Wednesday, 2 July 2025

Kegagalan Turap TPA Cipeucang: Tinjauan Teknik dan Kontraktual Berdasarkan Praktik FIDIC


Memahami kompleksitas proyek infrastruktur membutuhkan lebih dari sekadar pemahaman teknis; ia menuntut tinjauan holistik terhadap seluruh ekosistem proyek. Kasus ambruknya turap di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang, Tangerang Selatan pada Mei 2020, adalah contoh klasik kegagalan sistemik yang perlu dikaji secara mendalam. Peristiwa ini bukan hanya insiden struktural biasa, melainkan cerminan dari interaksi kompleks antara aspek teknis, lingkungan, manajemen risiko, dan dimensi kontraktual. Turap senilai Rp22 miliar yang didesain sebagai penahan antara area sampah aktif dan Sungai Cisadane ini, paradoxically, runtuh dalam waktu kurang dari satu tahun pasca penyelesaian. Ini jelas mengindikasikan adanya cacat fundamental dalam perencanaan dan kontrol mutu yang melampaui sekadar kesalahan pelaksanaan.

Dari sudut pandang keilmuan teknik sipil, investigasi kami mengidentifikasi beberapa faktor kunci penyebab kegagalan turap Cipeucang:

1. Ketidaktepatan Desain Geoteknik Terhadap Beban Dinamis Sampah

Salah satu probabilitas terbesar adalah desain struktur yang tidak memadai dalam mengantisipasi peningkatan beban lateral progresif dari timbunan sampah. Timbunan sampah, secara inheren, adalah material yang heterogen; densitasnya terus berubah seiring waktu, dan yang lebih krusial, ia menghasilkan tekanan lateral yang dapat melonjak drastis, terutama saat intensitas curah hujan tinggi.

2. Pengaruh Air Lindi Terhadap Stabilitas Tanah

Lebih lanjut, keberadaan air lindi —cairan hasil dekomposisi organik sampah— berperan besar dalam mempengaruhi stabilitas. Lindi dapat menginfiltrasi massa tanah di sekitar pondasi, mengubah sifat fisik dan mekaniknya secara signifikan. Tanah yang awalnya memiliki kapasitas dukung yang memadai untuk menahan beban vertikal dan lateral, akan menjadi jenuh dan bersifat lebih organik. Kondisi ini secara drastis menurunkan daya dukung tanah, membuat struktur rentan terhadap kegagalan geser tanah dan pergerakan lateral, bahkan tanpa adanya penambahan beban eksternal.

3. Kegagalan Sistem Drainase dan Peningkatan Tekanan Pori

Kondisi teknis ini diperburuk oleh absennya atau inefisiensinya sistem drainase horizontal dan vertikal di balik turap. Peningkatan tekanan air pori akan secara signifikan mendorong dinding dari belakang, menciptakan tekanan hidrostatik tambahan. Jika dinding tidak dilengkapi dengan mekanisme relaksasi tekanan yang memadai, seperti weep holes atau geodrain, maka struktur tidak akan mampu menahan kombinasi beban dari sampah dan air. Kegagalan pemasangan atau penyumbatan sistem drainase bawah tanah atau geotextile yang esensial untuk stabilisasi, akan secara eksponensial meningkatkan risiko keruntuhan.

4. Mutu Material dan Pelaksanaan Konstruksi yang Substandar

Aspek lain yang patut disoroti adalah mutu material dan pelaksanaan konstruksi. Lingkungan TPA sangat agresif, mengandung gas metana, amonia, dan senyawa kimia lain yang bersifat korosif. Beton yang digunakan harus memenuhi spesifikasi khusus dengan aditif tahan sulfat atau memiliki ketahanan kimia tinggi untuk mencegah degradasi dini seperti retak mikro, korosi tulangan, dan pelapukan permukaan. Jika kontrol mutu pelaksanaan lapangan lemah—misalnya, absennya uji slump beton, pengecoran di luar jam kerja yang ideal, atau rasio air-semen yang terlalu tinggi—maka kekuatan dan ketahanan struktur yang direncanakan tidak akan tercapai.

Melihat insiden ini dari kacamata praktik kontraktual internasional, khususnya standar FIDIC Red Book yang lumrah digunakan dalam Employer-Design Contract, kegagalan turap TPA Cipeucang menguak implementasi klausul krusial yang lemah. Kegagalan teknis di sini bukan semata tanggung jawab kontraktor, melainkan juga cerminan kegagalan sistemik dalam pengawasan dan pengelolaan risiko oleh seluruh stakeholder proyek.

1. Pelanggaran Kewajiban Umum Kontraktor (FIDIC Sub-Klausul 4.1)

Sub-Klausul 4.1 FIDIC ("Contractor’s General Obligations") secara eksplisit mewajibkan kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan dengan "due care and diligence" serta "recognized professional practice". Ini mencakup tanggung jawab inheren kontraktor untuk memastikan bahwa pelaksanaan di lapangan mempertimbangkan setiap aspek teknis secara cermat—termasuk perubahan karakteristik tanah, peningkatan beban lateral dari timbunan sampah, dan pengaruh lingkungan seperti lindi dan gas metana. Apabila kontraktor melanjutkan konstruksi tanpa memperbarui perhitungan struktural atau menyesuaikan metode kerja dengan realitas lapangan yang dinamis, ini dapat dikategorikan sebagai kelalaian profesional (negligence). Pelanggaran ini semakin gamblang jika kontraktor mengabaikan data geoteknik yang tersedia atau rekomendasi teknis dari konsultan geoteknik dan tim pengawas.

2. Kelemahan dalam Perencanaan Proyek dan Manajemen Risiko (FIDIC Sub-Klausul 8.3)

Sub-Klausul 8.3 FIDIC ("Programme") menuntut kontraktor menyerahkan programme of works yang detail, meliputi urutan kerja, durasi, dan metodologi pelaksanaan. Bagian vital dari programme ini adalah mekanisme manajemen risiko yang mengidentifikasi risiko teknis dan lingkungan, serta rencana mitigasi yang adaptif. Kegagalan mengantisipasi tekanan tanah akibat volume sampah yang terus bertambah atau tekanan air dari lindi mengindikasikan bahwa kontraktor mungkin tidak mempertimbangkan skenario worst-case dalam perencanaannya. Bahkan jika initial programme telah disusun dengan baik, ketiadaan update berkala untuk mengakomodasi kondisi lapangan yang berubah merupakan pelanggaran terhadap Sub-Klausul 8.3. Lebih jauh, jika perubahan teknis atau penambahan beban tidak dikomunikasikan secara formal kepada Employer dan Engineer melalui notice sesuai prosedur FIDIC, ini akan berimplikasi serius pada status klaim dan potensi sengketa di masa mendatang.

3. Gagalnya Adaptasi Terhadap Kondisi Fisik Tak Terduga (FIDIC Sub-Klausul 4.12)

Dalam proyek berskala besar seperti TPA Cipeucang, peran Employer, Engineer, dan kontraktor sangat krusial dalam memastikan proyek berjalan sesuai prinsip kehati-hatian teknis. Salah satu aspek yang sering terlewatkan adalah antisipasi terhadap "Unforeseeable Physical Conditions", sebagaimana diatur dalam Sub-Klausul 4.12 FIDIC. Klausul ini memberikan hak kepada kontraktor untuk mengajukan klaim atau modifikasi kontrak jika ditemukan kondisi lapangan yang secara material berbeda dari data awal. Dalam konteks TPA Cipeucang, akumulasi sampah yang terus meningkat, perubahan komposisi tanah akibat lindi, dan tekanan lateral dari beban hidup yang dinamis, seharusnya menjadi indikator awal bahwa kondisi lapangan akan sangat volatil dan menuntut desain yang adaptif.

Apabila revisi desain tidak dilakukan meski kondisi tanah dan lingkungan menunjukkan dinamika signifikan, ini mencerminkan kelemahan fundamental dalam fase perencanaan awal dan kurangnya responsivitas mekanisme adaptasi desain selama proyek berjalan. Studi geoteknik pra-konstruksi seyogianya menjadi landasan utama desain struktur penahan tanah. Jika studi tersebut tidak memperhitungkan potensi saturasi tanah oleh lindi atau karakteristik beban timbunan yang berubah seiring waktu, maka desain tersebut rapuh sejak awal. Oleh karena itu, fleksibilitas desain dalam kontrak—bukan hanya untuk perubahan volume pekerjaan, tetapi juga perubahan pendekatan teknis, material, dan sistem drainase—sangatlah esensial.

4. Minimnya Kolaborasi Antar Pihak (FIDIC Sub-Klausul 4.6)

Kegagalan ini juga mengindikasikan lemahnya penerapan Sub-Klausul 4.6 FIDIC ("Co-operation"), yang menekankan kolaborasi antara Employer, kontraktor, dan Engineer untuk menciptakan lingkungan kerja yang kooperatif dan transparan dalam mengatasi hambatan teknis maupun administratif. Pada kasus turap TPA Cipeucang, absennya sinergi efektif antar pemangku kepentingan sangat mencolok. Tidak ada mekanisme joint review yang aktif saat perubahan teknis muncul, tidak ada dokumentasi site instruction atau revisi metode kerja di lapangan, dan minimnya keterlibatan aktif pemerintah daerah selaku pengguna akhir infrastruktur dalam memonitor keberlangsungan fungsi struktur pasca-proyek.

