Wednesday, 2 July 2025

Kegagalan Turap TPA Cipeucang: Tinjauan Teknik dan Kontraktual Berdasarkan Praktik FIDIC


Memahami kompleksitas proyek infrastruktur membutuhkan lebih dari sekadar pemahaman teknis; ia menuntut tinjauan holistik terhadap seluruh ekosistem proyek. Kasus ambruknya turap di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang, Tangerang Selatan pada Mei 2020, adalah contoh klasik kegagalan sistemik yang perlu dikaji secara mendalam. Peristiwa ini bukan hanya insiden struktural biasa, melainkan cerminan dari interaksi kompleks antara aspek teknis, lingkungan, manajemen risiko, dan dimensi kontraktual. Turap senilai Rp22 miliar yang didesain sebagai penahan antara area sampah aktif dan Sungai Cisadane ini, paradoxically, runtuh dalam waktu kurang dari satu tahun pasca penyelesaian. Ini jelas mengindikasikan adanya cacat fundamental dalam perencanaan dan kontrol mutu yang melampaui sekadar kesalahan pelaksanaan.

Dari sudut pandang keilmuan teknik sipil, investigasi kami mengidentifikasi beberapa faktor kunci penyebab kegagalan turap Cipeucang:

1. Ketidaktepatan Desain Geoteknik Terhadap Beban Dinamis Sampah

Salah satu probabilitas terbesar adalah desain struktur yang tidak memadai dalam mengantisipasi peningkatan beban lateral progresif dari timbunan sampah. Timbunan sampah, secara inheren, adalah material yang heterogen; densitasnya terus berubah seiring waktu, dan yang lebih krusial, ia menghasilkan tekanan lateral yang dapat melonjak drastis, terutama saat intensitas curah hujan tinggi.

2. Pengaruh Air Lindi Terhadap Stabilitas Tanah

Lebih lanjut, keberadaan air lindi —cairan hasil dekomposisi organik sampah— berperan besar dalam mempengaruhi stabilitas. Lindi dapat menginfiltrasi massa tanah di sekitar pondasi, mengubah sifat fisik dan mekaniknya secara signifikan. Tanah yang awalnya memiliki kapasitas dukung yang memadai untuk menahan beban vertikal dan lateral, akan menjadi jenuh dan bersifat lebih organik. Kondisi ini secara drastis menurunkan daya dukung tanah, membuat struktur rentan terhadap kegagalan geser tanah dan pergerakan lateral, bahkan tanpa adanya penambahan beban eksternal.

3. Kegagalan Sistem Drainase dan Peningkatan Tekanan Pori

Kondisi teknis ini diperburuk oleh absennya atau inefisiensinya sistem drainase horizontal dan vertikal di balik turap. Peningkatan tekanan air pori akan secara signifikan mendorong dinding dari belakang, menciptakan tekanan hidrostatik tambahan. Jika dinding tidak dilengkapi dengan mekanisme relaksasi tekanan yang memadai, seperti weep holes atau geodrain, maka struktur tidak akan mampu menahan kombinasi beban dari sampah dan air. Kegagalan pemasangan atau penyumbatan sistem drainase bawah tanah atau geotextile yang esensial untuk stabilisasi, akan secara eksponensial meningkatkan risiko keruntuhan.

4. Mutu Material dan Pelaksanaan Konstruksi yang Substandar

Aspek lain yang patut disoroti adalah mutu material dan pelaksanaan konstruksi. Lingkungan TPA sangat agresif, mengandung gas metana, amonia, dan senyawa kimia lain yang bersifat korosif. Beton yang digunakan harus memenuhi spesifikasi khusus dengan aditif tahan sulfat atau memiliki ketahanan kimia tinggi untuk mencegah degradasi dini seperti retak mikro, korosi tulangan, dan pelapukan permukaan. Jika kontrol mutu pelaksanaan lapangan lemah—misalnya, absennya uji slump beton, pengecoran di luar jam kerja yang ideal, atau rasio air-semen yang terlalu tinggi—maka kekuatan dan ketahanan struktur yang direncanakan tidak akan tercapai.

