Sunday 19 February 2023

Definisi Bahagia

Waktu kecil dulu, bisa merasakan es krim kesukaan, makan makanan favorit, bermain bersama teman-teman, rasanya sudah cukup membahagiakan hati sepanjang hari. Banyak hal-hal sederhana yang ternyata menyenangkan, yang mana ketika dewasa definisi kebahagiaan pun berubah. 

Ketika masuk masa sekolah, rasanya bahagia sekali bisa juara kelas, dapat nilai tertinggi di kelas, di puji guru karna pintar, di kagumi teman-teman sekolah, atau dikirimi surat cinta dari kakak kelas yang naksir. Dan bahagia sekali ketika di terima masuk salah satu kampus terbaik di negeri ini, banyak orang yang mengucapkan selamat atas pencapaian tersebut.

Ketika kuliah, bahagia sekali ketika mendapat nilai A, atau nilai UTS yang mendekati 100, atau argumen di kelas di puji oleh dosen, bahagia ketika libur semester dan bisa jalan-jalan. 

Lulus kuliah, bahagia saat mendapat pekerjaan dan gaji, dan bisa melihat suatu nominal di rekening tabungan. Bahagia mendapat beasiswa, dan bahagia saat dapat extra income. Setiap level fase kehidupan trigger rasa bahagia itu menjadi berubah-ubah. 

Di usia menjelang umur 30 tahun, suatu pencapaian kebahagiaan yang seakan-akan disepakati orang secara bersama-sama adalah memiliki pasangan hidup dan memiliki keturunan. Lantas, apakah karena itu menjadi tidak bahagia dan tertekan?. Kalimat pertanyaan tersebut menjadi penjaga kewarasanku ditengah gempuran undangan pernikahan dimana-mana. 

Aspek yang mempengaruhi kebahagiaan setiap manusia itu berbeda-beda, bahagia yang pernah aku rasakan ya mungkin seperti cerita diatas, tapi bagi orang lain ya bisa jadi beda. Alangkah menyakitkannya hidup ini jika aku mendefinisikan kebahagiaanku sesuai standar kebahagiaan orang lain seperti menikah misalnya. Ketika aku tidak bisa mencapai itu di usiaku yang sebentar lagi memasuki 28 tahun, itu bukanlah kesalahanku, aku sudah berusaha membuka diri, mencari pasangan yang cocok, dan terus memperbaiki diri. Kegagalan dalam hubunganku sebelumnya bukan berarti aku tak berkualitas, bukan berarti aku aneh, mungkin saja aku salah dalam algoritma pencariannya selama ini sehingga yang muncul kharakter laki-laki yang seperti itu lagi dan lagi. 

Lalu apakah aku harus panik dan terus memecuti diriku untuk memiliki pasangan di usia sebelum 30? tidak begitu konsepnya. Menikah itu bukanlah standar kesuksesan tetapi hanya salah satu bagian fase hidup yang dijalani manusia untuk melestarikan keturunannya, tetapi tidak semua manusia melewati fase itu contohnya saja bagi mereka yang mati muda dan belum menikah. Menikah butuh kesiapan, ilmu, butuh kemapanan dalam emosional, dan finansial. Ketika dalam perjalanan usaha belum menemukannya, bukan berarti hidup ini akan selesai disitu. Bisa jadi dengan tertundanya meraih itu, jadi punya waktu lebih bersama diri sendiri, punya waktu lebih untuk mengembangkan karir, punya waktu lebih untuk selesai dengan diri sendiri dulu. Menikah itu ya sama orang yang membuat kita tertarik dan yakin mengarungi hidup bersama dia, bukan untuk ikut-ikutan.

Pernah gagal dalam 1 aspek kehidupan, bukan berarti tidak bahagia dan seakan-akan gagal dalam hidup. Banyak aspek kehidupan yang bisa memunculkan kebahagiaan, ada karir, pendidikan, agama, keuangan, keluarga, kesehatan dan lain-lain, tidak hanya relationship saja. 



No comments:

Post a Comment