Wednesday 8 May 2019

Sharing Pengalaman Seleksi Substansi LPDP tahun 2018

Tahun 2019 LPDP baru saja membuka pendaftaran seleksi beasiswa. Menurut info yang saya baca, ada beberapa perubahan seleksi tahun 2019 dengan 2018 lalu, yang mana dikabarkan sudah tidak ada LGD lagi. Karena batas seleksinya akan berjalan, maka perlu persiapan yang matang agar hasil seleksi tersebut sesuai dengan yang di harapkan. Kali ini penulis sedikit-sharing-sharing mengenai gimana seleksi substansi LPDP:
1. Verifikasi Berkas
Semua berkas yang di submit pada seleksi administrasi akan verifikasi oleh panitia seleksi LPDP. Pada bagian ini tak perlu persiapan yang aneh-aneh memang yang penting semua berkas asli yang di submit lengkap dan tak kurang satupun. Jangan lupa siapkan materai 6000, jaga-jaga saja siapa tau di butuhkan (di butuhkan bagi yang sudah memiliki LOA dan melakukan defer mulai kuliah semester berikutnya)

2. Wawancara
Ini adalah bagian yang paling mematikan dan mencekam pada seleksi LPDP. Pada wawancara inilah penilaian terbesar pada seleksi substansi. Berikut adalah hal-hal yang perlu di perhatikan saat wawancara:
1. Pakaian/penampilan
  Yang penting formal, sopan dan rapi. Tak ada ketentuan khusus dari LPDP. Banyak yang menganjurkan untuk menggunakan batik, tapi saat tes LPDP saya hanya menggunakan kemeja putih, bawahan hitam, dan flat shoes. Tapi parahnya pas wawancara aku kebagian jadwal wawancara pagi, dan telat bangun, saat itu aku ga mandi (serius), aku cuma cuci muka dan sikat gigi wkwk, mohon jangan di tiru ya.

2. Sikap
   Sebelum mulai wawancara salami ketiga pewawancara, ingat namanya dan senyum. Duduk yang tertib, tegap, tatap mata pewawancara dan simak dengan baik apa yang di sampai kan wawancara. Ketika memperkenalkan diri, perkenalkan diri dengan baik, sampaikan tujuan kenapa ingin melanjutkan S2. Misal:
"Perkenalkan saya Annisa Wisdayati, saya berasal dari Padang. Saat ini saya bekerja sebagai junior civil engineering di salah satu konsultan teknik sipil di Bandung .".

3. Menjawab Pertanyaan
    Durasi wawancara saya saat itu selama 1 jam. Awal wawancara setelah perkenalan dengan pewawancara saya langsung di sergap dengan topik thesis, TA S1, alasan S2, kenapa memilih judul itu, alasannya, pandangan saya tentang infrastruktur. Bahkan saya di berikan study kasus, dan di minta menjawab. Lanjut pewawancara ke 2, disini saya lebih banyak di tanya-tanya mengenai pengalaman organisasi, keseharian, terus kontribusi di masa lalu, saat ini, dan ke depannya, misal "kalau mau jadi dosen, dosen dimana?", lanjut pewawancara ke 3, disini saya agak di bantai karena TA saya bukan penelitian, terus juga di tanya-tanya mengenai organisasi "kamu ngapain aja selama kuliah?".



Tuesday 7 May 2019

Sharing Pengalaman Kerja di Konsultan Teknik Sipil - Struktur

Aku mengawali pekerjaan setelah 2 bulan lulus dari kampus menjadi junior civil engineer di konsultan teknik sipil di Bandung. Seleksi masuk konsultan juga tidak ketat dan berat layaknya bekerja di BUMN, ataupun perusahaan swasta yang bonafit. Pertama kali bekerja di konsultan, rasanya anxious, khawatir, dan maklum fresh graduate. Konsultan di tempatku bekerja, tidak ada training, atau pelatihan, layaknya karyawan-karyawan baru program MT yang di terima secara banyak, setidaknya punya teman seiringan. Saat itu aku hanya sendiri, tetapi memang ada teman-teman kuliah ku yang lain masuk juga, tetapi mereka sudah bekerja beberapa bulan. 

Kekhawatiranku di perparah dengan background tugas akhirku bukanlah struktur, tetapi manajemen konstruksi. Tapi hal itu mendorongku untuk membaca kembali materi-materi struktur, membiasakan diri dengan program SAP2000, dan yup struggle untuk beradaptasi. Yang penting punya kemauan untuk belajar.

