Monday 22 July 2019

Langkah-langkah Bisnis Jilbab Voal

Aku menulis artikel ini karena ngalamin memberanikan diri untuk nyobain sendiri gimana produksi jilbab voal ini. Jilbab voal saat ini memang tengah diminati banyak perempuan, karena memang bahannya yang bagus dan trendy untuk dikenakan. Jika memang ingin terjun di bisnis ini memang butuh modal, ketelatenan, dan strategi yang tepat. Berikut langkah-langkah untuk memulai bisnis jilbab voal:

1. Buat Desain Jilbab
Desain akan menjadi ciri khas dan kharakter dari di brand itu sendiri. Memang banyak di luar sana yang menyewa desain grafis, tapi buat pemula lebih baik desain sendiri. Untuk desain, dapat menggunakan canva, adobe ilustrator, corel draw, dan aplikasi desain sejenis. Saya sendiri, menggunakan ke 3 yang di atas.

2. Beli Bahan
Disini memang membutuhkan modal untuk membeli bahan, dan memilih kualitas bahan. Kalau perlu survei satu persatu toko kain di Pasar tersebut hehe. Harga normal voal premium permeter nya, 30.000 hingga 35.000, itu harga di kota Bandung.

3. Print
Biaya terbesar membuat jilbab voal  ada di biaya printnya, dan perlu survei tempat print jilbab yang kualitasnya bagus, harga bersahabat dan sebagainya. Untuk print jilbab ukuran 1.1 x 1.1 m merogoh kocek sekitar 50.000an, semakin luas daerah print maka akan semakin mahal biaya nya. Selain itu, kalau kain rusak ketika proses pengeprintan, tidak resiko di tanggung sendiri. Pantesan ya guys, harga jilbab voal itu selangit, hanya mereka-mereka yang menengah keatas sanggup membelinya.

4. Jahit
Biaya diatas belum termasuk biaya menjahit nya, setidaknya siapkan dana berkisar Rp. 10000 - Rp 20.000 untuk setiap pcs jilbab.

5. Branding dan Marketing
Untuk branding membutuhkan admin dan artis untuk endorse

6. Biaya transportasi
Nah ini, bolah balik naik ojek, ke pasar dan ke tempat print butuh uang transportasi.

Nah... dapat dilihat kan guys, mahal banget modalnya. Jadi silahkan pertimbangkan lagi jika kamu memang ingin berbisnis jilbab.



Sunday 14 July 2019

Jangan Banyak Beralasan

Dalam hidup, saya sering mengamati bahwa orang yang sukses adalah mereka yang berani memulai, dan tidak takut akan resiko. Setiap pekerjaan pasti ada resikonya, tetapi mereka-mereka yang sukses adalah orang-orang yang tahu cara mengurangi dan menghindari resiko tersebut dengan perhitungan yang tepat. 

Sebetulnya saya pun juga belum sukses, tapi saya orang yang cukup ambisius terhadap mimpi-mimpi saya, merencanakannya secara matang, dan menepis semua alasan tentang "tidak bisa". Terkadang saya sering berdebat dengan ayah tentang diri saya yang ambisius, yang terkadang membuat saya stress, dan khawatir. Tapi sebetulnya stress dan khawatir itu adalah bagian dari proses. Kharakter ayah dan saya memang jauh berbeda, saya bukan tipe orang yang pasrah, saya tipe orang yang berusaha maximal dulu, tidak mudah untuk menyerah walau saya sering mengeluh dan mengomel, tapi saya mengerjakannya sampai selesai.

Saya belajar dari kegagalan orang tua saya yang berpikir konservatif, dan takut resiko. Kalau saja saya tidak menuruti keyakinan saya di saat SMA mungkin sekarang ini belum tentu saya kuliah di ITB. Orang tua saya sempat takut dengan resiko, bagaimana jika saya terima disana, dan tidak di terima beasiswa. Entah kenapa saya punya keyakinan yang begitu besar, bahwa saya mampu survive kuliah disitu, dan lulus dengan baik. Walaupun pada awal kuliah saya sering mengeluh, jauh dari orang tua dan sulit mendapat nilai yang bagus. Namun, dari situ saya belajar, ya mengeluh tak masalah menurut saya, saya lepaskan uneg-uneg kegelisahan saya, setelah itu ya mencari solusi, dan melanjutkan pekerjaan.