Dalam semangat FIDIC, pengawasan tidak sekadar memverifikasi kualitas pekerjaan fisik, tetapi juga memastikan adanya mekanisme early warning saat tanda-tanda potensi kegagalan muncul—misalnya, pergeseran tanah, retakan dini, atau peningkatan tekanan air di balik dinding. Semua pihak memiliki tanggung jawab kolektif untuk merespons secara teknis dan administratif, termasuk melalui site meeting rutin, pembaruan program kerja, dan evaluasi teknis berkala. Lemahnya implementasi prinsip kolaborasi ini mengubah proyek menjadi sekadar "kontrak mati"—formalitas administratif tanpa semangat koordinasi teknis yang hidup.

Kegagalan konstruksi turap TPA Cipeucang adalah bukti nyata bahwa keberhasilan proyek infrastruktur tidak hanya ditentukan oleh kekuatan struktur atau kualitas material semata, melainkan juga oleh seberapa substantif dokumen kontrak—khususnya yang diatur dalam FIDIC—diimplementasikan. Ketika Sub-Klausul 4.12 dan 4.6 diabaikan atau dijalankan secara minimal, proyek kehilangan kemampuannya untuk beradaptasi dengan realitas lapangan dan rentan mengalami kegagalan fungsi.

Sebagai pembelajaran vital dari kasus ini, kontrak-kontrak konstruksi publik di masa depan harus dirancang lebih matang dan akomodatif terhadap risiko teknis dan lingkungan. Beberapa rekomendasi kunci meliputi:

  1. Pencantuman Klausul Jaminan Mutu dan Performance Bond yang Lebih Kuat: Sub-Klausul 4.2 FIDIC Red Book menyediakan dasar hukum untuk jaminan mutu dan performance bond dengan durasi yang lebih panjang. Ini vital untuk memastikan kontraktor tetap bertanggung jawab atas mutu pekerjaan selama periode defects liability atau lebih lama, terutama pada proyek berisiko tinggi seperti TPA yang melibatkan beban dinamis dan lingkungan agresif (lindi, gas metana).
  2. Monitoring Pasca-Konstruksi dan Inspeksi Teknis Independen: Kontrak harus secara tegas mengatur monitoring pasca-konstruksi dan inspeksi teknis berkala oleh pihak independen. Ini krusial untuk mendeteksi potensi kegagalan sedini mungkin—seperti pergeseran horizontal, retakan mikro, atau akumulasi tekanan air di balik turap—yang, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan keruntuhan total. Inspeksi dari pihak eksternal yang netral dan kompeten sangat esensial untuk objektivitas evaluasi teknis.
  3. Kerangka Alokasi Risiko dan Analisis Risiko Teknis Komprehensif: Sejak tahap pengadaan, kontrak harus menyertakan risk allocation framework dan technical risk analysis yang komprehensif dalam dokumen tender. Ini mencakup pemetaan risiko lingkungan (misalnya, perubahan daya dukung tanah akibat lindi), risiko beban (proyeksi peningkatan volume sampah), hingga risiko operasional. Setiap risiko harus memiliki skenario mitigasi teknis yang jelas, seperti sistem drainase bawah permukaan, geotextile reinforcement, atau metode distribusi beban sampah yang merata. Oleh karena itu, setiap proposal teknis kontraktor harus memuat method statement yang tidak hanya menjelaskan urutan kerja, tetapi juga strategi manajemen beban, sistem pengendalian air dan gas, serta rencana kontingensi untuk kondisi lapangan yang berbeda dari perkiraan awal.

Kegagalan turap Cipeucang adalah pengingat tegas akan pentingnya integrasi teknis, manajerial, dan kontraktual yang kuat dalam setiap proyek infrastruktur. Tanpa pendekatan holistik ini, investasi besar yang dibiayai negara berisiko menjadi monumen kegagalan.

 

 

Daftar Pustaka:

FIDIC. (2017). Conditions of Contract for Construction for Building and Engineering Works Designed by the Employer (Red Book) (2nd ed.). Fédération Internationale des Ingénieurs-Conseils.

Kusmayandi, D. (2023). Evaluasi Dampak Tempat Pembuangan Akhir Sampah terhadap Masyarakat di Sekitar TPA Cipeucang Kota Tangerang Selatan (Skripsi, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).

Das, B. M. (2010). Principles of Geotechnical Engineering (7th ed.). Cengage Learning.

Bowles, J. E. (1997). Foundation Analysis and Design (5th ed.). McGraw-Hill.

Departemen Pekerjaan Umum. (2013). Peraturan Menteri PUPR No. 12 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan. Jakarta: Kementerian PUPR.

Lambe, T. W., & Whitman, R. V. (1969). Soil Mechanics. John Wiley & Sons.

 

 

 

 

Kegagalan Turap TPA Cipeucang: Tinjauan Teknik dan Kontraktual Berdasarkan Praktik FIDIC

1. Latar Belakang

Konstruksi infrastruktur publik merupakan tulang punggung pembangunan yang berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat. Infrastruktur yang andal dan berfungsi optimal mendukung aktivitas sosial, ekonomi, dan lingkungan secara berkelanjutan. Namun demikian, keberhasilan suatu proyek infrastruktur tidak dapat semata-mata diukur dari kekuatan struktur fisiknya, melainkan juga dari sejauh mana proyek tersebut dirancang, dilaksanakan, dan dikelola secara menyeluruh. Integrasi antara aspek teknis, lingkungan, manajemen risiko, dan kontraktual menjadi kunci dalam menjamin keberlanjutan fungsi infrastruktur.

Salah satu kasus yang menyoroti pentingnya pendekatan holistik dalam pembangunan infrastruktur adalah kegagalan konstruksi turap di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang, Tangerang Selatan. Struktur penahan tanah yang dibangun pada tahun 2019 dengan anggaran mencapai Rp22 miliar tersebut runtuh pada bulan Mei 2020, kurang dari satu tahun setelah penyelesaian konstruksi. Turap yang semula dirancang untuk menahan beban timbunan sampah dan mencegah pencemaran Sungai Cisadane justru ambruk, mengakibatkan tumpukan sampah mencemari badan sungai.

Peristiwa ini tidak hanya mencerminkan kegagalan teknis, tetapi juga memperlihatkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan, perencanaan risiko, dan pengelolaan kontrak konstruksi. Mengingat lokasi proyek berada di lingkungan ekstrem seperti TPA—dengan beban dinamis dari timbunan sampah dan keberadaan air lindi yang agresif—diperlukan evaluasi mendalam terhadap desain teknik, kualitas pelaksanaan, serta efektivitas implementasi kontrak kerja konstruksi.

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji secara komprehensif penyebab kegagalan struktur turap TPA Cipeucang, baik dari sisi teknis maupun kontraktual. Kajian ini diharapkan dapat memberikan pembelajaran berharga dalam merancang sistem infrastruktur yang lebih tangguh serta kontrak kerja yang lebih responsif terhadap dinamika lapangan, khususnya dalam proyek-proyek berisiko tinggi.

2. Tujuan Penelitian

·         Menganalisis penyebab kegagalan turap TPA Cipeucang dari perspektif teknik sipil dan lingkungan.

·         Mengevaluasi implementasi kontrak berdasarkan standar FIDIC Red Book.

·         Memberikan rekomendasi perbaikan pada aspek desain, pelaksanaan, dan administrasi kontrak konstruksi publik berisiko tinggi.

3. Dasar Teori

Studi ini menggunakan pendekatan multidisiplin yang menggabungkan prinsip-prinsip teknik sipil, geoteknik, manajemen risiko konstruksi, serta analisis hukum kontraktual berdasarkan praktik standar internasional, yakni FIDIC Red Book. Pemahaman menyeluruh terhadap dasar-dasar teori ini sangat krusial dalam menganalisis penyebab kegagalan teknis dan kelemahan sistem pengelolaan proyek infrastruktur publik.

2.1 Teori Geoteknik dan Mekanika Tanah

2.1.1 Tekanan Lateral Tanah terhadap Dinding Penahan

Desain struktur penahan tanah seperti turap pada dasarnya harus mempertimbangkan gaya-gaya yang bekerja akibat tekanan lateral dari massa tanah atau timbunan material di belakang dinding. Dua pendekatan klasik yang umum digunakan adalah:

·         Teori Rankine

Rankine mengembangkan teori tekanan tanah lateral dengan asumsi kondisi bidang tanah datar, isotropik, dan tidak mengalami kohesi. Tekanan lateral pada dinding terdiri atas tekanan aktif (pada saat dinding bergerak menjauh dari tanah) dan tekanan pasif (pada saat dinding menahan tanah dari pergerakan keluar). Rumus tekanan aktif Rankine untuk tanah tanpa kohesi:

σa=Kaγh

di mana Ka adalah koefisien tekanan tanah aktif, γ berat jenis tanah, dan h kedalaman.