Selama di konsultan aku jadi banyak belajar, dan aku menyadari bahwa rasanya belajar di bangku kuliah saja tidaklah cukup, di bangku kuliah banyak persoalan yang di sederhanakan dan tak banyak resiko jika salah. Di pekerjaan, kita mestilah hati-hati dan memahami wujud benda yang di desain. Rasa ingin tahu, keinginan untuk terus belajar, membaca literatur, membaca code, bertanya pada senior, dan skill komunikasi dengan berbagai pihak sangatlah di perlukan.

Ketika bekerja, hak kamu sebagai karyawan adalah gaji. Gaji bekerja di konsultan memang tidak akan sebesar bekerja di kontraktor, bumn, dan perusahaan swasta bonafit. Ya cukup buat biaya hidup sehari-hari, tiket pulang kampung dan sedikit menabung. Namun memang sayangnya, di konsultan kurang dalam hal jaminan pada karyawannya, seperti jaminan kesehatan, asuransi, dan sebagainya. Walaupun bekerja dalam ruangan, tetapi tetap saja memiliki resiko terhadap terganggunya kesehatan, entah itu karena stress ataupun terganggunya penghlihatan yang diakibatkan lama di depan layar komputer.

Beban kerja, tentatif, biasanya yang senior beban kerjanya lebih besar dan salary yang mereka dapatkan pun juga lebih besar. Disaat pekerjaan di kejar deadline, memang terkadang mengharuskan kita lembur, dan sangat hectic. Namun ada juga masa santainya sesekali, tapi jarang juga santai sih. Tetapi lebih flexible di bandingkan perusahaan seperti BUMN. Karena disini banyak juga mahasiswa yang bekerja sambil kuliah. Jadi memang, ada suatu toleransi jika tidak ngantor 8-5, yang penting komunikasi lancar.

Intinya sih, setiap tempat kerja, dan pekerjaan yang di lakoni ada kurang dan ada lebihnya. Cukup sekian sharing dari Annisa. Kalau ada kritik, komentar, ataupun saran silahkan tuliskan komentar.

Saturday 4 May 2019

Nikah Muda

Sebetulnya postingan aku tentang nikah muda ini, bukan karena aku telah menjalani nikah muda wkwk, aku sama sekali belum menikah. Ini hanya pandanganku tentang nikah muda. Beberapa kali aku mendapat saran ataupun pernyataan tentang anjuran menikah "kalau udah nemu parnert hidup, ataupun pasangan cocok, solusinya ya menikah. make it simple", itu kata mereka. Namun pikiran yang berkelabat di kepalaku bukan se simple itu. Nikah bukan cuma tentang kamu dan dia, tapi tentang kehidupanmu dan kehidupannya. 

Ketika buka instagram, seringkali berkeliaran foto-foto teman yang nikah, ada yang lagi hamil, dan ada juga yang udah lahiran. Aku bahagia melihat mereka, bukan iri. Tapi bukan berarti aku tak pernah ingin memiliki kehidupan seperti itu juga, tapi ga se simple itu. Masa lalu dan pengalaman kehidupan setiap orang beda-beda. Kedua hal itulah yang membuat aku berpikir bahwa membangun rumah tangga itu ga simple. Kehidupan setelah menikah, bukan hanya enak-enak di atas ranjang, tetapi juga jutaan konflik yang mesti di selesaikan.

Aku tidak pernah menyalahkan atau kontra terhadap orang yang menikah muda, tapi aku hanya menjelaskan bahwa itu tidak cocok jika jalani oleh diriku, dan itu terang-terangan aku beri tahu pada seseorang yang aku suka. Banyak perempuan yang mendesak pasangan atau pacarnya untuk segera menikahinya, sementara pasangannya belum siap secara finansial, aku mengerti mengapa banyak perempuan melakukan itu, karena beberapa alasan, umur yang udah makin menua, takut dosa dan sebagainya. 

Bukan matrealistis ataupun bagaimana, menjalani kehidupan berumah tangga memang ga cukup hanya dengan cinta, walaupun cinta memang landasan yang penting. Tapi setidaknya, coba lah belajar mengestimasi, apakah cukup safe dengan keadaan yang ada untuk menjalani rumah tangga?. Untuk menikah, memang tak harus punya rumah dulu, tapi setidaknya perkirakan apakah pendapatanmu bisa menghidupi minimal dirimu berdua saja dulu?, minimal apakah kamu sudah bisa mengelola keuanganmu secara baik?, kalau masih di support orang tua terus-menerus sampai kapan?. Biaya akan semakin lebih besar ketika kamu punya anak, biaya melahirkan, biaya pendidikan anak dan sebagainya?.

Teman-temanku yang sudah menikah, memang rata-rata mereka sudah mampu secara finansial, atau minimal suaminya punya usaha ataupun pekerjaan yang bagus, atau separah-parahnya punya keluarga yang siap siaga menyuport keadaannya ketika jatuh. Menurutku, ya pantas-pantas saja mereka menikah muda. 

