Tuesday 6 February 2018

Struggling (Berjuang) dari Jeritan

Setiap dari kita waktu kecil pasti pernah merasakan momen ketika kita belajar berjalan. Mula-mula kita belajar membalikan tubuh dari tidur panjang, pelan-pelan merangkak, setelah itu belajar duduk, dari duduk belajar berdiri dengan berpegangan, lalu pelan-pelan melepas pegangan dan mulai melangkahkan kaki hingga mampu berlari. Dari kecil kita sudah belajar artinya berjuang, tetapi kita yang kecil dahulu tidak pernah mengeluh (karena kita tidak tahu cara mengeluh) ketika mencoba berjalan dan jatuh. Sakit memang, kitapun menangis, namun tak jera mencoba lagi hingga akhirnya mampu berdiri.

Yup, berjuang ini saya rasakan pula, di masa-masa akademik saya. 

1. Masuk SMA N 1 Pariaman
Kuis mata pelajaran komputer terendah di kelas, remedial fisika, merasa malu tidak dapat mengerjakan soal fisika di depan kelas, dan berbagai remedial di kelas 1 SMA dialami, merosot memang dari juara 1 umum di SMP menjadi remedian di kelas unggul SMA. Tetapi dari keterjatuhan ini belajar artinya berjuang, ah itu pemanasan, seseorang memang perlu beradaptasi dengan lingkungan baru. Saya bangun dari keterpurukan, Ulangan fisika semester 2 tidak lagi remedi. Masuk Semester 3 SMA, waktu itu saya satu2nya yg mendapatkan nilai ulangan fisika pertama di semester itu, sang guru fisika memuji saya karena saya sangat berjuang, yup guru fisika ku buk Yesi menyaksikan sendiri mataku sudah berkaca-kaca, lutut ku melemah ketika tidak mampu mengerjakan soal fisika yang sangat mudah. Hingga di kelas 2 SMA percaya diri, selalu mengangkat tangan ketika soal fisika di berikan.

2. TPB ITB
Memulai kehidupan merantau dari Sumatera ke Jawa. 1 Minggu ibu menemaniku d Bandung, kemudian meninggalkanku di sebuah Asrama. 1 Minggu perpisahan itu, "bu, bagaimana kalau kita pulang saja, dan melupakan mimpi ini?. Aku masih belum mampu membayangkan hidup sendiri disini", air mata menyusuri hingga membasahi jiwa yang penuh ketakutan ini. Ibu selalu support aku dan meyakinkan aku bahwa aku mampu berjuang disini.

2 bulan kemudian aku memasuki hari-hari akademik di ITB. Menjerit rasanya memahami praktikum pemrograman yang tidak di mengerti akan mengetik apa. Nilai praktikum pertamaku, 46 skala 100. Kemudian bertubi-tubi dengan UTS. UTS fisika ku 53, tapi aku bersyukur itu rata-rata kelas, setidaknya bukan aku yang terbodoh, karena aku merasa diriku terbodoh di kelas saat itu. Nilai UTS kalkulus 74, yeay ini diatas rata-rata ya AB lah. Aku pun semakin berjuang walaupun tidak mendapatkan 1 pun huruf A di semester itu, alhamdulillah IP diatas 3. Semester 2 IP ku meningkat.

3. Teknik Sipil ITB
Semester awal masuk Sipil, kembali menjerit lagi dengan keadaan baru, dan jadwal yang sangat sibuk. Kuliah, Praktikum, Kuis Matrek yang menyiksa 2x seminggu, Ospek, dan Tugas yang bertubi-tubi. Pelan-pelan di jalani, berjuang, akhirnya terbiasa dan mampu beradaptasi. Hingga semester 4 dan berikutnya dapat mempertahankan IP diatas 3,5 dari yang awalnya menjerit-jerit.

Satu hal yang ingin di tekankan disini, saya bercerita ini bukan pamer, saya bukanlah mahasiswa yang pintar ataupun jenius yang dari awal akademinya stabil diatas 3,5. Semuanya saya awali dengan jeritan, merasa tidak mampu, merasa tidak akan mampu saya menjalaninya hingga akhir, namun mental saya selalu ingin berjuang, yup awalnya memang semua terasa menyiksa karena kita keluar dari zona nyaman, namun pelan-pelan kita beradaptasi. Yup, percaya atau tidak, setiap orang saya yakin pasti pernah merasakan posisi yang menjerit-jerit wkwk.