·         Teori Coulomb

Mengakomodasi kemiringan dinding, sudut geser tanah, dan sudut gesekan antara tanah dan dinding. Pendekatan ini dianggap lebih realistis untuk desain praktis.

Namun, dalam kasus turap TPA Cipeucang, gaya-gaya tersebut tidak berasal dari tanah biasa, melainkan dari timbunan sampah—suatu material yang sangat heterogen, dinamis, dan mengalami perubahan densitas serta tekanan seiring waktu dan pelapukan. Oleh karena itu, teori-teori klasik perlu dimodifikasi atau disesuaikan dengan parameter eksperimental timbunan sampah, seperti data hasil landfill geotechnical investigation.

2.1.2 Pengaruh Tekanan Air Pori dan Kondisi Tanah Jenuh

Menurut Terzaghi (1943), kekuatan geser tanah terdiri atas tiga komponen: kohesi, friksi dalam, dan tekanan efektif. Ketika tanah mengalami kejenuhan akibat infiltrasi air lindi, tekanan air pori meningkat dan mengurangi tekanan efektif (σ′). Ini menyebabkan turunnya daya dukung tanah dan meningkatnya risiko kelongsoran atau shear failure.

σ′=σ−u

di mana:

·         σ: tekanan total

·         u: tekanan air pori

·         σ′: tekanan efektif

Kondisi ini sangat relevan di lokasi TPA, di mana air lindi—hasil dekomposisi sampah organik—tidak hanya bersifat jenuh, tapi juga membawa kontaminan yang mempercepat pelapukan tanah dan mengubah struktur mikronya.

2.1.3 Sistem Drainase dan Stabilitas Turap

Drainase menjadi komponen penting dalam desain dinding penahan. Sistem drainase yang tidak berfungsi atau tidak memadai dapat menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di belakang dinding. Tekanan ini menambah beban lateral secara signifikan. Desain struktur harus memperhitungkan:

·         Weep holes

·         Geotextile filter

·         Drainage layer

·         Subsurface drainage system (geodrain, perforated pipe)

Jika tidak ada sistem drainase yang memadai, air dari curah hujan dan lindi akan terperangkap, menghasilkan tekanan balik tambahan yang mempercepat keruntuhan struktur.

2.2 Teori Material dan Kualitas Beton di Lingkungan Agresif

Lingkungan TPA dikenal sangat agresif terhadap material bangunan, khususnya terhadap beton dan baja tulangan. Pengaruh kimiawi dari lindi, gas metana, dan senyawa amonia dapat menyebabkan:

·         Degradasi permukaan beton (sulfate attack)

·         Korosi tulangan akibat peningkatan kelembaban dan pH ekstrim

·         Retak dini akibat ekspansi atau reaksi alkali-silika

Oleh karena itu, berdasarkan SNI 2847:2019 dan ACI 318-14, beton untuk lingkungan agresif harus memenuhi beberapa syarat:

·         Menggunakan aditif tahan sulfat

·         Rasio air-semen yang rendah (≤ 0,45)

·         Penggunaan semen tipe V (sulfate-resistant)

·         Mutu beton minimal f’c = 30 MPa

·         Uji slump dan pengecoran sesuai waktu setting

Gagalnya pelaksanaan mutu beton di lapangan dapat menyebabkan mikroretakan yang mempercepat infiltrasi lindi dan korosi baja, yang memperlemah struktur dari dalam.

2.3 Manajemen Proyek dan Risiko Konstruksi

Manajemen proyek konstruksi mencakup pengendalian terhadap waktu, biaya, mutu, dan risiko. Berdasarkan PMBOK (Project Management Institute), risiko harus diidentifikasi, dianalisis, dan dimitigasi sejak tahap awal perencanaan. Dalam konteks proyek TPA, risiko-risiko berikut harus diantisipasi:

·         Perubahan karakteristik timbunan

·         Infiltrasi air lindi ke tanah dasar

·         Kegagalan drainase

·         Kondisi tanah lunak yang tidak terdeteksi

Elemen penting yang sering diabaikan adalah sistem early warning, seperti inclinometer, piezometer, dan deformasi meter, untuk mendeteksi tanda-tanda awal kegagalan struktural.

2.4 Teori Kontraktual: FIDIC Red Book (First Edition 1999)

FIDIC (Fédération Internationale des Ingénieurs-Conseils) adalah pedoman kontrak konstruksi internasional yang lazim digunakan dalam proyek publik, khususnya yang dibiayai pemerintah dan lembaga donor.

-          Sub-Klausul 4.1 – Contractor’s General Obligations

Kontraktor wajib menjalankan pekerjaan dengan keahlian profesional, kehati-hatian, dan praktik terbaik. Gagalnya pelaksanaan yang mempertimbangkan kondisi lapangan dapat dianggap sebagai pelanggaran kewajiban profesional.

-          Sub-Klausul 4.6 – Co-operation

Menekankan pentingnya koordinasi dan kolaborasi antara semua pihak proyek—Employer, Engineer, dan Contractor—untuk mencegah kesalahpahaman dan menangani perubahan teknis.

-          Sub-Klausul 4.12 – Unforeseeable Physical Conditions

Kontraktor dapat mengklaim tambahan biaya atau waktu jika menghadapi kondisi fisik yang tidak terduga, seperti tanah lunak atau kandungan air lindi yang tinggi, yang tidak diperhitungkan dalam dokumen awal.

-          Sub-Klausul 8.3 – Programme

Mengharuskan kontraktor membuat dan memperbarui jadwal kerja yang mencerminkan kondisi aktual lapangan, termasuk strategi mitigasi risiko teknis.

Implementasi FIDIC secara substansial membantu menjaga keseimbangan tanggung jawab dan hak antar pihak, serta memberikan struktur penyelesaian sengketa dan adaptasi teknis yang adil.

 

4. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dengan metode studi kasus. Pendekatan ini dipilih karena bertujuan untuk memahami secara mendalam fenomena kegagalan turap di TPA Cipeucang dari berbagai perspektif, termasuk teknis, lingkungan, dan kontraktual. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk menganalisis suatu kejadian nyata secara kontekstual, menyeluruh, dan terperinci dalam bingkai teori dan praktik yang relevan.

4.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yakni menguraikan fakta-fakta empiris, kemudian menganalisisnya dengan menggunakan teori dan regulasi sebagai alat bantu. Pendekatan ini sesuai untuk menjelaskan hubungan antara penyebab teknis dan kegagalan kontraktual dalam satu proyek konstruksi publik.

4.2 Lokasi dan Subjek Kajian

Objek kajian adalah struktur turap pada proyek TPA Cipeucang, Tangerang Selatan, yang mengalami kegagalan pada tahun 2020. Proyek ini dipilih sebagai studi kasus karena menjadi salah satu contoh nyata keruntuhan struktur di proyek infrastruktur publik dengan implikasi lingkungan yang besar.

4.3 Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui beberapa sumber sekunder berikut:

·         Studi Dokumentasi:

o    Berita media massa dan rilis resmi dari pemerintah daerah.

·         Analisis Dokumen Hukum dan Kontraktual:

o    Telaah terhadap standar FIDIC Red Book (edisi 1999) yang umum digunakan pada proyek infrastruktur publik berbasis Employer-Design Contract.

o    Interpretasi pasal-pasal yang relevan dengan konteks kegagalan proyek, khususnya Sub-Klausul 4.1, 4.6, 4.12, dan 8.3.

·         Tinjauan Literatur Ilmiah:

o    Studi akademik dan jurnal ilmiah terkait geoteknik timbunan sampah (landfill geotechnics), pengaruh air lindi, dan tekanan lateral tanah.

o    Referensi tentang manajemen risiko dalam proyek infrastruktur serta best practices dalam pengelolaan proyek menggunakan standar FIDIC.

 

5Analisis pada penelitian ini dibagi ke dalam dua aspek utama: aspek teknis dan aspek kontraktual. Kedua aspek ini saling berkaitan dan membentuk pemahaman menyeluruh atas penyebab kegagalan turap TPA Cipeucang. Analisis dilakukan berdasarkan temuan dokumentasi, referensi ilmiah, serta interpretasi klausul-klausul FIDIC Red Book.