Melihat insiden ini dari kacamata praktik kontraktual internasional, khususnya standar FIDIC Red Book yang lumrah digunakan dalam Employer-Design Contract, kegagalan turap TPA Cipeucang menguak implementasi klausul krusial yang lemah. Kegagalan teknis di sini bukan semata tanggung jawab kontraktor, melainkan juga cerminan kegagalan sistemik dalam pengawasan dan pengelolaan risiko oleh seluruh stakeholder proyek.

1. Pelanggaran Kewajiban Umum Kontraktor (FIDIC Sub-Klausul 4.1)

Sub-Klausul 4.1 FIDIC ("Contractor’s General Obligations") secara eksplisit mewajibkan kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan dengan "due care and diligence" serta "recognized professional practice". Ini mencakup tanggung jawab inheren kontraktor untuk memastikan bahwa pelaksanaan di lapangan mempertimbangkan setiap aspek teknis secara cermat—termasuk perubahan karakteristik tanah, peningkatan beban lateral dari timbunan sampah, dan pengaruh lingkungan seperti lindi dan gas metana. Apabila kontraktor melanjutkan konstruksi tanpa memperbarui perhitungan struktural atau menyesuaikan metode kerja dengan realitas lapangan yang dinamis, ini dapat dikategorikan sebagai kelalaian profesional (negligence). Pelanggaran ini semakin gamblang jika kontraktor mengabaikan data geoteknik yang tersedia atau rekomendasi teknis dari konsultan geoteknik dan tim pengawas.

2. Kelemahan dalam Perencanaan Proyek dan Manajemen Risiko (FIDIC Sub-Klausul 8.3)

Sub-Klausul 8.3 FIDIC ("Programme") menuntut kontraktor menyerahkan programme of works yang detail, meliputi urutan kerja, durasi, dan metodologi pelaksanaan. Bagian vital dari programme ini adalah mekanisme manajemen risiko yang mengidentifikasi risiko teknis dan lingkungan, serta rencana mitigasi yang adaptif. Kegagalan mengantisipasi tekanan tanah akibat volume sampah yang terus bertambah atau tekanan air dari lindi mengindikasikan bahwa kontraktor mungkin tidak mempertimbangkan skenario worst-case dalam perencanaannya. Bahkan jika initial programme telah disusun dengan baik, ketiadaan update berkala untuk mengakomodasi kondisi lapangan yang berubah merupakan pelanggaran terhadap Sub-Klausul 8.3. Lebih jauh, jika perubahan teknis atau penambahan beban tidak dikomunikasikan secara formal kepada Employer dan Engineer melalui notice sesuai prosedur FIDIC, ini akan berimplikasi serius pada status klaim dan potensi sengketa di masa mendatang.

3. Gagalnya Adaptasi Terhadap Kondisi Fisik Tak Terduga (FIDIC Sub-Klausul 4.12)

Dalam proyek berskala besar seperti TPA Cipeucang, peran Employer, Engineer, dan kontraktor sangat krusial dalam memastikan proyek berjalan sesuai prinsip kehati-hatian teknis. Salah satu aspek yang sering terlewatkan adalah antisipasi terhadap "Unforeseeable Physical Conditions", sebagaimana diatur dalam Sub-Klausul 4.12 FIDIC. Klausul ini memberikan hak kepada kontraktor untuk mengajukan klaim atau modifikasi kontrak jika ditemukan kondisi lapangan yang secara material berbeda dari data awal. Dalam konteks TPA Cipeucang, akumulasi sampah yang terus meningkat, perubahan komposisi tanah akibat lindi, dan tekanan lateral dari beban hidup yang dinamis, seharusnya menjadi indikator awal bahwa kondisi lapangan akan sangat volatil dan menuntut desain yang adaptif.

