Wednesday, 23 August 2023

Anak Muda Jakarta Takut Nikah

Beberapa kali aku melihat cuplikan-cuplikan terkait rate kelahiran di Indonesia menurun terutama ibukota besar seperti di Jakarta. Anak muda di kota besar takut nikah kenapa sih, alasan sebenarnya ga jauh dari masalah finansial. Sebenarnya seberapa besar sih biaya hidup keluarga muda di Jakarta? karena kebetulan aku lagi ga banyak kerjaan di kantor akhirnya aku mulai iseng untuk melakukan perhitungan-perhitungan kasar dengan skenario, hidup dengan pengeluaran secara normal dan tidak menerapkan frugal living. 

Anggap saja ini adalah skenario keuangan sepasang suami istri keluarga muda yang mana perempuannya berusia 30 tahun bekerja sebagai ASN di salah satu kementerian Jakarta Selatan wkwk (bukan aku btw, sebut saja namanya Ayu), dan suaminya berusia 31 tahun bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta (entah ga tau siapa, sebut saja Zainal). 

Anggap saja annual income ayu pertahun (termasuk thr dan gaji 13) beserta uang perjalanan dinasnya sebesar 10 juta/bulan, dan Zainal mendapatkan income perbulannya secara annual (termasuk bonus, thr dll) sebesar 24 juta, sehingga join income mereka adalah 34 juta. Sebelum menikah mereka membuat kesepakatan tentang keuangan, Zainal bersedia menanggung beban pengeluaran Ayu untuk beberapa item, tetapi Ayu harus bersedia membayar cicilan pembelian rumah dengan harga 1 M dicicil 15 tahun. 

Hasil perhitungannya ternyata adalah sebagai berikut:


Disini ceritanya Ayu sudah menabung cukup banyak sebelum menikah sehingga ia berani membayar uang muka 35%, dan lama pinjaman 15 tahun. Selain itu Ayu dan Zainal ini perantau, disini diasumsikan bahwa mereka pulang sekali setahun ke Sumatera dan 1x dalam setahun ke Jawa. 


Sedangkan Zainal juga sudah menabung tetapi prefer sebagian uangnya dialokasikan di Saham saja, sedangkan Ayu tipe moderat sehingga kalau dia pikir2 daripada ditaruh di SBN ritel yang paling2 dapat return 5,8%, sementara margin kpr 10% mending besarkan di DP saja. 


Disini ceritanya mereka berdua belum memiliki anak, mungkin diperkirakan 2 tahun ke depan sudah memiliki anak, biaya persalinan caesar di Jakarta sekitar 40 juta, belum biaya selama kehamilan ada senam hamil, USG, susu dan sebagainya. Sehingga Zainal harus menyiapkan uang setiap bulannya 2 juta, untuk kelahiran anak tersebut.

Mungkin cukup itu saja tulisan dari cerita Annisa kali ini, ya ini memang hitungan-hitungan matematis saja, ya yang maha pemberi rezeki adalah Allah SWT. Tulisan ini bukan jadi alat pembenaran juga, tetapi sebagai alat prediksi saja yang mungkin bisa salah dan meleset juga. Cerita diatas hanya skenario fiktif belaka.

Sebenarnya banyak masalah rumah tangga terkait finansial karena kurang cermatnya dalam merencanakan keuangan sejak dini. Ada banyak perbedaan saat hidup sendiri dibandingkan setelah berkeluarga. Contoh sederhananya saja, saat hidup sendiri ngekos dengan budget 2 juta saja cukup, sedangkan setelah berkeluarga harus memikirkan terkait memiliki hunian rumah, kendaraan seperti mobil dan sebagainya, memiliki kendaraan dan rumah tentu akan berdampak pada pengeluaran lainnya yang jarang diperhitungkan, yaitu membayar pajak, membayar bensin dan tol, membayar maintenance, mengisi perabotan rumah. Sedangkan disaat hidup sendiri, biaya tersebut tidak perlu menjadi perhitungan.

Jadi tidak heran akhir-akhir ini di social media sering kita dengar terkait gaya hidup frugal, ya itu tadi agar memilah pengeluaran secara mindful, sedikit menunda kesenangan, mengalokasikan budget sesuai kebutuhan. Hidup di kota besar enggak mudah, apalagi kalau menjadi sandwich generation. Ketika perempuan bekerjapun, harus memikirkan bagaimana cara bisa membayar ART ataupun Daycare untuk mengasuh anak dan itu cukup besar 5 juta/perbulannya. That's why, mungkin ini yang bikin anak muda jadi kesulitan untuk menikah, ini baru urusan finansialnya, belum lagi urusan mencari pasangan yang sesuai.











