1. Latar Belakang
Pandemi COVID-19 yang mulai menyebar secara global pada awal tahun 2020 telah memberikan dampak luar biasa terhadap stabilitas ekonomi, sosial, dan sektor industri di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Salah satu sektor yang terdampak cukup serius adalah sektor konstruksi, yang secara alamiah sangat bergantung pada keberlangsungan kegiatan lapangan, mobilitas tenaga kerja, ketersediaan material, serta kesinambungan pendanaan dan pengawasan.
Dalam konteks proyek konstruksi, pandemi menyebabkan terhentinya atau melambatnya pelaksanaan proyek akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pembatasan perjalanan, dan keharusan penerapan protokol kesehatan yang ketat di lokasi proyek. Gangguan ini tidak hanya berdampak pada produktivitas lapangan, tetapi juga menyebabkan disrupsi rantai pasok material dan peralatan, mengganggu jadwal proyek, serta menimbulkan pembengkakan biaya (cost overrun).
Dari sisi kelembagaan dan kontraktual, banyak kontrak konstruksi yang tidak secara eksplisit mengantisipasi kejadian luar biasa seperti pandemi. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan dalam pembagian tanggung jawab antara pemilik proyek dan kontraktor terkait keterlambatan, kenaikan biaya, maupun penghentian sementara pekerjaan. Akibatnya, tidak sedikit terjadi sengketa kontraktual yang berujung pada klaim ganti rugi, wanprestasi, bahkan pemutusan kontrak secara sepihak. Beberapa perusahaan konstruksi, terutama skala menengah dan kecil, bahkan mengalami tekanan keuangan berat yang berujung pada penutupan usaha.
Kondisi ini menunjukkan lemahnya sistem manajemen risiko di sektor konstruksi, terutama dalam menghadapi peristiwa force majeure non-fisik seperti pandemi. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap dampak pandemi terhadap proyek dan perusahaan konstruksi di Indonesia, tidak hanya dari aspek teknis dan keuangan, tetapi juga dari sisi hukum dan manajerial. Evaluasi ini bertujuan menyusun pembelajaran atau lesson learned sebagai landasan untuk memperkuat sistem kontraktual dan administrasi proyek ke depan.
Melalui penyusunan klausula kontrak yang lebih responsif terhadap risiko luar biasa, serta penerapan sistem administrasi yang adaptif dan berbasis digital, diharapkan sektor konstruksi dapat membangun ketahanan (resilience) yang lebih baik dalam menghadapi ketidakpastian di masa mendatang. Kajian ini menjadi penting dalam mendorong reformasi kebijakan dan praktik konstruksi yang lebih tangguh dan berkelanjutan di era pasca-pandemi.
2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
- Mengidentifikasi dan menganalisis dampak pandemi COVID-19 terhadap proyek dan perusahaan konstruksi di Indonesia dari berbagai aspek (teknis, keuangan, hukum, dan sumber daya manusia).
- Menyusun usulan perbaikan klausula kontrak dan administrasi proyek berdasarkan lesson learned yang diperoleh selama masa pandemi.
- Memberikan rekomendasi praktis agar sektor konstruksi lebih tangguh menghadapi kejadian tak terduga di masa depan.
3. Dasar Teori
3.1 Manajemen Risiko Konstruksi
Manajemen risiko dalam proyek konstruksi tidak hanya berfungsi untuk menghindari kegagalan, tetapi juga untuk membangun ketangguhan (resilience) dalam menghadapi berbagai ketidakpastian, termasuk kejadian langka namun berdampak besar seperti pandemi. Risiko dalam konstruksi dapat diklasifikasikan menjadi risiko internal (teknis, manajerial, keuangan) dan risiko eksternal (hukum, politik, sosial, dan bencana alam). Pandemi COVID-19 tergolong dalam risiko eksternal sistemik yang berdampak simultan pada seluruh aspek proyek, mulai dari perencanaan hingga operasional.
Siklus manajemen risiko menurut PMBOK terdiri dari:
1. Identifikasi risiko – Menentukan potensi risiko yang dapat mengganggu proyek.
2. Analisis risiko – Mengukur kemungkinan terjadinya dan dampak dari setiap risiko.
3. Perencanaan respons risiko – Menyusun strategi mitigasi, transfer, eliminasi, atau penerimaan risiko.
4. Pemantauan dan pengendalian risiko – Melakukan penyesuaian berkelanjutan terhadap rencana kerja berdasarkan kondisi aktual.
Dalam praktiknya, banyak proyek konstruksi di Indonesia sebelum pandemi hanya menjalankan proses identifikasi risiko secara terbatas, dan sebagian besar tidak memiliki dokumen Risk Register, Risk Breakdown Structure (RBS), atau Business Continuity Plan (BCP). Akibatnya, saat pandemi terjadi, proyek tidak memiliki rencana kontinjensi seperti pengadaan material alternatif, rotasi kerja dengan protokol kesehatan, atau sistem pengawasan daring (remote monitoring).
Selain itu, sebagian besar kontraktor kecil dan menengah tidak menyisihkan anggaran risiko (contingency allowance) dalam penyusunan anggaran proyek. Padahal, menurut prinsip manajemen risiko, setiap proyek seharusnya menyisihkan persentase tertentu dari total biaya proyek sebagai cadangan risiko.
Penguatan manajemen risiko di sektor konstruksi harus mencakup:
· Integrasi manajemen risiko sejak tahap perencanaan awal proyek.
· Pelatihan manajer proyek dan tim lapangan mengenai pengelolaan risiko sistemik.
· Penggunaan perangkat lunak dan teknologi informasi untuk pemodelan skenario risiko (misalnya, Monte Carlo Simulation, risk mapping berbasis GIS).
· Kewajiban adanya risk assessment formal dan BCP dalam dokumen tender atau kontrak proyek, terutama pada proyek pemerintah atau skala besar.