Apabila revisi desain tidak dilakukan meski kondisi tanah dan lingkungan menunjukkan dinamika signifikan, ini mencerminkan kelemahan fundamental dalam fase perencanaan awal dan kurangnya responsivitas mekanisme adaptasi desain selama proyek berjalan. Studi geoteknik pra-konstruksi seyogianya menjadi landasan utama desain struktur penahan tanah. Jika studi tersebut tidak memperhitungkan potensi saturasi tanah oleh lindi atau karakteristik beban timbunan yang berubah seiring waktu, maka desain tersebut rapuh sejak awal. Oleh karena itu, fleksibilitas desain dalam kontrak—bukan hanya untuk perubahan volume pekerjaan, tetapi juga perubahan pendekatan teknis, material, dan sistem drainase—sangatlah esensial.

4. Minimnya Kolaborasi Antar Pihak (FIDIC Sub-Klausul 4.6)

Kegagalan ini juga mengindikasikan lemahnya penerapan Sub-Klausul 4.6 FIDIC ("Co-operation"), yang menekankan kolaborasi antara Employer, kontraktor, dan Engineer untuk menciptakan lingkungan kerja yang kooperatif dan transparan dalam mengatasi hambatan teknis maupun administratif. Pada kasus turap TPA Cipeucang, absennya sinergi efektif antar pemangku kepentingan sangat mencolok. Tidak ada mekanisme joint review yang aktif saat perubahan teknis muncul, tidak ada dokumentasi site instruction atau revisi metode kerja di lapangan, dan minimnya keterlibatan aktif pemerintah daerah selaku pengguna akhir infrastruktur dalam memonitor keberlangsungan fungsi struktur pasca-proyek.

Dalam semangat FIDIC, pengawasan tidak sekadar memverifikasi kualitas pekerjaan fisik, tetapi juga memastikan adanya mekanisme early warning saat tanda-tanda potensi kegagalan muncul—misalnya, pergeseran tanah, retakan dini, atau peningkatan tekanan air di balik dinding. Semua pihak memiliki tanggung jawab kolektif untuk merespons secara teknis dan administratif, termasuk melalui site meeting rutin, pembaruan program kerja, dan evaluasi teknis berkala. Lemahnya implementasi prinsip kolaborasi ini mengubah proyek menjadi sekadar "kontrak mati"—formalitas administratif tanpa semangat koordinasi teknis yang hidup.

Kegagalan konstruksi turap TPA Cipeucang adalah bukti nyata bahwa keberhasilan proyek infrastruktur tidak hanya ditentukan oleh kekuatan struktur atau kualitas material semata, melainkan juga oleh seberapa substantif dokumen kontrak—khususnya yang diatur dalam FIDIC—diimplementasikan. Ketika Sub-Klausul 4.12 dan 4.6 diabaikan atau dijalankan secara minimal, proyek kehilangan kemampuannya untuk beradaptasi dengan realitas lapangan dan rentan mengalami kegagalan fungsi.

Sebagai pembelajaran vital dari kasus ini, kontrak-kontrak konstruksi publik di masa depan harus dirancang lebih matang dan akomodatif terhadap risiko teknis dan lingkungan. Beberapa rekomendasi kunci meliputi:

  1. Pencantuman Klausul Jaminan Mutu dan Performance Bond yang Lebih Kuat: Sub-Klausul 4.2 FIDIC Red Book menyediakan dasar hukum untuk jaminan mutu dan performance bond dengan durasi yang lebih panjang. Ini vital untuk memastikan kontraktor tetap bertanggung jawab atas mutu pekerjaan selama periode defects liability atau lebih lama, terutama pada proyek berisiko tinggi seperti TPA yang melibatkan beban dinamis dan lingkungan agresif (lindi, gas metana).
  2. Monitoring Pasca-Konstruksi dan Inspeksi Teknis Independen: Kontrak harus secara tegas mengatur monitoring pasca-konstruksi dan inspeksi teknis berkala oleh pihak independen. Ini krusial untuk mendeteksi potensi kegagalan sedini mungkin—seperti pergeseran horizontal, retakan mikro, atau akumulasi tekanan air di balik turap—yang, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan keruntuhan total. Inspeksi dari pihak eksternal yang netral dan kompeten sangat esensial untuk objektivitas evaluasi teknis.
  3. Kerangka Alokasi Risiko dan Analisis Risiko Teknis Komprehensif: Sejak tahap pengadaan, kontrak harus menyertakan risk allocation framework dan technical risk analysis yang komprehensif dalam dokumen tender. Ini mencakup pemetaan risiko lingkungan (misalnya, perubahan daya dukung tanah akibat lindi), risiko beban (proyeksi peningkatan volume sampah), hingga risiko operasional. Setiap risiko harus memiliki skenario mitigasi teknis yang jelas, seperti sistem drainase bawah permukaan, geotextile reinforcement, atau metode distribusi beban sampah yang merata. Oleh karena itu, setiap proposal teknis kontraktor harus memuat method statement yang tidak hanya menjelaskan urutan kerja, tetapi juga strategi manajemen beban, sistem pengendalian air dan gas, serta rencana kontingensi untuk kondisi lapangan yang berbeda dari perkiraan awal.