Monday, 21 August 2023

Pengalaman Frugal Living

Frugal living merupakan suatu pendekatan atau gaya hidup di mana individu secara sengaja mengurangi pengeluaran mereka untuk mencapai kestabilan keuangan, menghemat uang, dan menghindari pemborosan yang tidak perlu. Pendekatan ini melibatkan perencanaan anggaran yang bijaksana, menghindari pembelian impulsif, dan mencari cara-cara kreatif untuk mengurangi pengeluaran. Tujuannya adalah untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan, serta mengalokasikan sumber daya dengan lebih efisien agar bisa mencapai tujuan finansial jangka panjang. 

Sebenarnya aku udah menjalani hidup frugal ini 28 tahun, ya dari awal terlahir ke dunia ini. Hal yang ga bisa aku pungkiri, berawal hidup frugal karena emang kemampuan finansial keluarga yang ga mumpuni alias memang miskin. Kita ga bisa memilih terlahir dari keluarga yang mana bukan? yang bisa diupayakan adalah bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan resource yang kita miliki. 

Pada mulanya memilih hidup frugal karena tuntutan keadaan. Saat itu yang ada dipikiran orang tuaku, ya gimana anaknya bisa sekolahlah, bahkan orang tuaku tidak pernah membayangkan bagaimana anaknya bisa kuliah apalagi hingga S2. Ayahku dulu bekerja sebagai arsitek di sebuah konsultan swasta di kota Padang, menikah disaat masih kuliah, saat ibuku mengandung ayahku sakit keras dan terpaksa resign dari pekerjaan. Hidup dengan ekonomi seadanya dan ibuku hanya bekerja rumah tangga. Saat itu ayahku masih mengusahakan bekerja secara freelance sampai akhirnya kembali bekerja di konsultan hingga aku usia 7 tahun. 

Aku tidak tahu persisnya kenapa ayahku tidak lagi lanjut bekerja di konsultan, seingatku saat itu tempat bekerjanya bangkrut. Setelah itu ayah hanya bekerja perproyek sebagai pengawas, yang ini tidak menetap sepanjang tahunnya. Ibuku harus pintar-pintar menyiasati keuangan sedemikian rupa dan sangat menekan pengeluaran. Sebenarnya menurutku yang dilakukan bukan cuma berhemat saja, mestinya mereka mencoba cara lain dengan sumber income lain, tetapi mereka selalu mengelak tidak punya bakat usaha dan sebagainya. Saat itu aku dititipkan tinggal di Pariaman. Tinggal bersama orang lain selain keluarga kandung, tidak selalu bisa akur, harus bisa menyesuaikan diri, dan aku harus membantu pekerjaan-pekerjaan dirumah.

Hidup di rumah orang lain bukan berarti tanpa konflik, ya mau ga mau harus dihadapi sendiri. Sebenarnya hal ini masih menjadi kesesalan juga sih bagi orang tuaku, meninggalkan anak di usia masih anak2 di rumah orang lain karena ekonomi. Bukan mengagungkan materi, aku masih sangsi sama orang berpikir banyak anak banyak rejeki dan semuanya dipikirin nanti saja, hidup di ekonomi yang sulit itu ga enak, kasian yang kalau anak-anak yang jadi korbannya. 

Saat menjalani hidup frugal living, ya benar-benar memilah dan memilih banget pengeluaran. Saat itu jarang banget beli baju baru, trus juga seragam sekolah aja pintar-pintar dirawat aja, cari sekolah yang dekat dari rumah dan ga bayar spp, buku-buku either photocopy atau ga ya minjam dari perpus. Ke gramedia cuma bisa beli satu buku doang dalam 1 semester, itupun nabung dulu. Kalau ada uang lebih di tabung, hampir ga pernah makan diluar, ibuku selalu masak, jalan-jalan juga dekat rumah aja. 

Manfaatnya, selama hidup susah itu ga pernah terjerat hutang, nggak pernah nyusahin orang lain untuk memenuhi gaya hidup, emang sih kesannya prihatin. Tapi percaya ga sih hidup terlalu frugal begini banyak jugaloh negatifnya, orang lain selalu ngira kita miskin banget, orang lain selalu underestimate sama kita, bahkan keuargan ibuku aja ada yang bilang ke aku "kamu sekolah rajin-rajinpun ga akan bisa kuliah kayak orang-orang, kuliah kedokteran mahal dsb", begitulah celotehan orang-orang. Tapi anehnya aku ga tau punya mental sebaja itu saat itu, aku ga peduli apapun omongan orang lain tentang masa depanku, saat itu akupun juga belum kebayang sih mau sukses seperti apa, yang jelas aku cuma belajar sebaik-baiknya. 