5.1 Aspek Teknis

Kegagalan struktur turap TPA Cipeucang menunjukkan bahwa pendekatan teknis yang digunakan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek belum mampu menjawab tantangan kondisi lapangan yang kompleks. Beberapa poin utama dari analisis teknis meliputi:

a. Desain Tidak Memadai terhadap Tekanan Lateral Sampah

Struktur turap didesain untuk menahan beban lateral dari tanah biasa, bukan dari timbunan sampah heterogen yang bersifat dinamis dan terus berubah densitasnya. Dalam kondisi operasional TPA, timbunan sampah menghasilkan tekanan lateral progresif, yang meningkat seiring waktu akibat pemadatan dan pelapukan internal. Ketika tekanan ini tidak diperhitungkan secara cermat dalam desain, struktur menjadi rentan terhadap kegagalan geser atau deformasi lateral.

b. Ketidakhadiran Sistem Drainase yang Efektif

Analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat sistem drainase horizontal atau vertikal yang memadai di balik turap. Akibatnya, air lindi dan air hujan tertahan dan membentuk tekanan air pori yang tinggi, yang pada gilirannya menurunkan tekanan efektif tanah pendukung (menurut hukum Terzaghi). Tekanan hidrostatik yang tidak tertangani ini memperbesar gaya dorong terhadap dinding, menyebabkan instabilitas struktural secara progresif.

c. Mutu Beton dan Pelaksanaan Tidak Sesuai Standar

Kondisi lingkungan TPA yang mengandung gas metana dan senyawa kimia agresif menuntut penggunaan beton dengan spesifikasi khusus, seperti aditif tahan sulfat dan semen tipe V. Namun, dari investigasi lapangan dan pemberitaan yang tersedia, pelaksanaan konstruksi tidak mencerminkan kontrol mutu yang ketat. Diduga terjadi pengecoran yang tidak mengikuti jam kerja ideal, ketidaksesuaian rasio air-semen, dan potensi rendahnya mutu beton akibat kurangnya pengujian slump atau uji kuat tekan. Hal ini mempercepat degradasi struktur dan menurunkan ketahanan jangka panjangnya.

5.2 Aspek Kontraktual (FIDIC Red Book)

Selain aspek teknis, kegagalan ini juga menunjukkan lemahnya implementasi prinsip-prinsip kontraktual, khususnya yang diatur dalam FIDIC Red Book. Beberapa klausul kunci yang dilanggar atau tidak diimplementasikan secara substansial adalah sebagai berikut:

a. Pelanggaran Sub-Klausul 4.1 – Contractor’s General Obligations

Sub-Klausul ini menuntut kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan dengan kehati-hatian profesional dan praktik terbaik. Namun, dalam kasus ini, kontraktor tampaknya tidak melakukan penyesuaian metode pelaksanaan terhadap kondisi aktual lapangan yang berubah dinamis, seperti peningkatan volume sampah dan perubahan karakteristik tanah akibat lindi. Kurangnya tindakan korektif menunjukkan tidak adanya due diligence dalam menjaga kesesuaian teknis.

b. Pelanggaran Sub-Klausul 8.3 – Programme

FIDIC mewajibkan kontraktor untuk menyusun dan memperbarui programme of work yang mencerminkan urutan kerja dan risiko teknis. Dalam kasus Cipeucang, tidak terdapat bukti bahwa program kerja diperbarui saat muncul perubahan beban lateral dan kondisi drainase yang memburuk. Ketidakhadiran pembaruan ini melemahkan kapasitas proyek untuk beradaptasi terhadap dinamika lapangan.

c. Pelanggaran Sub-Klausul 4.12 – Unforeseeable Physical Conditions

Tekanan lindi yang tinggi dan perubahan beban timbunan merupakan kondisi fisik yang bersifat dinamis dan sulit diprediksi secara akurat di awal proyek. FIDIC memberikan ruang kepada kontraktor untuk mengajukan revisi desain atau klaim tambahan apabila menghadapi kondisi seperti ini. Namun, tidak ada catatan bahwa kontraktor menggunakan mekanisme ini, yang berarti potensi mitigasi teknis yang disediakan kontrak tidak dimanfaatkan secara optimal.

d. Pelanggaran Sub-Klausul 4.6 – Co-operation

Kerja sama antara pihak-pihak proyek merupakan elemen fundamental dalam menghadapi tantangan teknis di lapangan. Dalam proyek ini, tampak bahwa tidak terdapat koordinasi yang kuat antara kontraktor, engineer, dan pemberi kerja. Minimnya komunikasi teknis formal seperti site instruction, technical meetings, atau joint review atas kondisi lapangan menunjukkan lemahnya pelaksanaan prinsip kolaborasi. Akibatnya, potensi kegagalan tidak direspons secara terstruktur dan responsif.

 

6. Simpulan dan Saran

a. Simpulan

Analisis menyimpulkan bahwa kegagalan struktur turap TPA Cipeucang tidak hanya disebabkan oleh perhitungan teknis yang kurang tepat, tetapi juga oleh lemahnya sistem manajemen proyek dan kegagalan implementasi kontrak. Ketiadaan sistem drainase, buruknya mutu konstruksi, serta tidak diterapkannya prinsip-prinsip FIDIC secara substansial menjadi kombinasi faktor yang mendorong keruntuhan struktur dalam waktu singkat setelah konstruksi selesai.

b. Saran

1.      Peningkatan kualitas studi geoteknik awal dengan mempertimbangkan karakteristik spesifik TPA dan dinamika tekanan sampah dan lindi.

2.      Kontrak konstruksi publik harus menyertakan klausul teknis khusus untuk proyek berisiko tinggi, termasuk ketentuan tentang inspeksi independen dan design review berkala.

3.      Penerapan prinsip FIDIC secara substansial, tidak hanya formalitas administratif, terutama terkait risk management dan perubahan kondisi lapangan.

4.      Peningkatan kompetensi engineer dan tim pengawas lapangan dalam mendeteksi tanda-tanda awal kegagalan dan mengambil langkah korektif sebelum kerusakan terjadi.

 

 

 

 

 

 

 

KAJIAN SENGKETA KONSTRUKSI JALAN BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG


1.             Latar Belakang

Pembangunan infrastruktur jalan memiliki peran strategis dalam menunjang konektivitas wilayah, meningkatkan efisiensi logistik, serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan proyek konstruksi jalan tidak terlepas dari berbagai tantangan, termasuk munculnya sengketa antara para pihak yang terlibat, baik antara penyedia jasa (kontraktor), pengguna jasa (owner), maupun pihak ketiga lainnya. Sengketa ini sering kali dipicu oleh pelaksanaan proyek yang tidak sesuai dengan ketentuan kontrak, spesifikasi teknis yang disepakati, keterlambatan pelaksanaan, serta lemahnya pengelolaan administrasi proyek.

Kondisi tersebut tidak hanya berdampak pada kerugian finansial, namun juga dapat menimbulkan keterlambatan penyelesaian proyek, risiko hukum, bahkan menurunkan kualitas infrastruktur yang dihasilkan. Dalam konteks proyek yang dibiayai oleh anggaran negara, kegagalan dalam manajemen kontrak dan pelaksanaan pekerjaan juga dapat merugikan keuangan negara dan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap tata kelola proyek pemerintah.

Sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, Mahkamah Agung memiliki peran penting dalam memberikan kepastian hukum melalui putusan-putusan yang bersifat final dan mengikat. Putusan-putusan tersebut tidak hanya menyelesaikan sengketa yang diajukan, tetapi juga menjadi preseden dan sumber pembelajaran hukum bagi pelaku jasa konstruksi. Dengan mengkaji putusan Mahkamah Agung terkait sengketa proyek konstruksi jalan, dapat diperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai pola penyebab sengketa, karakteristik hukum yang muncul, dan solusi penyelesaiannya secara yuridis.

Kajian ini menjadi penting dalam rangka mendorong reformasi tata kelola kontrak konstruksi yang lebih baik, serta sebagai upaya preventif dalam memitigasi sengketa serupa di masa mendatang. Melalui studi kasus konkret dari tiga putusan Mahkamah Agung, laporan ini bertujuan mengidentifikasi pola-pola yang terbentuk serta merumuskan rekomendasi praktis dalam hal penyusunan klausula kontrak dan penguatan administrasi proyek konstruksi jalan.

2.             Tujuan Penelitian

Tujuan dari laporan ini adalah:

·         Mengidentifikasi karakteristik proyek, penyebab sengketa, bentuk sengketa, dan cara penyelesaiannya.

·         Menemukan pola umum dari tiga kasus sengketa konstruksi jalan berdasarkan putusan Mahkamah Agung.

·         Memberikan rekomendasi berupa klausula kontrak dan administrasi yang dapat mencegah sengketa serupa di masa depan.

3.             Dasar Teori

Kajian ini bertumpu pada kerangka hukum perdata yang mengatur hubungan keperdataan antara para pihak dalam kontrak konstruksi. Dalam hukum perdata Indonesia, wanprestasi merujuk pada kegagalan salah satu pihak dalam memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam perjanjian. Wanprestasi dapat berupa tidak dilaksanakannya prestasi, keterlambatan, atau pelaksanaan yang tidak sesuai dengan isi perjanjian, yang kemudian menimbulkan hak bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi, pembatalan kontrak, maupun penyelesaian hukum lainnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

Dalam konteks konstruksi, kontrak antara pengguna jasa (pemilik proyek) dan penyedia jasa (kontraktor) memuat klausula-klausula penting yang mengatur spesifikasi teknis, jadwal pelaksanaan, mekanisme pembayaran, serta sanksi atas pelanggaran kontrak. Klausula ini pada umumnya dituangkan dalam dokumen formal seperti Surat Perintah Kerja (SPK), Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK), dan dokumen kontrak induk yang dapat mengacu pada standar nasional atau internasional seperti FIDIC (Fédération Internationale des Ingénieurs-Conseils). FIDIC sendiri mengatur prinsip-prinsip penting seperti alokasi risiko, perubahan pekerjaan (variation order), penyelesaian sengketa (dispute adjudication), dan peran engineer sebagai pengawas independen.