Berani untuk keluar dari zona nyaman, ya benar. Terkadang saya berpikir kenapa jalan yang saya tempuhi begitu sulit ya? tapi setelah jauh berjalan melewati hal sulit, dan melihat ke belakang, saya bangga pada diri saya  sendiri ternyata saya telah melewatinya walaupun harus berdarah-darah terlebih dahulu. Banyak yang bilang "nikmatnya pencapaian adalah setelah lelah berjuang".

Jadi untuk kamu yang saat ini merasa sesuatu impossible, tak apa, tapi kerjakan saja sampai ternyata impossible jadi i'm possible.

Tulisan ini ku tulis untuk menyemangati diriku dan dirimu yang tengah berjuang untuk tujuan-tujuan hidup.

Thursday 11 July 2019

Biaya Hidup Ketika Menjadi Mahasiswa di Bandung

Hello, kali ini aku bakal cerita tentang berapa sih biaya hidup yang di habiskan per bulannya ketika aku menjadi mahasiswa di Bandung. Perlu aku klarifikasi bahwa, hitungan yang aku keluarkan ini adalah di tahun 2013-2017. Sebenarnya biaya hidup tergantung dari cara kita hidup, dan sikap kita terhadap uang. Sebagai perantau dan penerima beasiswa bidik misi, kondisi kehidupanku saat kuliah ya tergolong sangat-sangat minim. Tapi tak masalah, toh kuliah sudah lulus ;).

Jadi aku setiap bulannya mendapat uang saku dari beasiswa 950.000, harusnya 1 juta, 50 ribunya lagi dipotong untuk kegiatan pengembangan diri para penerima beasiswa. Uang tersebut tidaklah cukup,  setiap bulannya aku masih selalu meminta tambahan sekitar 500 ribu hingga 1 juta kepada orang tua, ya memang harus berpandai-pandai mengelola uang.

Berikut adalah rincian pengeluaranku:
1. Sewa kamar kos  =  Rp. 500.000
Dengan harga segitu, lokasi kos berjarak sekitar 1,5 - 2 km dari lokasi kampus. Dan masuk gang yang sempit di daerah Cisitu Lama. Teman-teman yang mengunjungiku ke Bandung banyak mengeluh lantaran kondisi jalan depan kosku yang sangat sempit. Mau ga mau ya di tahanin aja. Dengan biaya segitu ukuran kamar 3 m x 2.5 m, kamar mandi bersama, tanpa internet, tapi biaya sudah termasuk listrik dan air.

2. Biaya Makan
Makanan memang salah satu kunci bertahan hidup wkwk. Dalam sehari aku dapat menghabiskan uang untuk makan Rp. 25.000 - Rp 30.000 perhari, dan itu kadang ada sarapan kadang tidak. Sebulan menghabiskan sebanyak Rp. 900.000.

3. Pulsa dan Internet
Karena tidak ada internet, aku harus mengisi kuota modem  pengeluaran perbulannya Rp. 50.000 - Rp 75.000.

4. Belanja Bulanan
- Sabun
- Deterjen
- Shampo
- Pembalut
- Snack
- Odol
Ya sehemat-hematnya Rp. 75.000 perbulan

5. Print dan Fotokopian
Kalau di rata-rata habis Rp. 50.000 perbulan

6. Transportasi
Karena lokasi gedung kuliah ku cukup jauh yaitu di Teknik Sipil, aku naik angkot setiap hari, walau di selingi jalan kaki juga. 
Rp. 100.000 - Rp 150.000

Total dari 6 biaya pokok di atas adalah Rp. 1.750.000.

Itu adalah biaya sekitar 4 tahun lalu sebelum tulisan ini di buat, perlu diingat faktor inflasi juga. Rata-rata inflasi pertahunnya 3 - 3.5%, ya kita ambil 3.5%.

Maka, biaya tersebut di tahun 2019 menjadi Rp. 1.750.000 x (1.0350)^4  = Rp. 2.000.000,- .

Semoga tulisan ini dapat menjadi gambaran buat kamu yang ingin kuliah di Bandung. FYI, gambaran di atas hidup udah hemat maksimum banget hehe.

Di tahun terakhir kuliah aku pindah ke kosan yang lebih lumayan baik dari sebelumnya yaitu dengan harga 800.000, syukurnya ada dapur bersama, yang sedikit mengurangi pengeluaranku di biaya makan karena bisa masak.

Wednesday 10 July 2019

Pengalaman Daftar S2 Teknik Sipil ITB - KK Manajemen Konstruksi

Tahun ini aku memutuskan untuk melanjutkan studi kembali, alhamdulillah ya perkuliahan S2 ini di danai oleh beasiswa LPDP, kalau biaya sendiri mah aku ga bakal lanjut S2 hehe. Uang kuliah S2 di ITB persemesternya untuk jurusan teknik, Rp. 13.500.000,- ya sangat lumayan untuk menguras kocek.