Pandemi COVID-19 juga menjadi bukti bahwa manajemen risiko tidak dapat bersifat reaktif, melainkan harus proaktif dan antisipatif. Kedepannya, risiko pandemi, perubahan iklim ekstrem, dan disrupsi geopolitik harus dimasukkan dalam kategori risiko prioritas tinggi yang wajib diantisipasi secara kontraktual dan administratif.
3.2 Teori Force Majeure dalam Kontrak Konstruksi
Force majeure merupakan konsep penting dalam hukum kontrak yang merujuk pada kejadian luar biasa dan tidak terduga, di luar kendali para pihak, yang menyebabkan salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam kontrak. Secara harfiah, istilah ini berasal dari bahasa Prancis yang berarti "kekuatan yang lebih besar." Dalam praktik hukum, force majeure tidak membatalkan kontrak, tetapi dapat membebaskan sementara pihak dari tanggung jawab hukum, terutama terkait keterlambatan atau tidak terlaksananya kewajiban karena kondisi ekstrem.
Secara normatif, doktrin ini menjadi pengecualian dari asas pacta sunt servanda (kontrak harus ditaati), dengan catatan bahwa:
- Peristiwa tersebut benar-benar di luar kekuasaan dan kendali para pihak;
- Peristiwa tersebut tidak dapat diperkirakan pada saat kontrak ditandatangani;
- Peristiwa tersebut menyebabkan pelaksanaan kewajiban kontraktual menjadi tidak mungkin atau sangat sulit dilakukan.
Dalam konteks kontrak konstruksi internasional, konsep force majeure telah diakomodasi secara eksplisit dalam dokumen standar seperti FIDIC Red Book. Pada edisi 1999, force majeure diatur dalam Sub-Clause 19, sedangkan pada edisi terbaru FIDIC 2017, istilah ini diubah menjadi Exceptional Events (Sub-Clause 18). Keduanya memberikan dasar hukum bagi kontraktor untuk:
- Mengajukan Extension of Time (EOT) apabila keterlambatan disebabkan oleh peristiwa luar biasa;
- Menghindari penerapan liquidated damages (LD) atau penalti atas keterlambatan yang tidak disebabkan oleh kesalahan kontraktor;
- Dalam kondisi ekstrem, mengajukan termination kontrak jika pelaksanaan pekerjaan tidak memungkinkan untuk waktu lama.
Contoh peristiwa yang sering masuk kategori force majeure dalam FIDIC meliputi: gempa bumi, perang, kerusuhan sipil, embargo, dan epidemi — yang secara tegas disebut sebagai kejadian yang berpotensi mengganggu proyek. Oleh karena itu, pandemi COVID-19 seharusnya dapat diklaim sebagai force majeure apabila klausul tersebut diatur dengan jelas.
Namun demikian, dalam praktik kontrak konstruksi di Indonesia, terutama untuk proyek dengan nilai menengah ke bawah, penggunaan standar kontrak seperti FIDIC masih terbatas. Banyak kontrak disusun secara ad-hoc atau berdasarkan dokumen dasar dari pemilik proyek, dan tidak mencantumkan klausul force majeure secara eksplisit atau komprehensif. Bahkan dalam dokumen standar seperti Syarat Umum Kontrak Pekerjaan Konstruksi Pemerintah (Permen PUPR No. 14 Tahun 2020), klausul force majeure sering kali bersifat generik dan tidak mencakup definisi pandemi secara spesifik.
Akibatnya, pada masa pandemi COVID-19, muncul banyak ambiguitas dan perbedaan interpretasi:
- Apakah pandemi termasuk force majeure jika tidak tertulis eksplisit?
- Siapa yang bertanggung jawab atas keterlambatan: kontraktor, pemilik, atau pemerintah?
- Apakah kompensasi biaya (EOT with cost) bisa diberikan, atau hanya EOT tanpa kompensasi?
Situasi ini memicu lonjakan sengketa konstruksi, baik melalui mediasi, arbitrase, maupun litigasi. Proyek-proyek pemerintah dan swasta terhambat karena tidak adanya dasar hukum yang jelas untuk penyesuaian jadwal dan biaya. Bahkan beberapa kontraktor mengundurkan diri atau mengalami kerugian besar karena tetap dibebani penalti meskipun penyebab keterlambatan berada di luar kendali mereka.
3.3 Teori Kegagalan Proyek
Teori kegagalan proyek secara umum merujuk pada konsep triple constraints yang dikemukakan oleh Harold Kerzner (2009), yakni proyek dinyatakan gagal apabila tidak memenuhi satu atau lebih dari tiga parameter utama: waktu, biaya, dan kualitas (time, cost, quality). Ketiga aspek ini saling terikat dan membentuk segitiga kendala yang menjadi tolok ukur fundamental dalam menilai kinerja proyek.
Dalam realitas lapangan, kegagalan proyek konstruksi bisa berasal dari berbagai sumber:
· Perencanaan yang tidak memadai, seperti estimasi yang tidak realistis, ketidaktepatan perhitungan kebutuhan sumber daya, atau kelemahan dalam analisis risiko.
· Pelaksanaan yang buruk, seperti lemahnya koordinasi antar-stakeholder, keterlambatan pembayaran, atau mutu pekerjaan yang rendah.
· Faktor eksternal, seperti perubahan kebijakan, kondisi cuaca ekstrem, atau krisis global seperti pandemi.
Pandemi COVID-19 merupakan contoh faktor eksternal tak terduga (unforeseen externalities) yang berdampak sistemik terhadap proyek konstruksi. Pandemi menyebabkan terganggunya rantai pasok material secara global, keterbatasan distribusi logistik, serta absensi pekerja dalam skala besar akibat karantina dan pembatasan mobilitas. Imbas dari semua ini adalah:
· Keterlambatan proyek (time overrun) yang menyebabkan deviasi terhadap jadwal awal.