Selain itu ga enaknya lagi, ga punya budget nongkrong atau jalan-jalan sama temana-teman, jadinya ya ga punya banyak teman. Paling temanan dengan orang-orang yang ekonominya sama. Sayangnya selama aku sekolah dari SD hingga SMA, aku nggak pernah dapat beasiswa, ga ada orang yang nyangka aku hidup cukup prihatin, karena yang mereka lihat aku sekolah anaknya rapi, dan ga pernah diketahui orang-orang soal susah hidupnya. Saat masuk kuliah disitulah aku nekat mendaftarkan diri agar di daftarkan beasiswa, dan guru kaget karena baru tau kalau orang tuaku kerja ga menetap.

Singkat cerita aku kuliah, masih hidup frugal tapi setidaknya lebih layak, saat itu entah mengapa rezeki keluargaku membaik semenjak aku mulai kuliah. Meskipun mengandalkan beasiswa, tapi orang tua tetap membantu uang kos setiap bulannya. Aku tinggal di kosan yang murah, dan ya berusaha hemat juga karena anak rantau. 

Singkat cerita aku lulus dan bekerja, harus menghidupi diri sendiri. Masih hidup frugal tapi setidaknya lebih baik, nggak yang susah lagi. Tapi emang pengeluaran yang butuh-butuh aja seperti makanan harus bergizi, tapi ya ga harus beli online terus atau di tempat yang fancy. Sesekali ya ada makan di luar pas nongkrong sama teman dan sebagainya. Tapi emang nggak ngikutin trend aja sih, ketika orang-orang pada beli iphone seri terbaru, ya aku masih stay dengan hp samsung yg harganya dibawah 4 juta. Beli hp baru kalau udah 3 atau 4 tahun pakai atau ga udah bener2 rusak. Beli baju yang emang nyaman dan oke di pakai berkali-kali. 

Saat ini aku sudah 5 tahun bekerja, tabunganku lumayan cukup untuk orang-orang seusiaku. Sampai sekarang aku masih menjalani frugal living, tapi bukan karena keadaan tetapi emang karena pilihan. Aku punya target 4 sampai 5 tahun lagi punya jumlah aset tertentu, dengan income dan pengeluaran saat ini harusnya bisa tercapai. Setelah itu tercapai, mungkin aku ga akan frugal lagi, hidup normal dan mengutamakan kenyamanan juga tetapi pengeluarannya ga lebih dari pendapatan utamaku sebagai pns. Ya paling nanti aku bisa nabung dari honor perjalanan dinas, side hustle, dan return aset saja.

Untuk lepas dari kebiasaan agak sulit, memang harus bertahap, frugal living memang membuatku lebih mindful melakukan pengeluaran. Kalau ngikutin gaya hidup berapapun uang ga akan terasa cukup sih. Meningkatkan gaya hidup sangat lebih mudah ketimbang menurunkannya. Jadi ya sebenarnya frugal living juga ga buruk2 amat, frugal living karena keadaan emang rasanya menyiksa dan prihatin, tapi kalau frugal karena emang pilihan dan ada tujuan keuangan yang ingin dicapai tidak masalah, karena cara frugalnya beda. Saat frugal living karena keadaan, hampir totalitas banyak pengeluaran yang di cut, tetapi kalau karena pilihan memang karena ingin saving lebih aja, pengen lebih cepat financial freedom aja, memang sifatnya cuma nunda kesenangan aja tapi masih bisa have fun.







Frugal Living ada dampak negatifnya ga sih?

Akhir-akhir ini sering dibahas tentang gaya hidup frugal. Gaya hidup frugal, yang ditandai oleh pengeluaran yang bijaksana dan manajemen keuangan yang cerdas, telah mendapatkan perhatian yang cukup besar di masyarakat yang didorong konsumsi cepat saat ini. Mengembrasi gaya hidup frugal melebihi sekadar irit uang; ini adalah pilihan sadar untuk memprioritaskan nilai dan tujuan jangka panjang daripada kenikmatan yang sementara. Dengan mengadopsi pendekatan ini, individu dapat mengoptimalkan keuangan mereka, mengurangi pengeluaran yang tidak perlu, dan membina hubungan yang lebih berkelanjutan baik dengan dompet maupun lingkungan.