Kegagalan turap Cipeucang adalah pengingat tegas akan pentingnya integrasi teknis, manajerial, dan kontraktual yang kuat dalam setiap proyek infrastruktur. Tanpa pendekatan holistik ini, investasi besar yang dibiayai negara berisiko menjadi monumen kegagalan.

 

 

Daftar Pustaka:

FIDIC. (2017). Conditions of Contract for Construction for Building and Engineering Works Designed by the Employer (Red Book) (2nd ed.). Fédération Internationale des Ingénieurs-Conseils.

Kusmayandi, D. (2023). Evaluasi Dampak Tempat Pembuangan Akhir Sampah terhadap Masyarakat di Sekitar TPA Cipeucang Kota Tangerang Selatan (Skripsi, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).

Das, B. M. (2010). Principles of Geotechnical Engineering (7th ed.). Cengage Learning.

Bowles, J. E. (1997). Foundation Analysis and Design (5th ed.). McGraw-Hill.

Departemen Pekerjaan Umum. (2013). Peraturan Menteri PUPR No. 12 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan. Jakarta: Kementerian PUPR.

Lambe, T. W., & Whitman, R. V. (1969). Soil Mechanics. John Wiley & Sons.

 

 

 

 

Kegagalan Turap TPA Cipeucang: Tinjauan Teknik dan Kontraktual Berdasarkan Praktik FIDIC

1. Latar Belakang

Konstruksi infrastruktur publik merupakan tulang punggung pembangunan yang berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat. Infrastruktur yang andal dan berfungsi optimal mendukung aktivitas sosial, ekonomi, dan lingkungan secara berkelanjutan. Namun demikian, keberhasilan suatu proyek infrastruktur tidak dapat semata-mata diukur dari kekuatan struktur fisiknya, melainkan juga dari sejauh mana proyek tersebut dirancang, dilaksanakan, dan dikelola secara menyeluruh. Integrasi antara aspek teknis, lingkungan, manajemen risiko, dan kontraktual menjadi kunci dalam menjamin keberlanjutan fungsi infrastruktur.

Salah satu kasus yang menyoroti pentingnya pendekatan holistik dalam pembangunan infrastruktur adalah kegagalan konstruksi turap di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang, Tangerang Selatan. Struktur penahan tanah yang dibangun pada tahun 2019 dengan anggaran mencapai Rp22 miliar tersebut runtuh pada bulan Mei 2020, kurang dari satu tahun setelah penyelesaian konstruksi. Turap yang semula dirancang untuk menahan beban timbunan sampah dan mencegah pencemaran Sungai Cisadane justru ambruk, mengakibatkan tumpukan sampah mencemari badan sungai.

Peristiwa ini tidak hanya mencerminkan kegagalan teknis, tetapi juga memperlihatkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan, perencanaan risiko, dan pengelolaan kontrak konstruksi. Mengingat lokasi proyek berada di lingkungan ekstrem seperti TPA—dengan beban dinamis dari timbunan sampah dan keberadaan air lindi yang agresif—diperlukan evaluasi mendalam terhadap desain teknik, kualitas pelaksanaan, serta efektivitas implementasi kontrak kerja konstruksi.

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji secara komprehensif penyebab kegagalan struktur turap TPA Cipeucang, baik dari sisi teknis maupun kontraktual. Kajian ini diharapkan dapat memberikan pembelajaran berharga dalam merancang sistem infrastruktur yang lebih tangguh serta kontrak kerja yang lebih responsif terhadap dinamika lapangan, khususnya dalam proyek-proyek berisiko tinggi.