Tapi keadaan orang lain belum tentu cocok dengan diri kita kan?. Kalau aku memang memilih untuk selesai dengan diriku sendiri dulu, pengalaman masa lalu masih membuatku trauma untuk menjalani pernikahan di bawah umur 26 tahun. Aku tidak ingin anak-anakku kelak merasakan hidup terlalu keras, aku ingin memutus mata rantai kesulitan finansial di keluargaku. Sebetulnya, seburuk-buruknya kondisi ekonomi keluargaku, kami tidak pernah berhutang, ataupun meminta-minta pada orang lain ataupun saudara, namun pada kenyataannya tetap saja sering di hina, di caci, di remehkan, direndahkan oleh keluarga sendiri, bahkan aku di perlakukan hampir seperti pembantu di rumah nenekku sendiri di masa kecil hingga remaja. Hinaan paling pedih yang pernah ku terima bahwa diriku tak punya masa depan, dan tidak akan sekolah tinggi. Bukan dendam, tapi kata-kata itu sering kali masih tergiang di telingaku. Itulah yang mendasari mengapa aku tidak memiliki kecendrungan untuk nikah muda.


Thursday 2 May 2019

Biaya yang di butuhkan untuk menyekolahkan 1 orang anak di Bandung

Kemaren tanggal 2 Mei, yaitu di peringati sebagai hari pendidikan nasional. Tiba-tiba di kepalaku melayang sebuah pikiran, "sanggup ga ya kalau suatu hari nanti aku menyekolahkan anak-anakku hingga lulus S1?". Ku coba hitung-hitung, dengan pendekatan berbagai asumsi, berikut asumsi-asumsi yang ku pergunakan. 
1. Anak, masuknya ke sekolah negeri. 
2. Ga pakai bimbel atau privat, kalau di rumah cukup maknya aja yang ngajarin dia.
3. Ga perlu masuk play group atau taman kanak-kanak.
4. Anaknya ga ngabisin duit buat pacar-pacaran dan sebagainya
5. Investasi pendidikan, dimulai sejak anaknya kelas 1 sd aja. Jadi sebelum masuk sd orang tuanya fokus invest buat beli rumah sederhana buat keluarga kecil mereka.
6. Kenaikan pendapatan orang tua, 10% pertahunnya dan dari pendapatan tersebut 30% nya di investasikan untuk pendidikan anak dengan profit investasi 5% - 10%  pertahunnya
7. Lokasi yang di jadikan object, kota Bandung
8. Hidup anaknya udah minim banget nih, kasian  kan ya wkwk

Berikut perhitungan biayanya: (biaya tersebut include jajan, spp, uang masuk, dan uang bukunya yang sudah di rata-ratakan)

KONDISI 1 tanpa investasi

1. SD ----> Rp. 600.000/bulan x 12 bulan x 6 tahun 
2. SMP ----> Rp. 900.000/bulan x 12 bulan x 3 tahun x 1.1^6 
3. SMA ----> Rp. 1.200.000/bulan x 12 bulan x 3 tahun x 1.1^9
4. S1 (ITB-teknik) ----> UKT ----> Rp. 12.500.000/semester x 8 semester x 1.1^12
                              ----> Biaya bulanan ----> Rp. 1.500.000/bulan x 12 bulan x 4 tahun x 1.1^12

=Rp. 742.271.597 
di bulatkan, Rp. 741.300.000 (mohon koreksi lagi ya)

Berikut perhitungan penghasilan yang di alokasikan untuk seorang anak dan pendidikannya. 
Asumsi pendapatan keluarga Rp. 8.000.000, 30% x 8.000.000 = 2.400.000

1. SD ----> Rp. 2.400.000/bulan x 12 bulan x 6 tahun 
2. SMP ----> Rp. 2.400.000/bulan x 12 bulan x 3 tahun x 1.1^6
3. SMA ----> Rp. 2.400.000/bulan x 12 bulan x 3 tahun x 1.1^9
4. Kuliah ----> Rp. 2.400.000/bulan x 12 bulan x 4 tahun x 1.1^12 


=  891.136.500
dibulatkan, Rp. 891.150.000

sisa uang 148,8 juta

Kalau orang tua ga investasi sama sekali,  cuma bisa buat biayain 1 org anak, dengan asumsi

KONDISI 2, investasi, profit 5%

Coba kita hitung lebih detail ya, betapa pentignya investasi jauh-jauh hari:

1. SD ----> Rp. 2.400.000/bulan x 12 bulan x 6 tahun - Rp. 600.000/bulan x 12 bulan x 6 tahun
= Rp. 129.600.000 ----> masuk investasi ----> di invest selama 11 tahun
2. SMP ----> Rp. 2.400.000/bulan x 12 bulan x 3 tahun x 1.1^6 - Rp. 900.000/bulan x 12 bulan x 3 tahun x 1.1^6 = Rp. 95.664.294 -----> di invest selama 7 tahun
3. SMA ----> Rp. 2.400.000/bulan x 12 bulan x 3 tahun x 1.1^9 - Rp. 1.200.000/bulan x 12 bulan x 3 tahun x 1.1^9 = Rp. 101.863.340 -----> di invest selama 4 tahun.

