Monday 29 January 2018

Pelajaran hidup dari film Jembatan Pensil

Alhamdulillahirrabil alamin... 
Saya sangat bersyukur telah menamatkan kuliah S1 saya dan mendapat gelar sarjana. Alhamdulillah saya di berikan Allah kemudahan untuk menuntut ilmu... 

Di postingan ini saya tidak membahas tentang sinopsis filmnya, tetapi saya akan bercerita tentang apa yang pikirkan tentang film ini. Banyak bagian2 cerita yang menyentuh sisi emosial dari diri saya. Latar ceritanya berada di Pesisir Pantai, saya seperti flashback kembali ke masa kecil saya di waktu SD, saya di besarkan di lingkungan pesisir Pantai. Tetapi kampung dimana saya tinggal jauh lebih maju dimana sudah banyak sekolah terdapat disana.

Mungkin bagi sebagian kita tidak begitu sulit memperoleh pendidikan, tetapi dari filmnya kita melihat bahwa masih ada banyak orang yang mendapatkan pendidikan SD saja susah, hanya 1 bahkan sekolah di desa tersebut, guru pun juga hanya 1, dan tak ada yang membayar. Perjuangan mereka pun untuk bersekolah sangatlah susah, bertaruh nyawa melewati jembatan lapuk yang sudah rusak. Tapi ini bukan hanya film, tapi benar adanya. Pendidikan belum mampu menyentuh semua elemen masyarakat.

Tokoh Ondeng, seorang anak laki-laki yang bersekolah di sekolah gratis itu. Dia seorang anak nelayan. Setiap hari ia menabung untuk membuat jembatan untuk temannya. Setiap hari ia menunggu teman-temannya saat menyebrang jembatan, hingga suatu ketiaka jembatan kayu itu roboh, teman-temannya tenggelam, ialah yang menyelamatkan teman-temannya.

Ibunya Ondeng sudah meninggal, ia hanya tinggal bersama ayahnya yang seorang nelayan. Ondeng selalu takut mendengar petir karena mengkhawatirkan ayahnya di laut sana. Ayahnya begitu sayang padanya. Suatu hari tasnya terjatuh di sungai. Ayahnya berjanji untuk membelikan tas yang baru. Kemudian ayahnya pergi melaut, dan ternyata kapalnya terguling, ia pun meninggal. Ya begitulah nelayan, hidupnya di laut, matinya pun di laut. Sebagai anak pesisir pantai, kabar meninggalnya seorang nelayan yang melaut tidaklah asing. Bagian ini sangatlah sedih bagi saya, saya menjadi teringat ayah yang sudah tua, saya sering khawatir dengan keadaan ayah yang sering berpergian ke luar kota ratusan kilometer mengendarai motor, pernah suatu hari ayah kecelakaan, kakinya terluka, saya selalu lirih megingat ini. Perjuangan seorang ayah demi keluarganya. Keinginan saya saat ini adalah saya ingin membahagiakan kedua orang tua saya di sisa umurnya, saya sangat menyayangi mereka.

Kembali ke film, suatu hari Ondeng sakit karena sangat merasa kehilangan ayahnya. Kemudian Ondeng pergi ke laut, tenggelam dan meninggal. Ondeng pernah berpesan kepada gading kawan ayahnya melaut bahwa buatkan jembatan untuk teman-temannya dari uang tabungannya. Akhirnya diakhir cerita jembatan itu dibuat. Saya berharap semoga pemerintah tidak hanya membangun jembatan-jembatan bagus saja sebagai landmark kota, tetapi juga lebih membangun jembatan-jembatan di pelosok desa yang dapat menghubungan desa2 kecil sehingga kemudahan akses ini dapat memudahkan masyarakat dalam mobilitas dan akses dalam berkegiatan. Saat melakukan review design jembatan baja, saya sangat berharap semoga jembatan itu aman, dan dapat bermanfaat bagi masyarakat yang menggunakannya.

Mungkin sekian cerita saya mengenai film ini. Sekian, terima kasih.



No comments:

Post a Comment