Seleksi S2 di ITB untuk semester ganjil di buka 3 periode, aku ikut seleksinya di periode 1, di buka pendaftarannya sekitar februari 2019, dan seleksi tertulis dan wawancaranya akhir april. Berkas-berkas yang di perlukan selama pendaftaran tersebut adalah:
1. Transkrip Nilai
2. Ijazah
3. Asuransi Kesehatan (BPJS misalnya)
4. TPA, score > 475
5. TOEFL, score > 475 (ITP), 78 atau 88 ya ELPT. Saranku, pakai ELPT aja karena lebih murah dibanding ITP, hanya 125.000.
6. Ya itu sih seingatku, sisanya upload dan isi data diri aja
7. Bayar biaya pendaftaran 600 ribu
8. Menulis Essay
9. Minta rekomendasi, minimal 2 rekomendasi ke dosen di univ ketika S1.

Nah setelah administrasi selesai, ya nunggu panggilan seleksi tetulis dan wawancara. Aku mengambil kelompok keahlian Manajemen Konstruksi. jadi soal-soal yang diujikanpun seputar itu. Di panggilan tes itu ada lampiran undangan seleksi sama kisi-kisi soal yang akan keluar jadi ya pelajari aja seputar itu. 

Tibalah di hari H seleksi, ujian pagi itu jam 07.00 di Prodi Teknik Sipil, ujian sejam tapi itu cukup ketat waktunya untuk menjawab pertanyaan mrk yang banyak, sebelum ujian aku sempat tuh nanya ke temanku yang sudah lulus seleksi tahun lalu, dan beruntungnya memang ada yang keluar sebagian besar. Setelah selesai ujian tulis, di lanjutkan seleksi wawancara. Karena awalan namaku "A", aku dapat giliran cukup cepat untuk wawancara. Wawancara tak begitu lama, hanya 15 menit. Ketika itu aku di wawancarai oleh Prof. Puti, dan selama wawancara suasananya cukup cair, dan tidak ditanyakan teori sama sekali. Secara garis besar yang ditanyakan sebagai berikut:
1. Identitas (asal mana, univ mana)
2. Apakah sempat bekerja? Pengalaman kerja. Karena saat itu aku sudah bekerja.
3. Alasan melanjutkan S2?
4. Kenapa memilih MRK?
5. Pembiayaan selama S2?
6. Rencana jangka panjang dalam karir
7. Apa terkendala membaca literature bahasa inggris?

Semua pertanyaan Insya Allah bisa dijawab :) . Tak seberat seleksi LPDP haha. Kalau gagal di gelombang 1 masih ada gelombang 2 juga kan wkwk. Sekiranya ada pertanyaan ataupun komentar, bisa di tulis saja di kolom komentar insya Allah saya bantu jawab sesuai pengalaman saya saat itu.




Sunday 7 July 2019

Ingin Punya Rumah

Akhir-akhir aku merasa kurang semangat gitu, karena rutinitas, dan hal-hal lain yang tidak sesuai rencana. Contohnya masalah gigi bungsu yang tumbuh mengganggu ini, membuat hari-hariku sedikit terganggu dan jadi repot untuk urus mengurus rujukan ke rumah sakit, dikarenakan aku pakai bpjs. Ya, kalau bukan dengan asuransi ini, biaya yang dikeluarkan akan sangat membengkak sekali, ya tak apa walau mesti antri berjam-jam. Ke 4 gigi bungsu ku disarankan di cabut, karena akan memberikan masalah. Hal-hal seperti ini membuatku agak sedikit lelah dikarenakan semuanya harus di hadapi sendirian tanpa keluarga. Bahkan aku tak bisa membayangkan jika operasi ke 4 gigi tersebut dan harus menginap, siapa yang akan menunggui di rumah sakit. Inilah salah satu yang membuatku harus mencari solusinya. 

Untuk menghilangkan stress karena si gigi, aku streaming di youtube. Tak sengaja aku menonton acara tentang gaya hidup minimalis dan rumah yang di desain se minimalis mungkin ya karena harga tanah sangat mahal. Aku kepikiran bisa ga ya setelah nikah aku punya rumah, tak apa kecilpun jadi, yang penting ada tempat berteduh dari panas dan hujan daripada harus ngontrak, tapi disisi lain mana mampu pasangan muda beli rumah kalau ga ngutang, tapi disisi lain takut riba juga. Hmmm aku jadi rajin menghitung akhir-akhir ini.

