Friday, 8 March 2019

Beradaptasi

Pengalaman hidup, lingkungan dan latar belakang pendidikan sangat mempengaruhi cara seseorang dalam mengambil keputusan. Di keluargaku sendiri masih di temui arogansi mengenai suku yang dimiliki. Keluarga ibuku sangat membanggakan adat yang mereka pakai, memang tak salah, memang adanya pride sendiri dengan suku yang kita anut. Akupun bangga lahir secara tulen menjadi orang minang,  alamnya yang indah, standard sopan santun yang tinggi, masyarakat yang religius dan makanannya yang lezat. Bagaimana tidak aku selalu merindukan kampung.

Aku belajar budaya minang baik secara formal maupun non formal. 9 tahun aku menimbanya secara formal di bangku sekolah, dan seumur hidup aku belajarnya secara non formal alias dari kehidupan sehari-hari menjadi orang minang. Minangkabau sangat unik dan apalagi orang-orangnya. Minangkabau merupakan suku terbesar yang menganut matrilineal, bahwa garis keturunannya bedasarkan dari ibu, sehingga suku pun diwariskan dari ibu, warisanpun juga di turunkan pada perempuan. Peran keluarga ibu sangatlah tinggi di minangkabau. Di karenakan keunikannya itulah terkadang menghadirkan masalah-masalah unik di dalam internal masing-masing lingkungan masyarakatnya, salah satunya tentang pernikahan dengan suku di luar minangkabau yang secara umum menganut matrilineal dan hal ini lumrah terjadi. Percaya atau tidak, orang tua dari anak-anak yang tulen minang pasti menginginkan anaknya menikah dengan orang minang yang tulen lagi. Menurut pandangan mereka, mereka saling lebih mudah mengerti karna budaya, adat istiadat yang mereka pakaipun sama sehingga akan minim konflik. 

Akupun paham, 6 tahun merantau membuatku sangat mengerti akan perbedaan berinteraksi dengan teman yang berasal dari suku non-minang. Namun justru selama merantau justru aku punya banyak sahabat yang bukan orang minang, dan banyak sekali aku dibantu oleh mereka. Memang berbeda cara berinteraksi dengan teman yang minang dan non minang. Namun keduanya dapat aku terima. Beberapa perbedaan di antaranya adalah (ini hanya subjektif berdasarkan pandanganku saja, mungkin bagi orang lain bisa berbeda):

Minang => teman-teman yang minang cendrung sensitif dan peka (bukan negatif), mereka sangat lihat melihat gelagat dan kondisi, sehingga mereka cendrung lebih mudah memposisikan diri dalam mengutarakan sesuatu, selain itu basa-basi mereka itu sangat tinggi untuk hal yang kecil mereka tidak perhitungan, dan laki-laki minang dalam berteman pun sangat melindungi misal (jika pulang dari kampus bersama, ia akan mengantarkannya sampai depan kos dan tidak akan beranjak pergi sebelum saya masuk dan sudah selesai mengunci pintu kos), sikap-sikap gentle seperti itu membuat beberapa teman saya yang non minangpun lebih mudah baper, selain itu mereka ringan tangan untuk menolong, karena bagi mereka perempuan sangat di hargainya.

Non minang => hal yang saya suka dari orang non-minang adalah mereka cendrung tegas, dan frontal untuk mengungkapkan sesuatu, misal nih dia bawa kue dan menawarkannya pada teman-temannya dengan kondisi teman2nya ini bukan teman akrab, ketika temannya mengambil agak banyak dia spontan bilang "jangan ambil banyak-banyak", kalau aku tak terbiasa dengan berbaur seperti ini mungkin aku akan tersinggung wkwk.

Pada awalnya memang akupun merasa dianggap menjadi orang kaku, tidak bisa diajak bekerja sama di awal-awal aku merantau di Bandung oleh teman-temanku, dikarenakan memang cara berkomunikasi kamipun agak berbeda. Lambat-laun akupun beradaptasi, karena sesuai falsafah hidup orang minang "Dimana bumi di pijak disitu langit dijunjung", sehingga pada akhirnya akupun bisa membaur dan memiliki sahabat-sahabat yang bukan orang minang.