Selain teori hukum kontraktual, kajian ini juga menekankan pentingnya prinsip-prinsip administrasi proyek publik yang baik. Administrasi proyek meliputi pengelolaan dokumen pelaksanaan, pengawasan mutu, pencatatan perubahan pekerjaan, dan proses serah terima hasil pekerjaan. Kelemahan dalam administrasi ini, seperti tidak adanya berita acara serah terima (BAST), spesifikasi pekerjaan yang tidak didokumentasikan dengan baik, atau kurangnya verifikasi independen terhadap mutu pekerjaan, kerap menjadi celah timbulnya sengketa.

Pendekatan normatif digunakan untuk menilai kesesuaian pelaksanaan proyek terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, termasuk Undang-Undang Jasa Konstruksi, Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, serta peraturan teknis terkait standar mutu dan keselamatan struktur bangunan. Oleh karena itu, dasar teori dalam kajian ini bersifat multidisipliner, yang menggabungkan pendekatan hukum, manajemen konstruksi, serta tata kelola administrasi proyek publik.

1. Teori Umum Hukum Perjanjian (Law of Contract)

Teori Umum Hukum Perjanjian (Law of Contract) merupakan fondasi utama dalam memahami hubungan hukum antar pihak dalam proyek konstruksi. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1313–1338, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih yang saling mengikatkan diri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam konteks ini, terdapat tiga prinsip penting yang menjadi dasar hukum kontrak.

Pertama, prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa para pihak bebas untuk menentukan isi, bentuk, dan ketentuan-ketentuan kontrak selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Prinsip ini memberikan fleksibilitas kepada pihak-pihak dalam proyek konstruksi untuk menyesuaikan kontrak dengan kebutuhan dan risiko masing-masing.

Kedua, prinsip pacta sunt servanda menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Artinya, pelaksanaan kontrak menjadi wajib dan tidak dapat diingkari secara sepihak. Prinsip ini menjadi landasan kuat bagi pengadilan dalam menyatakan suatu pihak telah melakukan wanprestasi bila melanggar ketentuan kontrak.

Ketiga, prinsip konsensualisme menyatakan bahwa suatu kontrak telah sah dan mengikat sejak terjadi kesepakatan antara para pihak yang cakap hukum, mengenai objek tertentu dengan sebab yang halal. Dalam sengketa konstruksi, aspek konsensus ini menjadi penting terutama ketika timbul perselisihan mengenai apakah telah terjadi kesepakatan utuh atas perubahan pekerjaan, spesifikasi teknis, atau metode pelaksanaan.

2. Wanprestasi

Wanprestasi merupakan konsep hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1238–1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan menjadi salah satu landasan utama dalam penyelesaian sengketa kontrak, termasuk dalam proyek konstruksi. Wanprestasi didefinisikan sebagai keadaan di mana pihak yang berkewajiban (debitur) tidak memenuhi prestasi sebagaimana telah disepakati dalam perjanjian. Pelanggaran ini dapat berupa beberapa bentuk, yakni: (1) tidak melakukan apa yang dijanjikan, (2) melakukan tetapi terlambat, (3) melakukan namun tidak sesuai dengan mutu, waktu, atau spesifikasi yang ditentukan, dan (4) justru melakukan sesuatu yang dilarang dalam kontrak.

Dalam konteks konstruksi, wanprestasi sangat relevan karena pekerjaan fisik seperti struktur, jembatan, dan jalan memiliki ukuran keberhasilan yang konkret dan dapat diverifikasi berdasarkan dokumen kontrak, seperti RAB, spesifikasi teknis, dan gambar kerja.

Pelanggaran terhadap spesifikasi tersebut merupakan bentuk wanprestasi berupa pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kualitas yang diperjanjikan. Dalam hukum, hal ini memberi dasar kuat bagi pemberi kerja untuk mengajukan gugatan ganti rugi, pembatalan kontrak, atau permintaan perbaikan. Oleh karena itu, teori wanprestasi tidak hanya memberikan definisi pelanggaran kontrak, tetapi juga menjadi dasar analisis dan pembenaran hukum bagi majelis hakim dalam memutuskan tanggung jawab serta sanksi terhadap pihak yang lalai dalam menjalankan kewajiban kontraktualnya.

3. Teori Klausula Kontrak dalam Konstruksi

Klausula Kontrak dalam Konstruksi menjadi fondasi utama dalam memahami hubungan hukum antara para pihak dalam proyek pembangunan. Sumber utama dari teori ini berasal dari dokumen kontraktual seperti SPK (Surat Perintah Kerja), SPMK (Surat Perintah Mulai Kerja), kontrak induk proyek, serta standar internasional seperti FIDIC Red Book yang lazim digunakan dalam proyek-proyek konstruksi berskala besar. Klausula-klausula dalam kontrak konstruksi secara umum mencakup lingkup pekerjaan, standar mutu dan spesifikasi teknis, jadwal pelaksanaan, hak dan kewajiban para pihak, skema pembayaran, denda atas keterlambatan (liquidated damages), prosedur serah terima pekerjaan (seperti BAST), serta mekanisme penyelesaian sengketa.

Setiap elemen tersebut memiliki fungsi krusial dalam menjamin keberhasilan dan akuntabilitas proyek. Misalnya, klausula spesifikasi teknis menjadi dasar untuk menilai apakah hasil pekerjaan memenuhi standar mutu yang telah disepakati. Klausula BAST (Berita Acara Serah Terima) juga memegang peranan penting sebagai bukti penyelesaian dan titik awal pemenuhan kewajiban pembayaran. Ketika terjadi pelanggaran terhadap klausula-klausula tersebut, maka dapat menimbulkan sengketa hukum yang mengarah pada gugatan perdata.

 

4. Ketentuan Perjanjian Standar Pemerintah

Ketentuan Perjanjian Standar Pemerintah berlandaskan pada regulasi formal yang mengatur praktik pengadaan barang dan jasa, khususnya dalam proyek-proyek konstruksi yang dibiayai oleh APBN/APBD. Dua sumber utama teori ini adalah Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Menteri PUPR No. 14 Tahun 2020 tentang Standar Dokumen Pemilihan untuk Pengadaan Pekerjaan Konstruksi. Regulasi ini tidak hanya menetapkan prinsip-prinsip umum pengadaan seperti efisien, efektif, transparan, dan akuntabel, tetapi juga mengharuskan pencantuman klausula-klausula standar dalam kontrak kerja konstruksi pemerintah.

Klausula-klausula standar tersebut meliputi antara lain: mekanisme pembayaran, penyesuaian harga, pengaturan keadaan kahar (force majeure), perubahan volume dan spesifikasi pekerjaan (variation order), prosedur serah terima pekerjaan, serta penyelesaian sengketa baik melalui mediasi, arbitrase, maupun peradilan. Format kontrak yang digunakan umumnya mengikuti struktur baku dan banyak yang mengacu atau diselaraskan dengan dokumen standar internasional seperti FIDIC Red Book.

4. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah studi kasus yurisprudensi dengan menganalisis tiga putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia:

·         Putusan No. 3990 K/Pdt/2023 (Rest Area Km. 338 A)

·         Putusan No. 1902 K/Pdt/2025 (Jembatan Baja RSCM Kencana – Kirana)

·         Putusan No. 6282 K/Pdt/2024 (Struktur Mangga Besar Town Square) Analisis dilakukan dengan membandingkan aspek-aspek proyek, penyebab sengketa, substansi gugatan, dan bentuk penyelesaian yang diberikan oleh pengadilan.

Adapun Ringkasan Kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut:

Kasus 1: Rest Area Km. 338 A – Pegandon, Pekalongan

Kasus ini bermula dari proyek pembangunan rest area yang menjadi objek sengketa antara PT Hetty Kris Abigail (Penggugat) dan PT Orlando Aristo (Tergugat). Di tingkat pertama (PN Semarang No. 198/Pdt.G/2022/PN Smg), majelis hakim mengabulkan seluruh gugatan Penggugat, menyatakan bahwa PT Orlando Aristo telah melakukan wanprestasi, serta menetapkan bahwa dokumen kontrak seperti SPK, kontrak utama, dan SPMK sah dan mengikat. Selain itu, pengadilan mengesahkan sita jaminan terhadap lima sertifikat HGB milik tergugat. PT Orlando Aristo dihukum untuk membayar sisa pembayaran proyek (yang telah diaudit), dikurangi Rp2 miliar yang sebelumnya telah dibayar, ganti rugi operasional beserta bunga dengan acuan BI rate sebesar Rp4,73 miliar, ganti rugi immateriil senilai Rp2 miliar, serta denda keterlambatan dan dwangsom masing-masing sebesar Rp10 juta per hari. Gugatan rekonvensi dari pihak tergugat ditolak seluruhnya, dan putusan dinyatakan dapat dijalankan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad).