Simulasi pendanaan beli rumah:
1. Beli Cash ---> tapi ga punya cukup uang kalau pakai uang sendiri
2. Cari yang second, yang orangnya butuh cepat (ini agak untung-untungan, uangnya juga belum tentu cukup)
3. Ngontrak, ngumpulin uang baru beli tanah dan bangun ---> kelamaan, harga tanahnya nanti naik, dan uang kontrakannya sayang :( .
4. Kumpulin uang 3 tahun ini dan beli tanahnya aja dulu. ya ngumpulinnya berdua, jangan sendiri aja. Dan buat bangun, sisa uang dari beli tanah, atau minjam duit mertua mungkin wkwk, dan dicicil bayarnya (daripada nyicil ke bank, ye kan?).
5. KPR, ---> ngutang lama banget, lebih mahal dari harga build sendiri, dan repot kalau pasangan yang anti riba, pasti kaga mau. Ngutangnya kelamaan juga.
6. KPR syariah, embel-embel ga riba, tapi justru jadi ladang bisnis banget buat developer atau pihak yang sama si banknya, harganya lebih mahal di banding KPR biasa.

Setelah itung-itung mengitung, aku prefer pengen metode 4. Ya ngumpulin uang dulu, ga apa-apa deh aku harus ngirit, atau ga beli baju baru dsb, karena aku ga gitu ngiler sama baju, tas, cuma kalau lihat rumah aku sangat-sangat ke pengen banget, atau ga apa2 deh nikah tanpa resepsi juga wkwk, asal biayanya bisa buat bikin rumah.

Akhirnya cobalah itung-itung lagi, berapa perkiraan budget dan sebagainya. Kira-kira beli tanah 45 m2, trus aku modelin 3D, dengan bekal kemampuan pemodelan 3D seadanya, ya cukup sih, dapat 2 kamar di bikin bertingkat dan sedikit halaman belakang.
Berikut inilah gambar-gambar imajinasi yang kutuangkan dengan pemodelan 3D:

ruang makan yang menghadap ke taman belakang, ingin deh nanam-nanam di belakang itu


living room, dan dapur mini

Ini tampah perspektif dari living room, sengaja di desain tanpa sekat biar terlihat lapang dan sirkulasi udara dan cahaya jadi lancar, jadi akan minim penggunaan energi litstrik jadi bisa eco friendly. Pemodelan tangganya agak sedikit salah, tapi tak apa yang penting bisa disimulasikan. Lumayan deh ini siapa tau bisa diajukan sebagai proposal peminjaman uang ke mertua ya nanti kalau udah punya pasangan wkwk.

living room yang merangkap jadi ruang tamu juga, kalau tamunya rame bisa di tambah stool aja sebagai tempat duduk

kamar tamu, atau anak deh kalau udah punya anak

balkon lantai 2, toilet dan semua kamar dilantai 2

Tampak Eksterior dari luar

Karena mengerjakan ini, aku sampai lupa tidur dan baru kelar sekitar subuh, agak sedikit memutar otak sih memang, dikarenakan tanah sangat sempit dan budget pas-pasan, namun tetap ingin terlihat artistik dan minimalis, di postingan berikutnya aku ingin bikin hitungan berapa rencana anggaran biaya untuk rumah seperti ini. Yap itulah hayalanku yang baru ku tuangkan dalam bentuk digital saja, actionnya sekarang nabung dulu. Terima kasih sudah menyimak artikel sederhana ini.



Friday 5 July 2019

Me Time

Ada orang yang takut dan benci banget rasa "sendirian". Buat gue "me time itu penting". Sebulan belakangan sebetulnya gue kehilangan waktu me time gue secara drastis, banyak di habiskan untuk bekerja, pekerjaan sampingan, dan relathionship (pertemanan, dan sejenisnya). Gue merasa emosi gue enggak stabil, dan banyak uring-uringan. Segitu berartinya me time buat gue.

Saat me time gue bukan ga produktif sama sekali, tapi justru gue produktif, misal bersihin kamar, rapih2 di kosan, dan sederet aktivitas lain self care misalnya ya ngerawat diri lah. Dalam hidup pada kenyataannya kita memang butuh keseimbangan, kalau ada 1 atau 2 dari keseimbangan itu terganggu pasti akan berdampak pada emosi yang tidak stabil, atau malah stress.