2. Tujuan Penelitian

·         Menganalisis penyebab kegagalan turap TPA Cipeucang dari perspektif teknik sipil dan lingkungan.

·         Mengevaluasi implementasi kontrak berdasarkan standar FIDIC Red Book.

·         Memberikan rekomendasi perbaikan pada aspek desain, pelaksanaan, dan administrasi kontrak konstruksi publik berisiko tinggi.

3. Dasar Teori

Studi ini menggunakan pendekatan multidisiplin yang menggabungkan prinsip-prinsip teknik sipil, geoteknik, manajemen risiko konstruksi, serta analisis hukum kontraktual berdasarkan praktik standar internasional, yakni FIDIC Red Book. Pemahaman menyeluruh terhadap dasar-dasar teori ini sangat krusial dalam menganalisis penyebab kegagalan teknis dan kelemahan sistem pengelolaan proyek infrastruktur publik.

2.1 Teori Geoteknik dan Mekanika Tanah

2.1.1 Tekanan Lateral Tanah terhadap Dinding Penahan

Desain struktur penahan tanah seperti turap pada dasarnya harus mempertimbangkan gaya-gaya yang bekerja akibat tekanan lateral dari massa tanah atau timbunan material di belakang dinding. Dua pendekatan klasik yang umum digunakan adalah:

·         Teori Rankine

Rankine mengembangkan teori tekanan tanah lateral dengan asumsi kondisi bidang tanah datar, isotropik, dan tidak mengalami kohesi. Tekanan lateral pada dinding terdiri atas tekanan aktif (pada saat dinding bergerak menjauh dari tanah) dan tekanan pasif (pada saat dinding menahan tanah dari pergerakan keluar). Rumus tekanan aktif Rankine untuk tanah tanpa kohesi:

σa=Kaγh

di mana Ka adalah koefisien tekanan tanah aktif, γ berat jenis tanah, dan h kedalaman.

·         Teori Coulomb

Mengakomodasi kemiringan dinding, sudut geser tanah, dan sudut gesekan antara tanah dan dinding. Pendekatan ini dianggap lebih realistis untuk desain praktis.

Namun, dalam kasus turap TPA Cipeucang, gaya-gaya tersebut tidak berasal dari tanah biasa, melainkan dari timbunan sampah—suatu material yang sangat heterogen, dinamis, dan mengalami perubahan densitas serta tekanan seiring waktu dan pelapukan. Oleh karena itu, teori-teori klasik perlu dimodifikasi atau disesuaikan dengan parameter eksperimental timbunan sampah, seperti data hasil landfill geotechnical investigation.

2.1.2 Pengaruh Tekanan Air Pori dan Kondisi Tanah Jenuh

Menurut Terzaghi (1943), kekuatan geser tanah terdiri atas tiga komponen: kohesi, friksi dalam, dan tekanan efektif. Ketika tanah mengalami kejenuhan akibat infiltrasi air lindi, tekanan air pori meningkat dan mengurangi tekanan efektif (σ′). Ini menyebabkan turunnya daya dukung tanah dan meningkatnya risiko kelongsoran atau shear failure.

σ′=σ−u

di mana:

·         σ: tekanan total

·         u: tekanan air pori

·         σ′: tekanan efektif

Kondisi ini sangat relevan di lokasi TPA, di mana air lindi—hasil dekomposisi sampah organik—tidak hanya bersifat jenuh, tapi juga membawa kontaminan yang mempercepat pelapukan tanah dan mengubah struktur mikronya.

2.1.3 Sistem Drainase dan Stabilitas Turap

Drainase menjadi komponen penting dalam desain dinding penahan. Sistem drainase yang tidak berfungsi atau tidak memadai dapat menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di belakang dinding. Tekanan ini menambah beban lateral secara signifikan. Desain struktur harus memperhitungkan:

·         Weep holes

·         Geotextile filter

·         Drainage layer

·         Subsurface drainage system (geodrain, perforated pipe)

Jika tidak ada sistem drainase yang memadai, air dari curah hujan dan lindi akan terperangkap, menghasilkan tekanan balik tambahan yang mempercepat keruntuhan struktur.