Gaya hidup frugal apa sih manfaatnya: 

a. Kebebasan Finansial: Gaya hidup frugal membantu individu mengelola uang mereka dengan lebih bijaksana, menghindari hutang berlebihan, dan menciptakan kestabilan finansial jangka panjang.

b. Peningkatan Tabungan: Dengan mengurangi pengeluaran yang tidak perlu, orang dapat dengan mudah meningkatkan tabungan mereka untuk tujuan masa depan seperti pendidikan, liburan, atau dana darurat.

c. Pengurangan Stres Finansial: Memiliki kontrol yang lebih baik atas keuangan pribadi mengurangi stres yang terkait dengan ketidakpastian keuangan dan tagihan yang menumpuk.

d. Peningkatan Kreativitas: Gaya hidup hemat sering mendorong orang untuk menemukan cara kreatif untuk menghemat uang, seperti mendaur ulang barang atau mengeksplorasi hobi yang lebih terjangkau.

e. Kesadaran Lingkungan: Frugal living juga sering berdampak positif pada lingkungan, karena mengurangi konsumsi berlebihan dan meminimalkan dampak ekologis.

Namun dibalik manfaat tersebut, juga terdapat kekurangan:

a. Pembatasan Pilihan: Terkadang, gaya hidup hemat dapat membatasi kemampuan seseorang untuk menikmati kegiatan atau produk tertentu karena alasan anggaran.

b. Kehilangan Kenikmatan Sekarang: Fokus pada penghematan di masa depan mungkin menyebabkan orang melewatkan beberapa kesenangan atau pengalaman saat ini.

c. Sosial dan Budaya: Terkadang, mematuhi gaya hidup frugal bisa sulit dalam situasi sosial, seperti acara makan malam atau liburan dengan teman dan keluarga.

d. Potensi Kualitas Hidup Menurun: Terlalu banyak mengutamakan penghematan bisa menyebabkan pengurangan pada aspek-aspek yang dapat meningkatkan kualitas hidup, seperti kesehatan atau pendidikan.

e. Persepsi Terhadap Gaya Hidup: Beberapa orang mungkin menganggap gaya hidup hemat sebagai tanda kesulitan finansial atau kurangnya kemampuan untuk menikmati hal-hal mewah.


Menurutku perlu menimbang dengan bijak terkait adopsi gaya hidup frugal living ini, jangan sampai dampak negatifnya lebih besar daripada positifnya. 



Percaya atau Tidak

Percaya atau tidak sebenarnya dalam hidup ini kemampuan menerima itu penting.Walaupun pikiran berisik, harusnya begini, harusnya begitu, memandang dunia seoalah-olah hitam putih dengan rules yang kaku. Jujur bertemu orang seperti ini melelahkan bukan?. That's me wkwk. Aku bertemu orang seperti itu lelah, tetapi aku juga seperti itu haha. Misal, berangkat harus on time, semua on schedule, dan semuanya serius. Ketika aku dipressure seperti itu juga melelahkan. 

Untuk bisa melepaskan itu semua memang perlu latihan. Hidupku memang tertarget sekali. Aku punya planning dan goals yang detail. Aku jarang membiarkan pikiranku menganggur. 

Tapi sekarang itu aku di tahap mencoba menerima, kalau tuhan ga kasih apa yang aku harapin ya berarti mungkin memang aku belum sanggup mengembannya, mungkin aku mesti belajar lagi, atau mungkin ada opportunity lain yang jauh lebih baik. Aku belajar tidak memaksakan keadaan seperti yang aku mau. 

Sekarang ini belajar untuk mensyukuri apapun yang dimiliki, sesederhana bernafas saja masih nyaman, sesederhana ga ada penyakit yang mengganggu, masih bisa berjalan normal dan sebagainya. Belajar untuk mencari kebahagiaan yang berasal dari internal diri, ngelakuin hobbi2 sederhana seperti nyanyi, atau menonton movie. Tidak terganggu dengan sikap orang lain seperti "harusnya dia perhatian sama aku", "harusnya dia ngajakin aku pergi", berpikir dengan pakem-pakem harusnya.

Betapa melelahkannya bukan? menunggu orang lain untuk melakukan hal seperti yang kita harapkan. Kenapa ga lakuin sesuatu yang bikin diri sendiri happy?. Aku pernah dengar ini dari Aderai, tentang bagaimana membiarkan diri kita berdamai dengan sepi. Justru pada saat sepi, inspirasi muncul, dan kita bisa mendengar suara hati. Belajar untuk tidak judgmental dengan apapun yang terjadi.

Aku menyadari, aku selama ini tidak sesayang itu pada diri sendiri. Aku memaksakan diriku harus produktif, dan sebagainya.