Dari dulu sebenarnya aku termasuk yang sangat berhati-hati dalam mempercayai orang lain. Aku juga cukup selektif dalam memilih lingkungan pertemanan. Apalagi mencintai seseorang dan mempercayainya.
Sebuah kesalahanku, aku mencintai dan mempercayai orang yang salah, seseorang yang tak pernah ku duga mengkhianatiku seperti ini. Niat dan janjinya di hadapan orang tuaku, ia ingkari. Dia menjadi seseorang yang berbeda yang pernah aku kenal. Ya begitulah kalau mempercayai seseorang yang hidupnya tidak berpegang pada tali Allah, mungkin sama juga dengan kondisiku saat itu, tidak menggantungkan harap pada Allah. Menggantungkan harap pada manusia itu sama halnya dengan menaruh gelas kaca diujung meja, tergeser sedikit lalu jatuh maka jatuh berderai.
He said, "aku sudah melewati point of no return", semuanya bohong. Pembohong yang sudah menipu dan membohongi keluargaku selama berbulan-bulan. Aku sendiri melihat pasang surut gelombang hatinya, yang pada satu titik sangat dekat dengan Allah, bertahan sejenak lalu hatinya kembali mengumpat Allah dengan kesulitan-kesulitan yang ia derita. Sebenarnya manusiawi kok mengeluh dengan semua kesulitan yang kita terima di dunia, tapi sering menyalahkan Allah, dan blaming terhadap segala hal yang membuat keinginannya sulit terwujud adalah suatu pertanda sebetulnya dari awal untukku. Allah saja bisa tidak ia sukai walaupun masih beribadah wajib, apalagi diriku yang hanya seorang makhluk. Aku lupa akan hal itu.
Beranjak dari kesalahan ini, aku yakin Allah ingin yang terbaik untukku. 3 minggu pasca berakhirnya hubungan ini, aku justru merasa Allah menyelamatkanku dari orang yang salah. So, ke depannya aku harus peka terhadap pertanda.