2.2 Teori Material dan Kualitas Beton di Lingkungan Agresif

Lingkungan TPA dikenal sangat agresif terhadap material bangunan, khususnya terhadap beton dan baja tulangan. Pengaruh kimiawi dari lindi, gas metana, dan senyawa amonia dapat menyebabkan:

·         Degradasi permukaan beton (sulfate attack)

·         Korosi tulangan akibat peningkatan kelembaban dan pH ekstrim

·         Retak dini akibat ekspansi atau reaksi alkali-silika

Oleh karena itu, berdasarkan SNI 2847:2019 dan ACI 318-14, beton untuk lingkungan agresif harus memenuhi beberapa syarat:

·         Menggunakan aditif tahan sulfat

·         Rasio air-semen yang rendah (≤ 0,45)

·         Penggunaan semen tipe V (sulfate-resistant)

·         Mutu beton minimal f’c = 30 MPa

·         Uji slump dan pengecoran sesuai waktu setting

Gagalnya pelaksanaan mutu beton di lapangan dapat menyebabkan mikroretakan yang mempercepat infiltrasi lindi dan korosi baja, yang memperlemah struktur dari dalam.

2.3 Manajemen Proyek dan Risiko Konstruksi

Manajemen proyek konstruksi mencakup pengendalian terhadap waktu, biaya, mutu, dan risiko. Berdasarkan PMBOK (Project Management Institute), risiko harus diidentifikasi, dianalisis, dan dimitigasi sejak tahap awal perencanaan. Dalam konteks proyek TPA, risiko-risiko berikut harus diantisipasi:

·         Perubahan karakteristik timbunan

·         Infiltrasi air lindi ke tanah dasar

·         Kegagalan drainase

·         Kondisi tanah lunak yang tidak terdeteksi

Elemen penting yang sering diabaikan adalah sistem early warning, seperti inclinometer, piezometer, dan deformasi meter, untuk mendeteksi tanda-tanda awal kegagalan struktural.

2.4 Teori Kontraktual: FIDIC Red Book (First Edition 1999)

FIDIC (Fédération Internationale des Ingénieurs-Conseils) adalah pedoman kontrak konstruksi internasional yang lazim digunakan dalam proyek publik, khususnya yang dibiayai pemerintah dan lembaga donor.

-          Sub-Klausul 4.1 – Contractor’s General Obligations

Kontraktor wajib menjalankan pekerjaan dengan keahlian profesional, kehati-hatian, dan praktik terbaik. Gagalnya pelaksanaan yang mempertimbangkan kondisi lapangan dapat dianggap sebagai pelanggaran kewajiban profesional.

-          Sub-Klausul 4.6 – Co-operation

Menekankan pentingnya koordinasi dan kolaborasi antara semua pihak proyek—Employer, Engineer, dan Contractor—untuk mencegah kesalahpahaman dan menangani perubahan teknis.

-          Sub-Klausul 4.12 – Unforeseeable Physical Conditions

Kontraktor dapat mengklaim tambahan biaya atau waktu jika menghadapi kondisi fisik yang tidak terduga, seperti tanah lunak atau kandungan air lindi yang tinggi, yang tidak diperhitungkan dalam dokumen awal.

-          Sub-Klausul 8.3 – Programme

Mengharuskan kontraktor membuat dan memperbarui jadwal kerja yang mencerminkan kondisi aktual lapangan, termasuk strategi mitigasi risiko teknis.

Implementasi FIDIC secara substansial membantu menjaga keseimbangan tanggung jawab dan hak antar pihak, serta memberikan struktur penyelesaian sengketa dan adaptasi teknis yang adil.

 

4. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dengan metode studi kasus. Pendekatan ini dipilih karena bertujuan untuk memahami secara mendalam fenomena kegagalan turap di TPA Cipeucang dari berbagai perspektif, termasuk teknis, lingkungan, dan kontraktual. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk menganalisis suatu kejadian nyata secara kontekstual, menyeluruh, dan terperinci dalam bingkai teori dan praktik yang relevan.

