Tuesday, 30 October 2018

Kekhawatiran Generasi Millenial

Beberapa sumber menyatakan bahwa generasi millenial adalah generasi yang lahir pada tahun 1983, hingga 2000. By defenisi, penulis (saya) merasa bahwa dirinya adalah generasi millenial, yup generasi yang hangat di bicarakan saat ini.

Kali ini saya ingin menuliskan kegelisahan-kegelisahan yang terbesit di benak saya mewakili generasi millenial lainnya di Pukul 12.00 - 13.00.  Pada pukul tersebut adalah jam istirahat kantor makan siang dan bercerita banyak di meja makan yang panjang, saya dan teman-teman disini nyaris seumuran, ya generasi millenial semua. Banyak diantara kita memikirkan ingin mendapatkan pekerjaan yang gajinya mencukupi agar bisa punya rumah di ibukota sebelum usia 30 tahun. Sebagian dari kita ada yang menghitung-hitung pendapatan mereka, misal jika bekerja di konsultan asing di jkt dengan modal titel Magister Teknik, ya gaji sekitar 10 juta, biaya makan, tempat tinggal dan sebagainya 5 juta perbulan, sisanya di tabung, namun ternyata akan lama sekali atau hampir mustahil untuk hidup layak bersama istri dan anak-anak tercinta di usia sebelum 30 tahun, dengan standar sudah memiliki rumah layak huni dengan luas tanah (120 m2), dan kendaraan pribadi.

Lain lagi, hari minggu kemaren sempat bercerita-cerita dengan teman saya, yang baru saja di wisuda S2 dan pindah ke rumah baru di kawasan arcamanik kota Bandung. Harga tanah disekitar rumah barunya yang naik 2x lipat dalam waktu 2 tahun, temanku itu berkata, untung udah beli tanah disini dulu sebelum harganya naik.

Hal ini membuat diriku semakin pesimis untuk memiliki rumah atau tinggal menetap hingga tua di ibukota besar. Comeback ke kampung halaman adalah solusinya. Namun dengan catatan sudah memiliki pekerjaan yang settle, walaupun gaji tak besar seperti di ibukota, namun syarat hidup di kampung halaman saya tak sesulit syarat hidup di ibukota.

Hal ini terjadi karena, spekulan tanah dan menjualnya berlipat-lipat, sementara gaji angkatan kerja yang cendrung stagnan. Mereka-mereka yang menjadi tuan tanahlah yang bisa hidup layak. Hampir mustahil para millenial yang memang memperjuangkan hidup dari nol untuk bisa memiliki properti di ibukota. 

Itu baru tentang rumah sebagai kebutuhan pokok, belum lagi biaya pendidikan. Syukur-syukur punya anak yang lumayan pintar dan memungkinkan sekolah negeri, kalau anaknya susah banget belajar, motivasinya rendah, nilai suram, harus les ini itu, dan masuk sekolah swasta. Begitu peliknya ya hidup di kota besar. Melihat dan memprediksi dengan kondisi sekarang ini, ya semogalah keturunan saya ga ada yang geblek bangetlah, atau malesan belajar. Semoga keturunan saya memang orang yang struggle seperti saya.

Selain itu adalah, melihat peliknya kondisi masa depan, saya cukup khawatir untuk hanya di rumah dan jadi pure ibu rumah tangga. Walaupun seandainya nanti sudah menikah, aku tetap akan bekerja, kasian banget suami harus sendirian menanggung beban untuk mencari nafkah. Banyak yang mengatakan, ah perempuan di rumah aja. Hmm, kita nggak akan tahu sepenuhnya tentang masa depan, hidup yang sangat struggle, dan ekonomi yang kacau, bisa saja membuat kehidupan rumah tangga kacau balau juga. Ya jika bisa berjuang bersama-sama, kenapa tidak.

Ya, itulah beberapa badai pikiran yang menerjang di jam makan siang, di sebuah kantor kecil yang diisi anak-anak millenial.




No comments:

Post a Comment