· Kenaikan biaya proyek (cost overrun) karena kebutuhan akan peralatan kesehatan, sterilisasi, pengadaan alternatif material, serta penalti akibat keterlambatan.
· Penurunan kualitas hasil pekerjaan, karena pelaksanaan dalam kondisi darurat sering kali mengorbankan detail teknis dan pengawasan yang ketat.
Dari perspektif manajemen proyek modern, kegagalan seperti ini mengindikasikan kurangnya resiliensi organisasi proyek terhadap ketidakpastian. Dalam era yang semakin volatile, uncertain, complex, and ambiguous (VUCA), keberhasilan proyek bukan lagi hanya ditentukan oleh penguasaan aspek teknis, tetapi juga oleh kapasitas adaptasi dan kelincahan manajerial (agility).
Menurut pendekatan Agile Project Management dan prinsip-prinsip Resilient Infrastructure, beberapa strategi penting untuk menghindari kegagalan dalam kondisi ekstrem meliputi:
· Iterasi dan fleksibilitas perencanaan, bukan pendekatan linier yang kaku.
· Pengambilan keputusan berbasis data dan analitik real-time, bukan hanya berdasarkan jadwal statis.
· Kolaborasi erat antar pemangku kepentingan, termasuk fleksibilitas kontrak dan komunikasi terbuka saat kondisi berubah.
· Redundansi dan diversifikasi pasokan, agar proyek tidak bergantung pada satu sumber material atau tenaga kerja.
Dengan demikian, pandemi COVID-19 memberikan pembelajaran nyata bahwa keberhasilan proyek konstruksi tidak hanya bersandar pada kekuatan teknis, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan manajemen risiko, respon adaptif, dan kecerdasan kolektif tim proyek dalam merespons dinamika eksternal.
4. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif
deskriptif dengan pendekatan studi literatur dan analisis kasus.
Langkah-langkah penelitian meliputi:
- Pengumpulan data sekunder dari jurnal akademik, laporan industri, publikasi pemerintah, dan hasil survei asosiasi konstruksi.
- Analisis dampak dilakukan berdasarkan kategori: operasional, keuangan, hukum, SDM, dan teknologi.
- Perumusan rekomendasi melalui analisis komparatif terhadap kontrak standar (seperti FIDIC, Syarat Umum Kontrak Konstruksi Nasional, dsb.).
5. Analisis
5.1 Aspek Operasional
Pandemi COVID-19 berdampak signifikan pada operasional proyek konstruksi, terutama pada fase pelaksanaan fisik di lapangan. Salah satu dampak paling nyata adalah penundaan proyek dalam skala luas, bahkan penghentian total pada beberapa proyek, khususnya selama masa PPKM darurat dan kebijakan lockdown lokal di berbagai wilayah Indonesia.
a. Keterbatasan Tenaga Kerja
Kebijakan pembatasan mobilitas, larangan mudik, dan kewajiban karantina menyebabkan banyak pekerja tidak dapat hadir di lokasi proyek. Dalam proyek konstruksi yang sangat mengandalkan tenaga kerja manual, penurunan jumlah pekerja berdampak langsung pada produktivitas harian. Selain itu, penerapan protokol kesehatan seperti pembatasan jumlah pekerja per shift dan kewajiban physical distancing di lokasi kerja semakin mengurangi kecepatan pelaksanaan.
b. Gangguan Rantai Pasok Material dan Peralatan
Gangguan logistik menjadi masalah utama dalam aspek operasional. Banyak material konstruksi tidak dapat dikirim tepat waktu karena pembatasan transportasi antarwilayah dan gangguan pada pelabuhan, gudang, serta jalur distribusi. Material impor seperti baja, aluminium, atau komponen elektrikal dari Tiongkok dan negara lain juga terhambat karena lockdown global. Akibatnya, pekerjaan konstruksi yang sangat tergantung pada urutan pengerjaan (sequential works) mengalami bottleneck dan idle time.
c. Risiko Keterlambatan Proyek dan Liquidated Damages (LD)
Keterlambatan yang terjadi dalam proyek membawa implikasi kontraktual, khususnya dalam hal denda keterlambatan atau liquidated damages (LD). Dalam banyak kontrak konstruksi, keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang tidak dapat dibenarkan secara kontraktual akan dikenakan penalti harian atau bulanan. Masalah muncul ketika keterlambatan akibat COVID-19 tidak diakui sebagai force majeure secara eksplisit, sehingga pihak kontraktor tetap dianggap wanprestasi.
Hal ini memperburuk kondisi kontraktor yang sudah tertekan dari sisi finansial, dan berujung pada potensi pemutusan kontrak atau bahkan kebangkrutan. Proyek pemerintah yang memiliki batas waktu anggaran (tahun fiskal) juga tidak fleksibel dalam memberikan perpanjangan waktu tanpa dasar hukum yang kuat.
d. Penyesuaian Metode Kerja
Beberapa proyek mencoba beradaptasi dengan melakukan penyesuaian metode kerja, seperti sistem kerja shift terbatas, peningkatan mekanisasi, atau percepatan pekerjaan dengan jam kerja malam. Namun hal ini sering tidak optimal karena terganjal masalah perizinan, kebijakan daerah yang berubah-ubah, serta biaya tambahan yang tidak dianggarkan.
5.2 Aspek Keuangan
Pandemi COVID-19 memberikan tekanan berat pada struktur keuangan proyek konstruksi di Indonesia, yang secara umum sudah memiliki karakteristik arus kas yang ketat dan sensitif terhadap gangguan. Dalam kondisi normal, proyek konstruksi sangat bergantung pada pembayaran termin dari pemilik proyek untuk menjaga keberlangsungan kegiatan di lapangan. Ketika pandemi terjadi, gangguan pada sisi operasional langsung berdampak pada aliran kas, yang kemudian memicu efek domino pada semua lini keuangan proyek dan perusahaan.
a. Gangguan Arus Kas (Cash Flow)
Banyak proyek menghadapi penundaan atau penghentian sementara, namun biaya tetap (fixed cost) seperti gaji staf manajemen proyek, sewa alat, biaya pengamanan, dan overhead tetap berjalan. Sementara itu, pembayaran termin dari pemilik proyek sering tertunda karena proses verifikasi dan pencairan menjadi lebih lambat selama pandemi. Dalam proyek APBN/APBD, misalnya, verifikasi progres fisik lapangan menjadi kendala karena pembatasan perjalanan dinas dan pemeriksaan fisik langsung oleh konsultan pengawas atau PPK tidak dapat dilakukan dengan lancar.