Namun, dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi Semarang, putusan tersebut dibatalkan. Hakim menyatakan bahwa gugatan dari PT Hetty Kris Abigail mengandung cacat formil karena bersifat obscuur libel, yaitu tidak jelas mengenai nilai dan volume pekerjaan yang disengketakan. Selain itu, pekerjaan dinyatakan tidak sesuai dengan gambar dan spesifikasi teknis. Atas dasar ini, gugatan tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard). Dalam putusan tingkat kasasi (MA RI No. 3990 K/Pdt/2023), Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh PT Hetty Kris Abigail dan menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi Semarang tidak salah dalam menerapkan hukum. Pertimbangan bahwa gugatan kabur dan pekerjaan tidak sesuai kontrak dinilai sudah tepat secara hukum. Pemohon kasasi dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp500.000.

Kasus 2: Jembatan Baja RSCM Kencana – Kirana

Sengketa ini melibatkan proyek pembangunan jembatan baja penghubung antara RSCM Kencana dan RSCM Kirana, dengan dasar hukum berupa Surat Perjanjian Kontrak Kerja (SPKK) tertanggal 18 Oktober 2022. PT Panderman Jaya selaku penggugat menggugat PT Temindo Jaya Setia setelah proyek diputus oleh RSCM melalui surat tertanggal 3 Mei 2023, yang menurut penggugat terjadi akibat wanprestasi oleh tergugat. Dalam tingkat pertama (PN Depok No. 86/Pdt.G/2024/PN Dpk), tergugat tidak hadir meskipun telah dipanggil secara sah. Namun, majelis hakim tetap menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dan biaya perkara dibebankan kepada penggugat.

Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung (No. 603/PDT/2024/PT BDG), dengan alasan bahwa gugatan tidak memenuhi syarat formil, antara lain karena tidak mencantumkan RSCM sebagai pihak tergugat atau turut tergugat, padahal RSCM adalah pihak yang memutus kontrak. Selain itu, nilai kerugian yang diklaim oleh penggugat tidak dijabarkan secara rinci dan tidak disertai dengan bukti konkret mengenai perhitungan kerugian. Dalam kasasi (MA RI No. 1902 K/Pdt/2025), Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dan menyatakan bahwa objek gugatan tidak lengkap serta tidak memenuhi unsur formil gugatan perdata. Perhitungan kerugian dianggap hanya mencantumkan angka tanpa uraian rinci atau bukti pendukung. Pemohon kasasi kembali dihukum untuk membayar biaya perkara sebesar Rp500.000.

Kasus 3: Struktur Mangga Besar Town Square

Kasus ini melibatkan proyek pembangunan struktur gedung Mangga Besar Town Square, Jakarta, dengan para pihak yaitu PT Alumindo Cipta Persada sebagai kontraktor pelaksana (Pemohon Kasasi), PT Wijaya Karya Bangunan Gedung Tbk (WIKA) sebagai pemberi pekerjaan (Termohon Kasasi), dan Perumda Pasar Jaya sebagai pemilik proyek (Turut Termohon). PT Alumindo mengajukan gugatan terhadap WIKA karena tidak melakukan pelunasan pembayaran pekerjaan senilai Rp14,53 miliar, padahal menurut penggugat, pekerjaan telah diselesaikan sesuai kontrak. Namun, pihak WIKA menolak membayar dengan alasan terdapat keretakan pada struktur bangunan di lantai P1 hingga P4, dan audit menyatakan mutu beton hanya mencapai 17,59 MPa dari standar kontrak sebesar 30 MPa. WIKA kemudian mengajukan gugatan balik (rekonvensi), menuntut ganti rugi sebesar Rp247 miliar dan kerugian immateriil sebesar Rp500 miliar.

Dalam putusan Mahkamah Agung No. 6282 K/Pdt/2024, kasasi dari PT Alumindo dikabulkan sebagian, dan putusan dari PN Jakarta Selatan serta PT DKI Jakarta dibatalkan. MA memutuskan untuk mengadili sendiri perkara tersebut. Gugatan konvensi dari PT Alumindo ditolak karena dinilai belum waktunya mengklaim wanprestasi, mengingat pekerjaan belum sepenuhnya memenuhi standar mutu teknis sesuai kontrak. Sebaliknya, gugatan rekonvensi dari WIKA dikabulkan sebagian. PT Alumindo dinyatakan wanprestasi dan diperintahkan untuk melakukan perbaikan terhadap struktur bangunan—termasuk pelat, balok, dan pile cap—sesuai dengan mutu beton 30 MPa yang tercantum dalam SPK. Selain itu, Mahkamah memutuskan bahwa WIKA hanya berkewajiban melakukan pelunasan setelah perbaikan selesai dan diverifikasi oleh konsultan independen yang terakreditasi. Sementara itu, tuntutan ganti rugi WIKA sebesar Rp247 miliar dan Rp500 miliar ditolak karena tidak terbukti secara cukup. Biaya perkara di semua tingkat peradilan dibebankan kepada PT Alumindo.

5. Analisis

Analisis Kasus 1: Rest Area Km. 338 A – Pegandon, Pekalongan

1. Karakteristik Proyek

Proyek ini merupakan pekerjaan pembangunan rest area di Km. 338 A ruas tol Pegandon–Pekalongan. Proyek bersifat fasilitas publik yang berkaitan dengan konektivitas infrastruktur jalan, sehingga memiliki urgensi tinggi dalam penyelesaian tepat waktu dan sesuai mutu. Proyek ini dilaksanakan melalui perikatan kontraktual formal menggunakan dokumen seperti SPK dan SPMK antara pihak pemberi kerja (pemilik proyek) dan kontraktor pelaksana.

2. Karakteristik Sengketa

Sengketa timbul karena pihak penggugat (PT Hetty Kris Abigail) menuntut sisa pembayaran pekerjaan yang menurutnya telah dilaksanakan sesuai kontrak. Penggugat juga meminta ganti rugi materil dan immateriil, serta menetapkan sita jaminan atas aset tergugat (PT Orlando Aristo). Tergugat menyatakan keberatan dan mengajukan rekonvensi. Namun gugatan rekonvensi ditolak di tingkat pertama.

Putusan PN Semarang mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya. Namun di tingkat banding, PT Semarang membatalkan putusan PN dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena kabur (obscuur libel) dan pekerjaan dinilai tidak sesuai gambar serta spesifikasi teknis. Mahkamah Agung menolak kasasi penggugat dan menguatkan putusan PT Semarang.

3. Penyebab Sengketa (Root Cause)

Penyebab sengketa secara substansi mencerminkan:

·         Kurangnya kesesuaian antara pekerjaan lapangan dengan gambar teknis dan RAB yang menjadi dasar kontrak.

·         Tidak adanya perincian yang memadai dalam gugatan terkait volume dan nilai pekerjaan, padahal unsur ini penting dalam gugatan wanprestasi.

·         Tidak adanya kejelasan serah terima pekerjaan secara administratif (seperti BAST), yang bisa dijadikan bukti objektif selesainya pekerjaan.

·         Minimnya sistem dokumentasi dan klarifikasi terhadap progres yang disetujui kedua belah pihak.

4. Kajian berdasarkan dengan FIDIC Red Book

Dalam kontrak konstruksi yang mengacu pada FIDIC Red Book, terdapat klausula penting yang dapat menjadi acuan penyelesaian sengketa, di antaranya:

·         Klausul 1.1 & 1.5 – Definisi dan Ketentuan Kontrak: Semua dokumen kontrak (termasuk gambar, spesifikasi, Bill of Quantities) bersifat saling melengkapi. Ketidaksesuaian pekerjaan terhadap dokumen ini dapat dianggap sebagai wanprestasi.

·         Klausul 10 – Taking Over Certificate (TOC): Kontraktor baru dinyatakan menyelesaikan pekerjaan setelah pemberi kerja mengeluarkan sertifikat serah terima. Tidak disebutkannya dokumen serah terima (BAST) atau TOC dalam perkara ini menjadi titik lemah dalam klaim penggugat.

·         Klausul 14 – Payment: Pembayaran dilakukan berdasarkan sertifikat pembayaran interim atau final yang diterbitkan setelah diverifikasi oleh engineer atau konsultan pengawas. Dalam kasus ini, pembayaran yang diminta tampaknya tidak dilengkapi dokumen yang diverifikasi sesuai ketentuan ini.

·         Klausul 20 – Klaim dan Penyelesaian Sengketa: FIDIC menyediakan mekanisme penyelesaian klaim yang terstruktur, melalui pemberitahuan klaim tertulis, penyampaian rincian bukti, serta ruang untuk adjudikasi sebelum litigasi. Mekanisme ini tampaknya tidak digunakan secara optimal dalam kasus ini.

5. Kajian Hukum Kontrak

Secara yuridis, kasus ini menyentuh prinsip-prinsip hukum kontrak perdata Indonesia:

·         Asas pacta sunt servanda (Pasal 1338 KUHPerdata): Setiap perjanjian mengikat para pihak sebagaimana undang-undang. Namun, pengadilan menilai bahwa pekerjaan tidak sesuai kontrak dan gugatan kabur, sehingga tidak layak dikabulkan.