Total nilai investasi saat anak sudah kuliah:
= Rp. 129.600.000 x 1.05^11 + 95.664.294 x 1.05^7 + 101.863.340 x 1.05^4 = Rp.
480,084,776

Sisa uang pas anak ini lulus S1 jika melakukan investasi = Rp.
480,084,776.05 
 - Rp. 12.500.000/semester x 8 semester x 1.1^12 - Rp. 1.500.000/bulan x 12 bulan x 4 tahun x 1.1^12 = Rp. 301.822.044

Ternyata dengan pendapatan segitu, hanya bisa menyekolahkan 1 orang anak. 
Oh God, ternyata sulit ya membesarkan seorang anak di kota besar. 

Padahal pengen bisa punya minimal 2 anak wkwk.

KONDISI 3, investasi dengan profit 10%

Jadi investasinya harus cari yang agresif nih, dengan profit 10%
1. SD ----> Rp. 2.400.000/bulan x 12 bulan x 6 tahun - Rp. 600.000/bulan x 12 bulan x 6 tahun
= Rp. 129.600.000 ----> masuk investasi ----> di invest selama 11 tahun
2. SMP ----> Rp. 2.400.000/bulan x 12 bulan x 3 tahun x 1.1^6 - Rp. 900.000/bulan x 12 bulan x 3 tahun x 1.1^6 = Rp. 95.664.294 -----> di invest selama 7 tahun
3. SMA ----> Rp. 2.400.000/bulan x 12 bulan x 3 tahun x 1.1^9 - Rp. 1.200.000/bulan x 12 bulan x 3 tahun x 1.1^9 = Rp. 101.863.340 -----> di invest selama 4 tahun.

Total nilai investasi saat anak sudah kuliah:
= Rp. 129.600.000 x 1.1^11 + 95.664.294 x 1.1^7 + 101.863.340 x 1.1^4 = Rp.
705.324.687

Sisa uang pas anak ini lulus S1 jika melakukan investasi = Rp.
705.324.687 
 - Rp. 12.500.000/semester x 8 semester x 1.1^12 - Rp. 1.500.000/bulan x 12 bulan x 4 tahun x 1.1^12 = Rp. 527.061.955

sisanya ini bisa sih digunain buat anak ke-2, tapi mesti dikasih jarak sekitar 5 tahunan dengan kakaknya wkwk.

Itulah sekiranya estimasi biaya dari penulis mengenai pendidikan anak. 

Salah ataupun kurangnya, tolong berikan masukan di kolom komentar.

Ingin menekankan sedikit, kenapa penulis terinspirasi menulis tulisan ini, menurut data lebih dari 30% perceraian rumah tangga disebabkan oleh masalah finansial. Sehingga untuk membangun rumah tangga itu perlu yang namanya persiapan, bukan siap mental dan usia saja, finansial menjadi faktor yang sangat penting di perhitungkan. Apalagi buat kamu yang menjadi generasi sandwich, ini akan menjadi lebih sulit lagi. Memang saat kita single dan muda hal-hal seperti ini ga akan terasa, tapi setelah memiliki anak, akan terasa sekali. Memang rezeki itu datangnya dari Allah, tapi kita nggak pernah tahu kan yang Allah tetapkan setiap hari dan setiap bulannya berapa?. Jadi melakukan estimasi itu tidak ada salahnya, agar kita lebih siap, dan menghindari resiko-resiko terburuk yang hadir dimasa depan. 

FYI:
Berikut nilai inflasi 20 tahun terakhir dapat di cek di  https://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/bi-dan-inflasi/Contents/Penetapan.aspx

Sebetulnya aku bukan untuk nakut-nakutin, atau membuat kecemasan pada diriku dan orang lain. Tulisan ini hanya sekedar pengingat atau membuat kita melek dan sadar akan pentingnya perencanaan finansial. Jangan sampai demi hidup di hari ini, membuat kita lupa akan hidup di masa depan. Saya tahu persis generasi millenial tidak suka dengan wejangan seperti ini (padahal akupun generasai millenial juga wkwk).