Akibatnya, cash inflow tidak seimbang dengan cash outflow, menciptakan tekanan likuiditas yang tinggi. Beberapa kontraktor terpaksa mencari tambahan modal kerja dari pinjaman bank atau menjual aset, yang dalam kondisi pandemi juga tidak mudah didapatkan karena tingginya risiko kredit konstruksi.
b. Biaya Tambahan untuk Protokol Kesehatan
Kontraktor harus menanggung biaya tak terduga yang sebelumnya tidak tercantum dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) awal, seperti:
· Penyediaan masker, alat pelindung diri, dan sarana cuci tangan;
· Biaya sanitasi rutin area kerja dan kantor proyek;
· Pemeriksaan suhu dan test antigen/PCR berkala untuk pekerja;
· Akomodasi tambahan untuk penerapan isolasi mandiri atau penyesuaian tempat tinggal pekerja agar sesuai prokes.
Karena biaya-biaya ini tidak termasuk dalam bill of quantity awal dan tidak disebutkan sebagai reimbursable dalam kontrak, maka sebagian besar kontraktor tidak bisa mengklaim biaya tambahan ini. Hal ini menyebabkan defisit proyek, terutama pada kontraktor kecil dan menengah yang tidak memiliki buffer keuangan besar.
c. Kenaikan Biaya Material dan Logistik
Disrupsi rantai pasok global mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga material konstruksi seperti baja, semen, PVC, dan bahan MEP. Biaya logistik juga melonjak karena pembatasan transportasi dan antrian distribusi. Dalam sistem kontrak dengan harga satuan tetap (lump sum atau unit price tanpa eskalasi), kondisi ini tidak memungkinkan kontraktor melakukan penyesuaian harga (price adjustment), sehingga margin keuntungan tergerus bahkan berubah menjadi kerugian.
d. Ketidakpastian Investasi dan Penundaan Proyek Baru
Secara makro, pandemi menyebabkan banyak proyek baru ditunda atau dibatalkan karena ketidakpastian ekonomi. Hal ini berdampak pada pipeline pekerjaan kontraktor, membuat mereka bergantung pada proyek berjalan yang justru mengalami tekanan keuangan. Akibatnya, rasio solvabilitas perusahaan menurun, dan potensi gagal bayar utang (default) meningkat.
5.3 Aspek Hukum
Pandemi COVID-19 menimbulkan tantangan hukum yang serius dalam pelaksanaan kontrak konstruksi di Indonesia. Salah satu akar masalah utama adalah tidak tercantumnya pandemi secara eksplisit sebagai bagian dari force majeure dalam banyak dokumen kontrak, baik proyek pemerintah maupun swasta. Ketidaktegasan ini memicu berbagai interpretasi hukum dan mempersulit penentuan pihak yang bertanggung jawab atas keterlambatan atau perubahan biaya selama masa pandemi.
a. Ketidaktegasan Klausul Force Majeure
Force majeure adalah klausul yang secara hukum memberikan pengecualian bagi pihak kontrak untuk tidak memenuhi kewajibannya apabila terjadi kejadian luar biasa di luar kendali (seperti bencana alam, perang, atau kerusuhan sipil). Namun, pada sebagian besar kontrak konstruksi di Indonesia—terutama kontrak-kontrak skala kecil atau menengah—klausul ini ditulis secara generik dan tidak menyebutkan pandemi, epidemi, atau keadaan darurat kesehatan secara spesifik.
Akibatnya, ketika pandemi terjadi:
· Pemilik proyek (owner) menilai bahwa kontraktor tetap harus menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
· Sementara kontraktor mengklaim bahwa pandemi menghambat pelaksanaan dan seharusnya mendapat perpanjangan waktu (Extension of Time / EOT) tanpa dikenai penalti.
Ketidaksepakatan ini kemudian melahirkan perselisihan hukum, baik secara informal maupun melalui mekanisme formal seperti negosiasi ulang kontrak, klaim arbitrase, atau bahkan litigasi.
b. Ketiadaan Mekanisme Penyesuaian Biaya dan Jadwal
Dalam banyak kontrak konstruksi nasional (termasuk kontrak APBN/APBD berdasarkan Permen PUPR), tidak tersedia mekanisme khusus untuk menangani kejadian luar biasa yang berdampak pada kenaikan biaya dan keterlambatan masif secara nasional. Klausul EOT biasanya hanya mengakomodasi penyebab keterlambatan internal seperti kesalahan desain, keterlambatan dokumen dari owner, atau cuaca ekstrem.
Akibatnya, meskipun pandemi telah menyebabkan keterlambatan yang nyata dan biaya tambahan yang signifikan, banyak kontraktor tidak memiliki dasar hukum kontraktual untuk mengajukan klaim kompensasi biaya (cost claim), melainkan hanya dapat meminta EOT tanpa biaya (time-only claim).
c. Meningkatnya Risiko Wanprestasi dan Pemutusan Kontrak
Beberapa pemilik proyek menolak memberikan EOT, dan justru mengeluarkan surat peringatan atau memutus kontrak (termination) karena keterlambatan proyek. Di sisi lain, kontraktor juga berada dalam posisi sulit karena mereka tidak dapat membuktikan bahwa keterlambatan adalah akibat langsung dari force majeure yang sah menurut isi kontrak. Hal ini menyebabkan kontraktor rentan dianggap wanprestasi, meskipun faktanya kondisi pandemi telah membuat pelaksanaan proyek secara normal menjadi tidak mungkin.
d. Kurangnya Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang Efisien
Mekanisme penyelesaian sengketa dalam kontrak konstruksi di Indonesia sering kali masih mengandalkan jalur litigasi (pengadilan), yang lambat dan mahal. Padahal, dalam kondisi pandemi, dibutuhkan mekanisme penyelesaian yang cepat, adaptif, dan adil, seperti mediasi teknis atau dispute board. Sayangnya, banyak kontrak tidak mencantumkan klausul Alternative Dispute Resolution (ADR) secara jelas dan operasional.