·         Wanprestasi (Pasal 1238–1245): Dalam hal ini, MA justru tidak melihat cukup bukti bahwa tergugat lalai, sebaliknya menilai bahwa gugatan wanprestasi diajukan tanpa rincian teknis yang sahih dan konkret.

6. Karakteristik Penyelesaian Sengketa

·         Tingkat Pertama (PN Semarang): Menerima gugatan, menghukum tergugat membayar sisa pekerjaan dan ganti rugi, serta menyita aset jaminan.

·         Tingkat Banding (PT Semarang): Membatalkan seluruh putusan PN. Menilai gugatan kabur dan substansi pekerjaan tidak sesuai spesifikasi.

·         Tingkat Kasasi (MA RI): Menguatkan putusan PT. MA menyatakan gugatan tidak sah karena tidak memenuhi aspek formil dan materil yang cukup.

7. Lesson Learned & Rekomendasi Kontraktual

·         Penyusunan gugatan harus disertai data teknis lengkap, termasuk volume pekerjaan, rincian harga, dan status pembayaran berdasarkan dokumen progres.

·         Kontrak konstruksi harus mencantumkan mekanisme verifikasi teknis oleh pengawas independen, sebagaimana prinsip dalam FIDIC.

·         Dokumentasi progres pekerjaan (berita acara mingguan, BAST, foto lapangan, TOC) wajib diadministrasikan secara lengkap sebagai dasar sah klaim pembayaran.

·         Disarankan menggunakan klausula penyelesaian sengketa berlapis (negosiasi → adjudikasi → arbitrase → pengadilan) seperti dalam FIDIC agar pengadilan menjadi opsi terakhir.

 

 

 

Analisis Kasus 2: Jembatan Baja RSCM Kencana–Kirana

1. Karakteristik Proyek

Proyek ini merupakan pembangunan jembatan baja yang menghubungkan dua area di lingkungan rumah sakit RSCM Kencana dan Kirana. Proyek infrastruktur khusus ini memiliki kompleksitas teknis dan administrasi tinggi karena terletak dalam kawasan vital pelayanan kesehatan. Proyek dijalankan berdasarkan Surat Perjanjian Kontrak Kerja (SPKK) tertanggal 18 Oktober 2022 antara PT Panderman Jaya (kontraktor) dan PT Temindo Jaya Setia (pemberi kerja).

2. Karakteristik Sengketa

Sengketa muncul ketika kontrak proyek diputus sepihak oleh pihak pemilik proyek (RSCM) pada 3 Mei 2023. PT Panderman Jaya mengklaim bahwa penghentian ini merupakan bentuk wanprestasi dari pihak pemberi kerja. Namun, gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Depok justru tidak diterima karena kesalahan formil dan materil: pihak utama (RSCM) tidak ditarik sebagai tergugat, dan rincian kerugian tidak dijelaskan secara detail. Putusan ini dikuatkan di tingkat banding (PT Bandung), dan Mahkamah Agung juga menolak kasasi dari PT Panderman Jaya.

3. Penyebab Sengketa (Root Cause)

Permasalahan utama bukan pada substansi teknis proyek, melainkan kelemahan administratif dan kesalahan hukum formal:

·         Kurang pihak (plurium litis consortium): Pihak yang memutus kontrak (RSCM) seharusnya ditarik sebagai turut tergugat karena merupakan pihak yang berkepentingan langsung dalam obyek sengketa.

·         Ketidakjelasan nilai kerugian: Gugatan tidak memuat perincian kerugian riil seperti biaya mobilisasi, nilai pekerjaan yang telah dilakukan, atau bukti pembayaran.

Kesalahan formil ini menyebabkan pengadilan tidak bisa menilai substansi sengketa lebih lanjut, dan gugatan ditolak tanpa masuk ke pokok perkara.

4. Kajian berdasarkan FIDIC Red Book

Jika kontrak mengacu pada dokumen FIDIC, seharusnya terdapat mekanisme penyelesaian sengketa dan pemberitahuan klaim yang dapat mencegah sengketa mencapai pengadilan. Beberapa klausula yang relevan:

·         Klausul 20.1 – Contractor’s Claims: Jika terjadi peristiwa yang menurut kontraktor merupakan penyebab keterlambatan atau kerugian, kontraktor wajib memberikan pemberitahuan tertulis dalam 28 hari. Tidak ada indikasi bahwa mekanisme ini ditempuh oleh PT Panderman Jaya.

·         Klausul 15 – Termination by the Employer: Pemilik proyek (RSCM) boleh memutus kontrak jika terjadi wanprestasi. Namun, kontraktor dapat menuntut kompensasi jika pemutusan kontrak dilakukan tanpa alasan yang sah, dengan ketentuan dilakukan melalui jalur klaim yang prosedural.

·         Klausul 3.5 dan 20.2 – Determination dan Dispute Resolution: Seharusnya sebelum membawa kasus ke pengadilan, dilakukan adjudikasi atau arbitrase sebagaimana dianjurkan dalam FIDIC. Jalur ini tidak digunakan.

5. Kajian Berdasarkan Teori Hukum Kontrak

·         Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata): Para pihak bebas membuat kontrak dan memilih bentuk penyelesaian sengketa. Namun, gugatan akan dinilai sah hanya jika memenuhi syarat formil dan materil.

·         Teori Wanprestasi (Pasal 1243–1245): Gugatan wanprestasi harus membuktikan bahwa terjadi pelanggaran kontrak, termasuk menguraikan prestasi yang dijanjikan, bentuk pelanggarannya, dan besaran kerugian akibat pelanggaran tersebut.

Dalam kasus ini, karena gugatan tidak menjabarkan rincian kerugian dan tidak memasukkan pihak utama dalam gugatan, maka teori wanprestasi tidak dapat diterapkan secara efektif oleh penggugat di pengadilan.

6. Prosedur Penyelesaian Sengketa

·         Tingkat Pertama (PN Depok): Gugatan tidak dapat diterima karena kekurangan formil.

·         Tingkat Banding (PT Bandung): Putusan PN dikuatkan. Alasan tetap pada aspek formil.

·         Tingkat Kasasi (MA RI No. 1902 K/Pdt/2025): Kasasi ditolak karena kesalahan penggugat dalam menyusun struktur gugatan.

7. Lesson Learned & Rekomendasi

·         Penyusunan gugatan harus mempertimbangkan prinsip litigasi lengkap (pleno litis): Semua pihak yang berkepentingan harus ditarik ke dalam perkara.

·         Rincian klaim kerugian wajib dijelaskan dengan bukti kuat, seperti bukti pekerjaan, invoice, dan laporan progres.

·         Penyelesaian sengketa dalam kontrak konstruksi harus mencantumkan mekanisme non-litigatif terlebih dahulu, seperti adjudikasi atau arbitrase sebagaimana dianjurkan FIDIC.

·         Pemutusan kontrak harus didokumentasikan secara formal, termasuk notifikasi resmi dan pembuktian penyebabnya agar dapat diuji keabsahannya secara hukum.

Analisis Kasus 3: Struktur Mangga Besar Town Square

1. Karakteristik Proyek

Proyek ini merupakan pembangunan struktur bangunan pusat perbelanjaan “Mangga Besar Town Square” di Jakarta, dengan PT Wijaya Karya Bangunan Gedung Tbk (WIKA) sebagai pemberi kerja, PT Alumindo Cipta Persada sebagai kontraktor pelaksana, dan Perumda Pasar Jaya sebagai pemilik proyek. Pekerjaan yang disengketakan meliputi pelat lantai, balok, dan pile cap.

2. Karakteristik Sengketa

Sengketa timbul ketika PT Alumindo menuntut sisa pembayaran senilai Rp14,53 miliar atas pekerjaan yang diklaim telah diselesaikan. Namun, WIKA menolak melakukan pembayaran dengan alasan bahwa mutu beton yang digunakan tidak memenuhi spesifikasi kontrak, hanya mencapai 17,59 MPa dari standar 30 MPa. Selain itu, ditemukan retakan pada struktur lantai P1–P4.

WIKA kemudian menggugat balik (rekonvensi) dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp247 miliar serta kerugian immateriil senilai Rp500 miliar akibat kerusakan tersebut.

3. Penyebab Sengketa (Root Cause)

Masalah utama dalam sengketa ini adalah ketidaksesuaian mutu teknis hasil pekerjaan dengan spesifikasi kontrak, serta perbedaan persepsi antara kontraktor dan pemberi kerja terkait status penyelesaian pekerjaan. PT Alumindo mengklaim telah menyelesaikan kewajiban kontraktualnya dan berhak atas pembayaran, sedangkan WIKA berpendapat pekerjaan belum memenuhi standar, sehingga belum layak dibayar dan justru menimbulkan potensi kerugian.

4. Kajian Wanprestasi

Mengacu pada Pasal 1238–1245 KUHPerdata, wanprestasi terjadi ketika debitur:

·         Tidak melaksanakan prestasi,

·         Melaksanakan tetapi terlambat,

·         Melaksanakan tetapi tidak sesuai mutu atau spesifikasi,

·         Atau melakukan hal yang dilarang.

Dalam kasus ini, PT Alumindo dianggap melaksanakan pekerjaan tidak sesuai mutu kontrak, sehingga memenuhi unsur wanprestasi. Meskipun pekerjaan selesai secara volume, secara kualitas belum memenuhi standar teknis, menjadikan gugatan wanprestasi terhadap WIKA dianggap prematur (terlalu dini).

5. Kajian berdasarkan Dokumen FIDIC Red Book

Beberapa klausula FIDIC yang relevan:

·         Klausul 4.1 (Contractor’s General Obligations): Kontraktor wajib melaksanakan pekerjaan sesuai dengan dokumen kontrak, termasuk mutu dan spesifikasi teknis.

·         Klausul 7.6 (Remedial Work): Jika pekerjaan ditemukan cacat, kontraktor wajib memperbaiki tanpa tambahan biaya sebelum dilakukan final payment.

·         Klausul 14.6 dan 14.7 (Payment): Pembayaran interim atau akhir hanya dilakukan setelah pekerjaan disetujui oleh insinyur pengawas atau konsultan.

·         Klausul 10 (Taking Over): Proyek dianggap selesai jika telah memenuhi spesifikasi dan diterima secara formal dalam berita acara.

Mahkamah Agung menilai bahwa proyek belum memenuhi standar mutu dan belum layak diserahterimakan, sehingga WIKA tidak wajib melakukan pelunasan sebelum perbaikan dilakukan dan disetujui oleh konsultan independen. Dengan demikian, MA menggunakan prinsip "no payment without compliance" yang sejalan dengan FIDIC.

6. Putusan dan Penyelesaian

·         Gugatan konvensi PT Alumindo ditolak, karena belum berhak menuntut pembayaran sebelum memperbaiki mutu struktur.

·         Gugatan rekonvensi WIKA dikabulkan sebagian, dengan memerintahkan PT Alumindo untuk:

o    Memperbaiki seluruh bagian struktur (pelat, balok, pile cap) dengan mutu beton 30 MPa,

o    Biaya perbaikan ditanggung oleh PT Alumindo,

o    Pembayaran hanya dilakukan setelah pekerjaan diperbaiki dan diverifikasi pihak independen.

·         Tuntutan ganti rugi finansial dan immateriil senilai Rp747 miliar ditolak karena tidak terbukti secara konkret.

·         Biaya perkara di semua tingkat dibebankan kepada PT Alumindo.

7. Lesson Learned dan Rekomendasi

·         Kualitas pekerjaan merupakan syarat mutlak untuk pelunasan pembayaran. Kontraktor wajib memastikan bahwa seluruh spesifikasi teknis dipenuhi sebelum mengklaim haknya.

·         Dokumen audit teknis dan hasil uji mutu harus dijadikan alat kontrol dan dokumentasi sejak awal agar tidak menjadi sengketa di kemudian hari.

·         Adanya konsultan independen penting untuk validasi mutu, terutama jika terjadi dispute mengenai kualitas pekerjaan.

·         Klausula kontrak harus menyebutkan syarat eksplisit mengenai standar mutu dan syarat final payment, serta kewajiban perbaikan atas pekerjaan yang tidak memenuhi spesifikasi.

·         Adanya proses dispute resolution tahap awal seperti Engineer’s Determination, adjudikasi, atau arbitrase sesuai FIDIC dapat menjadi filter sebelum sengketa berlanjut ke pengadilan.

 

6. Simpulan dan Saran

6.1 Simpulan

Kajian terhadap tiga kasus sengketa konstruksi—yakni Rest Area Km. 338 A Pegandon (MA No. 3990 K/Pdt/2023), Jembatan Baja RSCM Kencana–Kirana (MA No. 1902 K/Pdt/2025), dan Struktur Mangga Besar Town Square (MA No. 6282 K/Pdt/2024)—menunjukkan bahwa sengketa konstruksi jalan maupun bangunan umumnya bersumber dari kelemahan dalam pelaksanaan kontrak, ketidaksesuaian spesifikasi teknis, serta kekeliruan administratif dan litigasi.

Secara substantif, dua kasus melibatkan klaim wanprestasi akibat pekerjaan tidak sesuai mutu kontrak (kasus 1 dan 3), sementara satu kasus (kasus 2) gagal mencapai pokok perkara karena cacat formil, seperti tidak lengkapnya pihak tergugat dan ketiadaan bukti rinci kerugian. Mahkamah Agung dalam ketiga putusannya menegaskan pentingnya pemenuhan aspek formil dan materil dalam gugatan, serta pentingnya kesesuaian pekerjaan dengan kontrak baik dari segi teknis maupun administratif.

Dari perspektif kontraktual, dokumen kontrak konstruksi seperti SPK, SPMK, dan BAST serta ketentuan mutu menjadi dokumen kunci pembuktian dalam gugatan wanprestasi. Ketidakhadiran Taking Over Certificate (TOC) dan lemahnya dokumentasi progres pekerjaan dapat melemahkan klaim pembayaran atau ganti rugi. Prinsip-prinsip dalam FIDIC Red Book—seperti kewajiban remedial works, pembuktian progres oleh engineer, dan skema penyelesaian sengketa bertingkat—terbukti selaras dengan praktik terbaik yang seharusnya diterapkan dalam proyek-proyek pemerintah.

Dari sisi hukum kontrak, keberhasilan gugatan sangat bergantung pada terpenuhinya asas pacta sunt servanda, kejelasan klausula, dan kemampuan membuktikan terjadinya wanprestasi yang konkret dan terukur. Beberapa gugatan kandas karena obscuur libel, kurang pihak, atau ketiadaan pembuktian teknis dan administratif yang valid.

6.2 Saran

Berdasarkan simpulan tersebut, maka beberapa rekomendasi penting yang dapat disampaikan antara lain:

1.      Penyusunan Kontrak Lebih Komprehensif:

o    Kontrak konstruksi harus mencantumkan secara eksplisit standar mutu, jadwal pelaksanaan, dokumen serah terima, dan tanggung jawab masing-masing pihak.

o    Gunakan dokumen standar seperti FIDIC Red Book dan SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) pemerintah untuk memastikan kepastian hukum dan teknis.

2.      Dokumentasi Proyek Secara Rinci dan Konsisten:

o    Lakukan pencatatan progres pekerjaan secara berkala melalui Berita Acara, laporan mingguan, dan hasil uji mutu. Dokumen seperti TOC dan Interim Payment Certificate (IPC) wajib disimpan.

o    Pastikan semua dokumen ditandatangani dan disetujui kedua belah pihak, serta melibatkan konsultan atau engineer independen.

3.      Kesiapan Administratif dalam Penyelesaian Sengketa:

o    Sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan, pastikan gugatan memenuhi syarat formil (subjek hukum lengkap) dan materil (bukti kerugian jelas).

o    Cantumkan estimasi nilai kerugian, metode perhitungannya, dan lampirkan dokumen pendukung seperti audit teknis, kontrak, dan invoice.

4.      Implementasi Mekanisme Sengketa Non-Litigatif:

o    Prioritaskan penyelesaian sengketa secara bertahap melalui negosiasi, adjudikasi, atau arbitrase sebagaimana dianjurkan dalam FIDIC, untuk mencegah pemborosan biaya dan waktu di pengadilan.

5.      Pelatihan Hukum Konstruksi bagi Stakeholder:

o    Dinas teknis, kontraktor, dan konsultan perlu dibekali pemahaman tentang dasar-dasar hukum kontrak, mekanisme pembuktian wanprestasi, serta cara menyusun gugatan yang sah secara hukum.

6.      Peran Pemerintah sebagai Pembina:

o    Kementerian/lembaga yang mengatur proyek konstruksi publik sebaiknya menyusun panduan pelaksanaan kontrak yang mengacu pada praktik internasional, seperti FIDIC dan ISO 9001 dalam quality management.

 

Daftar Pustaka

-          Asian Construction Law Journal. (2024). The imposition of financial consequences due to force majeure in construction service agreements (Vol. 5, Issue 2, pp. 92–104). https://acljournal.com

-          FIDIC. (1999). Conditions of contract for construction for building and engineering works designed by the employer (Red Book) (1st ed.). Fédération Internationale des Ingénieurs-Conseils. https://fidic.org

-          Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2023). Putusan No. 3990 K/Pdt/2023. https://putusan3.mahkamahagung.go.id

-          Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2024). Putusan No. 6282 K/Pdt/2024. https://putusan3.mahkamahagung.go.id

-          Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2025). Putusan No. 1902 K/Pdt/2025. https://putusan3.mahkamahagung.go.id

-          Pemerintah Republik Indonesia. (2018). Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/103947/perpres-no-16-tahun-2018

-          Pemerintah Republik Indonesia. (2020). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar Dokumen Pemilihan. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/139892/permen-pupr-no-14prtm2020

-          Republik Indonesia. (n.d.). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). https://peraturan.bpk.go.id