu mengabaikan orang yang mencoba mendekatiku, sekalipun orang baik, profilnya cukup bagus, aku pastinya akan tetap setia dengan pasanganku karena dia aku pilih berdasarkan seleraku, berdasarkan kenyamanan yang aku rasakan, dan aku tertarik dengannya. Tetapi pikiranku juga suka bertanya-tanya, apa dia akan sesetia itu atau merasa aku menarik seperti yang aku rasakan terhadapnya?. Aku masih sering khawatir invest waktu, pikiran, dan kesempatan pada orang yang salah layaknya hubungan-hubunganku sebelumnya. Disaat aku sedang menarik-menariknya ada banyak laki-laki lain yang aku tolak demi dia. Pikiran-pikiran toxic ini yang ingin aku pulihkan dari diriku, karena aku masih trauma dengan hubungan terdahulu, berjalan cukup lama, ekspektasi serius, dan berakhir tidak direstui orang tua pihak dia lagi dan lagi. Kecewa, marah dan sedih menjadi akhir dari semua perjuangan. Aku tak masalah menunggu lama pun, asalkan memang akhirnya bersama. Tapi balik lagi dunia bukan dalam kontrol mu nis, bisa berencana, tetapi takdir yang menentukan. Lagi-lagi biasanya teman-temanku yang solehah akan menyalahkanku, jalannya salah sih, harusnya kamu cari pasangan lewat jalan taaruf saja bukan pacaran. Hmmm, sampai detik ini aku merasa takut dan cukup berisiko untuk memilih jalan itu terutama dengan orang yang baru ku kenal. Selain itu juga orang-orang yang mengajak taaruf pun, masih ku temukan hal-hal redflag yang kurang bisa ku kompromikan, misalnya cowok yang insecure karena pekerjaanku, cowok yang terlalu mengekang dan sepertinya demanding, dan sebagainya.
Sekarang cuma bisa berdoa, semoga apapun langkah yang aku pilih ke depannya itulah langkah yang terbaik. Dan semoga orang yang aku pertahankan saat ini, yang saat ini aku ngerasa udah nyaman, dan cocok sama dia, tidak mengecewakanku layaknya di hubungan sebelum-sebelumnya amiin.
No comments:
Post a Comment