5.4 Aspek Sumber Daya Manusia
Sektor konstruksi sangat bergantung pada sumber daya manusia (SDM), terutama pada fase pelaksanaan lapangan. Pandemi COVID-19 menimbulkan gangguan besar terhadap manajemen SDM di proyek, yang berdampak langsung pada produktivitas, keselamatan kerja, dan pencapaian target proyek. Tekanan ini terjadi pada semua level—dari pekerja harian hingga manajer proyek.
a. Penurunan Produktivitas Tenaga Kerja
Selama pandemi, banyak proyek harus menerapkan protokol kesehatan seperti pembatasan jumlah pekerja di area kerja, pengaturan shift bergantian, dan pembatasan jarak fisik. Kebijakan ini menyebabkan jumlah pekerja aktif di lapangan menurun, sehingga output harian secara signifikan turun dibanding sebelum pandemi. Beberapa pekerjaan yang sebelumnya bisa dilakukan paralel harus dilakukan secara bertahap (sekuensial), memperpanjang durasi pelaksanaan.
Selain itu, penggunaan masker dan APD tambahan dalam cuaca panas atau di lingkungan terbuka juga mengurangi kenyamanan dan efektivitas kerja fisik, terutama pada pekerjaan struktur atau pekerjaan berat lainnya. Akumulasi ini menurunkan efisiensi jam kerja dan memengaruhi kualitas hasil pekerjaan.
b. Peningkatan Absensi dan Mobilitas Terbatas
Wabah COVID-19 menyebabkan banyak pekerja harus karantina mandiri, sakit, atau tidak bisa kembali ke lokasi proyek karena pembatasan transportasi antar daerah. Dalam kasus proyek besar dengan pekerja antarprovinsi, mobilisasi ulang pekerja menjadi tantangan besar. Absensi meningkat bukan hanya karena sakit, tetapi juga karena rasa takut terpapar virus, apalagi pada awal pandemi saat belum tersedia vaksin.
Proyek yang tidak menyediakan akomodasi di lokasi atau fasilitas karantina internal mengalami kesulitan besar dalam mempertahankan kehadiran pekerja yang stabil. Hal ini menyebabkan ketidakpastian tenaga kerja harian dan memengaruhi jadwal pekerjaan.
c. Tekanan Psikologis dan Kesehatan Mental
Pandemi memicu kecemasan kolektif, stres, dan kelelahan emosional pada pekerja proyek. Lingkungan kerja konstruksi yang penuh tekanan semakin diperberat oleh rasa takut tertular, kehilangan pekerjaan, atau kondisi keluarga di kampung halaman. Hal ini berdampak pada:
· Penurunan motivasi dan semangat kerja,
· Meningkatnya potensi konflik antarpekerja atau dengan manajemen proyek,
· Gangguan pada pengambilan keputusan teknis karena kurang fokus atau burnout.
Sayangnya, aspek kesehatan mental masih belum menjadi perhatian utama dalam manajemen SDM konstruksi di Indonesia. Minimnya dukungan psikososial atau pelatihan coping mechanism memperburuk dampak psikologis tersebut.
d. Kesenjangan Kompetensi Digital
Adaptasi terhadap kondisi pandemi juga menuntut transformasi digital dalam manajemen proyek, seperti penggunaan aplikasi pelaporan jarak jauh, BIM, atau video meeting untuk rapat koordinasi. Namun, tidak semua SDM konstruksi siap dengan perubahan ini, terutama pekerja lapangan dan manajer proyek senior yang tidak familiar dengan teknologi. Hal ini menghambat efektivitas kolaborasi dan dokumentasi proyek selama masa pembatasan fisik.
5.5 Lesson Learned: Usulan Klausula dan Administrasi
Sebelum pandemi COVID-19, sebagian besar kontrak konstruksi di Indonesia, terutama pada proyek-proyek berskala menengah ke bawah, mencantumkan klausul force majeure secara generik tanpa memberikan definisi rinci mengenai jenis kejadian yang termasuk dalam kategori tersebut. Umumnya, klausul ini hanya menyebutkan istilah seperti “kejadian di luar kendali para pihak” atau “bencana alam dan kejadian luar biasa lainnya,” tanpa menyebut secara eksplisit pandemi, epidemi, atau darurat kesehatan nasional.
Ketika pandemi COVID-19 terjadi, kelemahan redaksional ini menjadi celah hukum yang menyebabkan:
- Ambiguitas interpretasi terhadap apakah pandemi dapat dianggap sebagai force majeure atau tidak;
- Perbedaan pandangan antara pemilik proyek dan kontraktor terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam situasi luar biasa;
- Perselisihan hukum terkait penalti keterlambatan, permintaan perpanjangan waktu (EOT), dan kompensasi biaya akibat dampak pandemi.
Di sisi lain, kontrak internasional seperti FIDIC Red Book edisi 1999 maupun 2017 sudah secara eksplisit atau implisit mencantumkan epidemic sebagai bagian dari kejadian force majeure atau exceptional events, sehingga memberikan dasar hukum yang lebih kokoh bagi pelaku konstruksi untuk melakukan klaim.
Usulan Klausul Force Majeure yang:
“Force majeure adalah kejadian di luar kendali para pihak, yang tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat dicegah dampaknya terhadap pelaksanaan pekerjaan, termasuk namun tidak terbatas pada: gempa bumi, banjir, kebakaran besar, kerusuhan sipil, sabotase, perang, tindakan pemerintah, serta epidemi, pandemi, atau status darurat kesehatan masyarakat sebagaimana dinyatakan oleh instansi yang berwenang.”
Statement ini memperluas cakupan force majeure dengan menyebut pandemi secara eksplisit, sehingga tidak lagi bergantung pada interpretasi sepihak dan dapat langsung menjadi dasar pemberian hak-hak tertentu seperti EOT atau pembebasan penalti.
Dampak Positif dari Klausul yang Lebih Eksplisit:
- Mengurangi potensi sengketa kontrak, karena definisi force majeure sudah disepakati sejak awal kontrak.
- Memberikan kepastian hukum kepada kontraktor untuk mengajukan klaim perpanjangan waktu dan pembebasan denda keterlambatan.
- Melindungi proyek secara keseluruhan, karena respons hukum yang tepat terhadap kondisi darurat dapat menjaga kesinambungan proyek dan hubungan kerja sama antar-pihak.
- Mendorong pembentukan addendum kontrak yang adaptif dalam menghadapi krisis berkepanjangan, tanpa menunggu putusan hukum atau arbitrase.
Rekomendasi Tambahan:
Pemerintah, melalui Kementerian PUPR atau LKPP, sebaiknya:
- Memutakhirkan standar dokumen kontrak nasional (seperti Syarat Umum Kontrak/SUK) dengan menyisipkan klausul force majeure yang eksplisit dan kontekstual.
- Mewajibkan peninjauan klausul force majeure secara berkala pada proyek-proyek jangka panjang (lebih dari 1 tahun), terutama yang didanai oleh APBN/APBD.
- Mengedukasi tim perencana dan pelaksana proyek agar tidak menyalin klausul force majeure secara mentah dari kontrak sebelumnya, melainkan menyesuaikannya dengan dinamika risiko aktual.
b. Klausul EOT dan Cost-Sharing yang Adil
Dalam praktik umum kontrak konstruksi, ketika terjadi peristiwa force majeure, kontraktor biasanya hanya diberi perpanjangan waktu pelaksanaan (Extension of Time/EOT) tanpa disertai kompensasi finansial (time-only claim). Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah bahwa peristiwa tersebut tidak menimbulkan beban biaya tambahan yang signifikan, atau bahwa risiko biaya ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor.
Namun, pandemi COVID-19 membuktikan bahwa kondisi darurat semacam ini tidak hanya menyebabkan keterlambatan, tetapi juga memunculkan biaya tak terduga yang substansial, antara lain:
- Pengadaan protokol kesehatan: masker, APD, disinfektan, hand sanitizer;
- Tes kesehatan rutin (antigen/PCR) bagi pekerja;
- Fasilitas karantina atau tempat tinggal terpisah;
- Kenaikan biaya logistik akibat gangguan rantai pasok;
- Biaya overhead yang tetap berjalan selama proyek tertunda.
Sayangnya, karena tidak adanya klausul tentang kompensasi biaya dalam situasi force majeure, kontraktor banyak yang harus menanggung seluruh beban tersebut sendiri. Ini menciptakan kerugian sepihak dan bahkan mengancam kelangsungan usaha kontraktor kecil dan menengah.
Usulan Klausul:
“Dalam hal terjadi force majeure yang berdampak signifikan terhadap pelaksanaan pekerjaan, kontraktor berhak mengajukan permohonan perpanjangan waktu pelaksanaan (EOT) serta penggantian sebagian biaya tambahan yang secara wajar terdokumentasi. Penggantian biaya dilaksanakan melalui mekanisme cost-sharing sesuai proporsi yang disepakati dalam Addendum dan disetujui oleh para pihak.”
Implementasi Praktis:
- Skema cost-sharing dapat disepakati dalam rasio tertentu, misalnya 60:40 antara pemilik dan kontraktor, tergantung kemampuan anggaran dan prinsip keadilan.
- Biaya yang dapat diklaim dibatasi pada biaya langsung terkait dampak force majeure (contoh: alat pelindung, akomodasi tambahan), bukan overhead umum atau potensi kerugian.
- Diperlukan bukti dokumentasi biaya yang kuat (invoice, nota, laporan harian) agar dapat diverifikasi secara profesional.
Dampak Positif Klausul Ini:
- Meningkatkan keadilan kontraktual, karena risiko dibagi proporsional antara pemilik dan kontraktor.
- Menghindari penumpukan klaim litigatif di akhir proyek akibat beban unilateral yang ditolak salah satu pihak.
- Mendorong penyelesaian kolaboratif, karena para pihak memiliki dasar hukum untuk menegosiasikan beban tambahan secara rasional.
- Meningkatkan kelangsungan usaha jasa konstruksi, terutama kontraktor kelas menengah yang selama pandemi sangat rentan kolaps.
Rekomendasi Tambahan:
- Regulator nasional (Kementerian PUPR, LKPP) sebaiknya menyediakan template klausul cost-sharing dan petunjuk teknis perhitungan kompensasi biaya dalam kondisi darurat.
- Proyek dengan pendanaan publik (APBN/APBD) perlu memiliki fleksibilitas anggaran untuk menampung adjustable claims yang timbul dari force majeure berkepanjangan.
- Audit internal dan pengawas wajib diberikan kapasitas teknis untuk menilai wajar atau tidaknya biaya yang diklaim kontraktor selama masa force majeure.
c. Digitalisasi Sistem Pelaporan Proyek
Pandemi COVID-19 menyoroti ketergantungan sistem pelaporan proyek konstruksi terhadap mekanisme manual dan kehadiran fisik, seperti inspeksi lapangan langsung, penandatanganan dokumen basah, serta koordinasi tatap muka. Ketika mobilitas dibatasi dan pertemuan fisik dilarang, banyak proyek mengalami stagnasi administratif, keterlambatan termin pembayaran, hingga kebingungan dalam pelaporan progres.