4.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yakni menguraikan fakta-fakta empiris, kemudian menganalisisnya dengan menggunakan teori dan regulasi sebagai alat bantu. Pendekatan ini sesuai untuk menjelaskan hubungan antara penyebab teknis dan kegagalan kontraktual dalam satu proyek konstruksi publik.

4.2 Lokasi dan Subjek Kajian

Objek kajian adalah struktur turap pada proyek TPA Cipeucang, Tangerang Selatan, yang mengalami kegagalan pada tahun 2020. Proyek ini dipilih sebagai studi kasus karena menjadi salah satu contoh nyata keruntuhan struktur di proyek infrastruktur publik dengan implikasi lingkungan yang besar.

4.3 Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui beberapa sumber sekunder berikut:

·         Studi Dokumentasi:

o    Berita media massa dan rilis resmi dari pemerintah daerah.

·         Analisis Dokumen Hukum dan Kontraktual:

o    Telaah terhadap standar FIDIC Red Book (edisi 1999) yang umum digunakan pada proyek infrastruktur publik berbasis Employer-Design Contract.

o    Interpretasi pasal-pasal yang relevan dengan konteks kegagalan proyek, khususnya Sub-Klausul 4.1, 4.6, 4.12, dan 8.3.

·         Tinjauan Literatur Ilmiah:

o    Studi akademik dan jurnal ilmiah terkait geoteknik timbunan sampah (landfill geotechnics), pengaruh air lindi, dan tekanan lateral tanah.

o    Referensi tentang manajemen risiko dalam proyek infrastruktur serta best practices dalam pengelolaan proyek menggunakan standar FIDIC.

 

5Analisis pada penelitian ini dibagi ke dalam dua aspek utama: aspek teknis dan aspek kontraktual. Kedua aspek ini saling berkaitan dan membentuk pemahaman menyeluruh atas penyebab kegagalan turap TPA Cipeucang. Analisis dilakukan berdasarkan temuan dokumentasi, referensi ilmiah, serta interpretasi klausul-klausul FIDIC Red Book.

5.1 Aspek Teknis

Kegagalan struktur turap TPA Cipeucang menunjukkan bahwa pendekatan teknis yang digunakan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek belum mampu menjawab tantangan kondisi lapangan yang kompleks. Beberapa poin utama dari analisis teknis meliputi:

a. Desain Tidak Memadai terhadap Tekanan Lateral Sampah

Struktur turap didesain untuk menahan beban lateral dari tanah biasa, bukan dari timbunan sampah heterogen yang bersifat dinamis dan terus berubah densitasnya. Dalam kondisi operasional TPA, timbunan sampah menghasilkan tekanan lateral progresif, yang meningkat seiring waktu akibat pemadatan dan pelapukan internal. Ketika tekanan ini tidak diperhitungkan secara cermat dalam desain, struktur menjadi rentan terhadap kegagalan geser atau deformasi lateral.

b. Ketidakhadiran Sistem Drainase yang Efektif

Analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat sistem drainase horizontal atau vertikal yang memadai di balik turap. Akibatnya, air lindi dan air hujan tertahan dan membentuk tekanan air pori yang tinggi, yang pada gilirannya menurunkan tekanan efektif tanah pendukung (menurut hukum Terzaghi). Tekanan hidrostatik yang tidak tertangani ini memperbesar gaya dorong terhadap dinding, menyebabkan instabilitas struktural secara progresif.

c. Mutu Beton dan Pelaksanaan Tidak Sesuai Standar

Kondisi lingkungan TPA yang mengandung gas metana dan senyawa kimia agresif menuntut penggunaan beton dengan spesifikasi khusus, seperti aditif tahan sulfat dan semen tipe V. Namun, dari investigasi lapangan dan pemberitaan yang tersedia, pelaksanaan konstruksi tidak mencerminkan kontrol mutu yang ketat. Diduga terjadi pengecoran yang tidak mengikuti jam kerja ideal, ketidaksesuaian rasio air-semen, dan potensi rendahnya mutu beton akibat kurangnya pengujian slump atau uji kuat tekan. Hal ini mempercepat degradasi struktur dan menurunkan ketahanan jangka panjangnya.