Permasalahan ini menunjukkan bahwa digitalisasi pelaporan proyek bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak, baik dalam kondisi krisis maupun sebagai bagian dari modernisasi sektor konstruksi di era Industri 4.0.
Permasalahan dalam Sistem Manual:
- Verifikasi progres lapangan tertunda karena PPK/konsultan pengawas tidak bisa berkunjung;
- Bukti fisik tidak terdokumentasi secara sistematis dan mudah diakses;
- Rekap pelaporan sering terlambat karena masih bergantung pada spreadsheet dan komunikasi tidak sinkron;
- Tidak ada audit trail digital yang transparan jika terjadi klaim sengketa.
Usulan Administrasi:
- Implementasi
Dashboard Pelaporan Progres Berbasis Cloud
Sistem pelaporan berbasis cloud memungkinkan pelaporan harian/mingguan secara real-time oleh tim lapangan. Data progres fisik, keuangan, dan administrasi dapat langsung diakses oleh pemilik proyek, konsultan, dan auditor.
Contoh platform: Microsoft Power BI, Google Data Studio, atau sistem pelaporan internal berbasis web.
- Penggunaan Foto dan Video Lapangan dengan Timestamp & Geotag
Setiap laporan progres wajib dilengkapi dengan dokumentasi visual (foto/video) yang mengandung informasi waktu dan lokasi otomatis (geotagging), sebagai bukti autentikasi bahwa progres benar-benar terjadi di waktu dan tempat yang ditentukan.
- Rapat Koordinasi Virtual Wajib Mingguan
Rapat mingguan daring dengan platform seperti Zoom, Google Meet, atau Microsoft Teams menjadi bagian dari protokol wajib proyek. Notulensi disimpan secara digital dan dibagikan kepada seluruh stakeholder secara transparan.
Dampak Positif dari Digitalisasi:
- Menjamin kesinambungan pengawasan proyek, bahkan dalam situasi darurat atau keterbatasan fisik.
- Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, karena semua bukti lapangan terekam dan dapat diaudit sewaktu-waktu.
- Mempercepat proses pencairan termin dan klaim, karena data terverifikasi secara cepat tanpa menunggu inspeksi lapangan.
- Mengurangi potensi manipulasi data proyek, karena bukti pelaksanaan berbasis geolokasi dan waktu terekam otomatis.
Rekomendasi Implementatif:
- Pemerintah melalui Kementerian PUPR dapat membuat pedoman standar pelaporan digital proyek.
- Dokumen pengadaan (RKS/RUP) dapat menyertakan kewajiban penggunaan sistem pelaporan daring.
- Pelatihan kepada tim proyek tentang digital literacy dan penggunaan teknologi pelaporan lapangan menjadi bagian dari prasyarat manajemen proyek modern.
d. Dokumen Rencana Kontinjensi (Contingency Plan) sebagai Syarat Tender
Pengalaman selama pandemi COVID-19 mengungkap bahwa banyak kontraktor tidak memiliki kesiapan menghadapi kondisi darurat. Ketidaksiapan ini bukan hanya menyangkut aspek teknis, tetapi juga menyangkut resiliensi logistik, kapasitas keuangan, serta ketahanan organisasi dalam menghadapi gangguan operasional berskala besar. Akibatnya, ketika proyek terhenti mendadak atau harus menyesuaikan operasional di bawah pembatasan ketat, banyak penyedia jasa tidak mampu merespons dengan cepat dan efisien.
Salah satu akar masalahnya adalah karena dalam proses pengadaan, khususnya pada proyek-proyek pemerintah, rencana kontinjensi belum menjadi persyaratan evaluatif dalam dokumen tender. Fokus penilaian teknis masih didominasi oleh pendekatan konvensional seperti pengalaman sejenis, personel inti, dan metodologi pelaksanaan, tanpa mempertimbangkan kesiapan manajemen risiko yang lebih holistik.
Usulan Administrasi:
Untuk meningkatkan ketahanan proyek terhadap gangguan luar biasa, disarankan agar dalam dokumen pengadaan seperti Rencana Kerja dan Syarat (RKS) atau Syarat Khusus Kontrak (SKK), peserta tender wajib melampirkan dokumen berikut:
1. Project Risk Assessment (PRA):
Dokumen ini berisi identifikasi risiko utama proyek berdasarkan lokasi, jenis pekerjaan, durasi, dan potensi eksternal seperti bencana alam atau gangguan rantai pasok. Analisis dilakukan berdasarkan tingkat kemungkinan dan dampak (risk matrix), dan ditindaklanjuti dengan strategi mitigasi.
2. Contingency Plan:
Merupakan rencana aksi darurat yang menjelaskan:
o Skema operasional saat krisis (misal: lockdown, wabah);
o Strategi substitusi logistik dan material;
o Manajemen tenaga kerja dalam kondisi terbatas;
o Respons keuangan jika terjadi pengeluaran tak terduga;
o Prosedur eskalasi dan komunikasi darurat.
Dampak Positif:
1. Meningkatkan kesiapan teknis dan manajerial penyedia jasa, karena hanya kontraktor yang benar-benar memiliki sistem manajemen risiko internal yang baik yang dapat memenuhi persyaratan ini secara layak.
2. Menyaring peserta tender secara kualitatif, sehingga pemberi kerja tidak hanya memilih berdasarkan harga terendah, tetapi juga berdasarkan kapabilitas resilien.
3. Mempercepat respon proyek saat krisis, karena penyedia jasa sudah memiliki protokol kerja darurat sejak awal, bukan baru menyusun saat krisis terjadi.
4. Mendorong penguatan sistem manajemen risiko di industri konstruksi Indonesia, yang selama ini belum menjadi prioritas utama dalam banyak perusahaan jasa konstruksi lokal.
Rekomendasi Implementatif:
· Pemerintah melalui Kementerian PUPR dan LKPP dapat memasukkan ketentuan wajib penyusunan rencana kontinjensi dalam dokumen standar pengadaan nasional, terutama untuk proyek >Rp10 miliar atau berdurasi >6 bulan.
· Template standar untuk Project Risk Assessment dan Contingency Plan disediakan sebagai acuan peserta tender.
· Rencana kontinjensi menjadi salah satu elemen evaluasi teknis dengan bobot tertentu dalam proses tender, bukan sekadar formalitas administrasi.
Dengan menjadikan rencana kontinjensi sebagai prasyarat tender, Indonesia dapat mendorong terbentuknya ekosistem pelaku konstruksi yang tidak hanya kompeten dalam pelaksanaan proyek, tetapi juga tangguh dalam menghadapi ketidakpastian. Strategi ini sejalan dengan arah pembangunan berkelanjutan dan resilien pasca-pandemi.
6. Simpulan dan Saran
6.1 Simpulan
Pandemi COVID-19 telah membawa disrupsi besar terhadap sektor konstruksi di Indonesia, baik pada skala proyek maupun kinerja perusahaan konstruksi. Dampaknya terlihat jelas dari lima aspek utama:
1. Aspek Operasional:
Terjadi keterlambatan dan bahkan penghentian proyek karena pembatasan sosial, keterbatasan tenaga kerja, serta gangguan logistik. Hal ini menimbulkan risiko penalti dan menurunkan kinerja pelaksanaan proyek secara umum.
2. Aspek Keuangan:
Arus kas perusahaan terganggu akibat pembayaran termin yang tertunda, serta munculnya biaya tak terduga seperti protokol kesehatan, karantina pekerja, dan logistik alternatif. Banyak kontraktor mengalami tekanan likuiditas yang berat.
3. Aspek Hukum:
Banyak kontrak konstruksi tidak mencantumkan pandemi secara eksplisit sebagai force majeure, sehingga memicu perselisihan hukum terkait tanggung jawab keterlambatan. Ketiadaan mekanisme kompensasi biaya dalam kondisi darurat juga menyebabkan kontraktor menanggung beban sepihak.
4. Aspek Sumber Daya Manusia:
Penurunan produktivitas, absensi tinggi, dan tekanan psikologis melemahkan kinerja SDM. Selain itu, kurangnya kesiapan digital dan rendahnya literasi teknologi memperlambat adaptasi kerja dalam situasi pandemi.
5. Aspek Administratif dan Manajerial:
Ketergantungan pada sistem pelaporan manual menyebabkan stagnasi administratif. Ketiadaan rencana kontinjensi dalam dokumen tender memperlihatkan lemahnya pendekatan manajemen risiko di industri konstruksi nasional.
Krisis ini menjadi refleksi kolektif bahwa sistem kontraktual, manajerial, dan administratif proyek konstruksi di Indonesia belum sepenuhnya adaptif terhadap kondisi force majeure berskala nasional seperti pandemi.
6.2 Saran
Agar industri konstruksi lebih tangguh dan siap menghadapi krisis serupa di masa depan, diperlukan reformasi pada level kontrak, administrasi, dan manajemen proyek, dengan usulan berikut:
1. Perkuat Klausul Force Majeure dalam Kontrak:
Tambahkan definisi eksplisit mengenai pandemi, epidemi, dan darurat kesehatan dalam klausul force majeure, agar terdapat kepastian hukum bagi semua pihak.
2. Terapkan Skema EOT dan Cost-Sharing yang Adil:
Adopsi klausul yang memungkinkan perpanjangan waktu sekaligus penggantian sebagian biaya tambahan yang layak akibat kondisi darurat, melalui mekanisme addendum dan negosiasi terbuka.
3. Digitalisasi Sistem Pelaporan Proyek:
Gunakan dashboard berbasis cloud, dokumentasi foto/video dengan geotag & timestamp, serta rapat daring terjadwal untuk menjamin kontinuitas pelaporan dan efisiensi pengawasan.
4. Wajibkan Dokumen Rencana Kontinjensi dalam Tender:
Minta peserta tender melampirkan Project Risk Assessment dan Contingency Plan sebagai bagian dari evaluasi teknis. Hal ini penting untuk mengidentifikasi kontraktor yang siap secara sistemik menghadapi kondisi luar biasa.
5. Peningkatan Literasi Teknologi dan Kesehatan Mental SDM:
Adakan pelatihan digitalisasi dan manajemen stres bagi pekerja konstruksi serta tim manajerial agar lebih siap menghadapi dinamika kerja dalam kondisi tidak normal.
7. Daftar Pustaka
- FIDIC. (1999). Conditions of Contract for Construction for Building and Engineering Works Designed by the Employer (Red Book). Fédération Internationale Des Ingénieurs-Conseils.
- Instruksi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 02/IN/M/2020 Tahun 2020 tentang Protokol Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019- LKPP. (2020). Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan atas Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Penanganan COVID-19. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
- https://www.worldbank.org/en/who-we-are/news/coronavirus-covid19
- Beirne, J., Morgan, P. J., & Sonobe, T. (Eds.). (2021). COVID-19 impacts and policy options: An Asian perspective. Asian Development Bank Institute. https://doi.org/10.56506/LPQZ8702
- Purnus, A., & Bodea, C.-N. (2017). A predictive model of contractor financial effort in transport infrastructure projects. Procedia Engineering, 196, 746–753. https://doi.org/10.1016/j.proeng.2017.08.001
- Zubir, A., Wasitaatmadja, F. F., & Sadino. (2024). The imposition of financial consequences due to force majeure in construction service agreements. Asian Comparative Law Journal (ACLJ), 5(2), 92–104. E-ISSN: 2723-2476 | ISSN: 2723-1968.52(1), 101–118.
No comments:
Post a Comment