5.2 Aspek Kontraktual (FIDIC Red Book)

Selain aspek teknis, kegagalan ini juga menunjukkan lemahnya implementasi prinsip-prinsip kontraktual, khususnya yang diatur dalam FIDIC Red Book. Beberapa klausul kunci yang dilanggar atau tidak diimplementasikan secara substansial adalah sebagai berikut:

a. Pelanggaran Sub-Klausul 4.1 – Contractor’s General Obligations

Sub-Klausul ini menuntut kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan dengan kehati-hatian profesional dan praktik terbaik. Namun, dalam kasus ini, kontraktor tampaknya tidak melakukan penyesuaian metode pelaksanaan terhadap kondisi aktual lapangan yang berubah dinamis, seperti peningkatan volume sampah dan perubahan karakteristik tanah akibat lindi. Kurangnya tindakan korektif menunjukkan tidak adanya due diligence dalam menjaga kesesuaian teknis.

b. Pelanggaran Sub-Klausul 8.3 – Programme

FIDIC mewajibkan kontraktor untuk menyusun dan memperbarui programme of work yang mencerminkan urutan kerja dan risiko teknis. Dalam kasus Cipeucang, tidak terdapat bukti bahwa program kerja diperbarui saat muncul perubahan beban lateral dan kondisi drainase yang memburuk. Ketidakhadiran pembaruan ini melemahkan kapasitas proyek untuk beradaptasi terhadap dinamika lapangan.

c. Pelanggaran Sub-Klausul 4.12 – Unforeseeable Physical Conditions

Tekanan lindi yang tinggi dan perubahan beban timbunan merupakan kondisi fisik yang bersifat dinamis dan sulit diprediksi secara akurat di awal proyek. FIDIC memberikan ruang kepada kontraktor untuk mengajukan revisi desain atau klaim tambahan apabila menghadapi kondisi seperti ini. Namun, tidak ada catatan bahwa kontraktor menggunakan mekanisme ini, yang berarti potensi mitigasi teknis yang disediakan kontrak tidak dimanfaatkan secara optimal.

d. Pelanggaran Sub-Klausul 4.6 – Co-operation

Kerja sama antara pihak-pihak proyek merupakan elemen fundamental dalam menghadapi tantangan teknis di lapangan. Dalam proyek ini, tampak bahwa tidak terdapat koordinasi yang kuat antara kontraktor, engineer, dan pemberi kerja. Minimnya komunikasi teknis formal seperti site instruction, technical meetings, atau joint review atas kondisi lapangan menunjukkan lemahnya pelaksanaan prinsip kolaborasi. Akibatnya, potensi kegagalan tidak direspons secara terstruktur dan responsif.

 

6. Simpulan dan Saran

a. Simpulan

Analisis menyimpulkan bahwa kegagalan struktur turap TPA Cipeucang tidak hanya disebabkan oleh perhitungan teknis yang kurang tepat, tetapi juga oleh lemahnya sistem manajemen proyek dan kegagalan implementasi kontrak. Ketiadaan sistem drainase, buruknya mutu konstruksi, serta tidak diterapkannya prinsip-prinsip FIDIC secara substansial menjadi kombinasi faktor yang mendorong keruntuhan struktur dalam waktu singkat setelah konstruksi selesai.

b. Saran

1.      Peningkatan kualitas studi geoteknik awal dengan mempertimbangkan karakteristik spesifik TPA dan dinamika tekanan sampah dan lindi.

2.      Kontrak konstruksi publik harus menyertakan klausul teknis khusus untuk proyek berisiko tinggi, termasuk ketentuan tentang inspeksi independen dan design review berkala.

3.      Penerapan prinsip FIDIC secara substansial, tidak hanya formalitas administratif, terutama terkait risk management dan perubahan kondisi lapangan.

4.      Peningkatan kompetensi engineer dan tim pengawas lapangan dalam mendeteksi tanda-tanda awal kegagalan dan mengambil langkah korektif sebelum kerusakan terjadi.

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment