Wednesday 7 February 2018

Belajar Sketch Up

Sketch Up merupakan salah satu program yang dapat digunakan untuk menapilkan perspektif 3 dimensi dan sangat banyak sekali manfaatnya. Sehingga saya mencoba membuat rumah minimalis dengan sketch up dengan versi sketch up trial.

Tuesday 6 February 2018

Pak Nazwir,




Struggling (Berjuang) dari Jeritan

Setiap dari kita waktu kecil pasti pernah merasakan momen ketika kita belajar berjalan. Mula-mula kita belajar membalikan tubuh dari tidur panjang, pelan-pelan merangkak, setelah itu belajar duduk, dari duduk belajar berdiri dengan berpegangan, lalu pelan-pelan melepas pegangan dan mulai melangkahkan kaki hingga mampu berlari. Dari kecil kita sudah belajar artinya berjuang, tetapi kita yang kecil dahulu tidak pernah mengeluh (karena kita tidak tahu cara mengeluh) ketika mencoba berjalan dan jatuh. Sakit memang, kitapun menangis, namun tak jera mencoba lagi hingga akhirnya mampu berdiri.

Yup, berjuang ini saya rasakan pula, di masa-masa akademik saya. 

1. Masuk SMA N 1 Pariaman
Kuis mata pelajaran komputer terendah di kelas, remedial fisika, merasa malu tidak dapat mengerjakan soal fisika di depan kelas, dan berbagai remedial di kelas 1 SMA dialami, merosot memang dari juara 1 umum di SMP menjadi remedian di kelas unggul SMA. Tetapi dari keterjatuhan ini belajar artinya berjuang, ah itu pemanasan, seseorang memang perlu beradaptasi dengan lingkungan baru. Saya bangun dari keterpurukan, Ulangan fisika semester 2 tidak lagi remedi. Masuk Semester 3 SMA, waktu itu saya satu2nya yg mendapatkan nilai ulangan fisika pertama di semester itu, sang guru fisika memuji saya karena saya sangat berjuang, yup guru fisika ku buk Yesi menyaksikan sendiri mataku sudah berkaca-kaca, lutut ku melemah ketika tidak mampu mengerjakan soal fisika yang sangat mudah. Hingga di kelas 2 SMA percaya diri, selalu mengangkat tangan ketika soal fisika di berikan.

2. TPB ITB
Memulai kehidupan merantau dari Sumatera ke Jawa. 1 Minggu ibu menemaniku d Bandung, kemudian meninggalkanku di sebuah Asrama. 1 Minggu perpisahan itu, "bu, bagaimana kalau kita pulang saja, dan melupakan mimpi ini?. Aku masih belum mampu membayangkan hidup sendiri disini", air mata menyusuri hingga membasahi jiwa yang penuh ketakutan ini. Ibu selalu support aku dan meyakinkan aku bahwa aku mampu berjuang disini.

2 bulan kemudian aku memasuki hari-hari akademik di ITB. Menjerit rasanya memahami praktikum pemrograman yang tidak di mengerti akan mengetik apa. Nilai praktikum pertamaku, 46 skala 100. Kemudian bertubi-tubi dengan UTS. UTS fisika ku 53, tapi aku bersyukur itu rata-rata kelas, setidaknya bukan aku yang terbodoh, karena aku merasa diriku terbodoh di kelas saat itu. Nilai UTS kalkulus 74, yeay ini diatas rata-rata ya AB lah. Aku pun semakin berjuang walaupun tidak mendapatkan 1 pun huruf A di semester itu, alhamdulillah IP diatas 3. Semester 2 IP ku meningkat.

3. Teknik Sipil ITB
Semester awal masuk Sipil, kembali menjerit lagi dengan keadaan baru, dan jadwal yang sangat sibuk. Kuliah, Praktikum, Kuis Matrek yang menyiksa 2x seminggu, Ospek, dan Tugas yang bertubi-tubi. Pelan-pelan di jalani, berjuang, akhirnya terbiasa dan mampu beradaptasi. Hingga semester 4 dan berikutnya dapat mempertahankan IP diatas 3,5 dari yang awalnya menjerit-jerit.

Satu hal yang ingin di tekankan disini, saya bercerita ini bukan pamer, saya bukanlah mahasiswa yang pintar ataupun jenius yang dari awal akademinya stabil diatas 3,5. Semuanya saya awali dengan jeritan, merasa tidak mampu, merasa tidak akan mampu saya menjalaninya hingga akhir, namun mental saya selalu ingin berjuang, yup awalnya memang semua terasa menyiksa karena kita keluar dari zona nyaman, namun pelan-pelan kita beradaptasi. Yup, percaya atau tidak, setiap orang saya yakin pasti pernah merasakan posisi yang menjerit-jerit wkwk.












Kehidupan Pasca Kampus

Apa yang kamu pikirkan ketika revisi tugas akhir selesai, toga sudah di tangan, beberapa hari lagi aka di wisuda???. Saat itu saya berpikir yeay, alhamdulillah, saya bebas dan terlepas dari belenggu kuliah, saya akan tidur nyenyak tanpa gangguan dan begadang setiap malam mengerjakan tugas akhir. Saya pun dan teman2 merayakan keberhasilan ini dengan berfoto-foto prawisuda dengan background labtek kembar ITB yang sangat khas itu, melempar-lempar toga layaknya iklan susu indo*ilk dahulu kala.

Yup ternyata yang saya pikirkan tersebut benar, tetapi hanya sampai minggu pertama setelah di wisuda. Ketika saya wisuda, keluarga sayapun datang dari Sumatera, dan mereka meninggalkan sekolah dan kerja demi hari baik saya yang akan di lepas menjadi pengangguran. Arak-arakan wisuda pun tak kalah meriah, hingga hujan pun memisahkan ku berteduh di bawah sekre. Tulisan "Daripada ragu, lebih baik pulang", berada di Punggung kami yang sangat bahagia di hari menjadi wisudawan, sekaligus bersedih melepas status kami sebagai mahasiswa.

Minggu pertama pun berlalu, aku meminta waktu untuk tidak pulang ke rumah lantaran ingin menyelesaikan tanggung jawabku sebagai asisten, sekaligus mencoba peruntunganku di rantau orang. Mendaftar kerja di jobfair, psikotes, interview dan lain-lain di jalani demi sebuah masa depan. Tetapi belum berhasil, memasuki bulan kedua pun masih struggle untuk ikut seleksi beberapa BUMN. Memasuki 1.5 bulan pengangguran, tidurpun sudah mulai tidak nyenyak, orang tua pun sudah mulai meminta pulang jika blm ada pengharapan disana, dan perasaan tidak enak pun karena sudah membebani org tua sudah mulai menghantui. Akhirnya saya memutuskan, yup saya harus bekerja. Akhirnya alhamdulillah saya sangat bersyukur di terima di salah satu konsultan di Bandung, lokasinya pun tak jauh dari kosan saya yang membuat saya senang pulang pergi kerja dengan berjalan kaki. Disini saya bekerja tidak sesuai dengan bidang peminatan saya di teknik sipil (manajemen konstruksi), justru saya bekerja di bidang struktur. Yup di luar zona nyaman bukan?, tetapi justru saya mendapatkan banyak sekali ilmu struktur disini. Ya alhamdulillah saya sudah 2 bulan bekerja disini, semoga seterusnya saya tetap terus enjoy dengan apa yang saya jalani di hari berikutnya. Dengan bekerja di konsultan, saya merasakan hari-hari saya lebih produktif, ilmu saya bertambah, saya tidak lagi stress seperti 1,5 bula pengangguran lalu, ternyata saya salah, dunia pasca campus yang saya pikir akan bebas dari kesibukan, justru membuat saya merasa tidak nyaman, karena saya terbiasa memiliki kesibukan.



Friday 2 February 2018

Menghargai Perbedaan

Tulisan ini tiba-tiba ingin saya posting di tengah kejengahan defenisi kebenaran di dalam kehidupan anak gaul kota. Saya bukan anak gaul, saya bukan berasal dari kalangan manapun, saya mencoba independen dalam pemikiran sendiri yang disebut orang aneh. Bagi sebagian orang ia akan merasa aneh ketika berjalan sendirian kemana-mana dan merasa naas, but me, berjalan kaki sambil berangkat kerja sambil melihat orang lain dan menebak apa yang dipikirkan setiap orang yang saya lihat itulah yang menjadi rutinitas saya setiap pagi akhir2 ini. 

Saya sering mendengar pembicaraan orang di sekitar saya membicarakan orang lain, entah karena orang lain itu aneh, menyebalkan atau entah bagaimana, saya tidak tahu, karena saya tidak ingin membicara entah itu kejelekan orang lain bagaimana. Bukan saya munafik, tetapi entah sayapun merasa pasti di dunia ini ada atau sering orang lain membicarakan saya entah di belakang atau di depan saya, entah itu karena kekurangan saya atau hal lainnya.

Saya sebagai individu ya pernah merasa juga orang lain itu aneh, cuma hal itu tidak ingin jadi bahan pembicaraan antara saya dan lawan bicara saya lainnya dan bahkan menjadi buli-bulian agar orang menjadi tertawa di satu meja. Ketika menghadapi kekurangan orang lain, saya lebih senang memberitahunya, atau memakluminya saja. Setiap orang di dunia ini pasti punya aib, apalagi diri kita yang jauh dari kesempurnaan ini. Yup satu hal prinsip saya, Allah telah mencoba menutupi aib saya, dan saya tidak ingin menjadi sumber pembuka aib orang lain, ya itu saja.

Biarlah saya dianggap tidak asik, kaku, tidak gaul, atau apapunlah orang lain menganggap saya tidak peduli. Yang saya inginkan adalah satu, marilah kita coba buka bahwa yang namanya perbedaan itu ada, mau tidak mau ya kita harus menerimanya. Di dunia ini tak akan ada orang yang sama, bahkan anak kembar sekalipun, karena itu setiap manusia pasti punya keunikan. So, kita nggak bisa menganggap orang lain itu aneh, atau jangan-jangan tanpa kita sadari ketika kita men judge seseorang aneh, justru kitalah yang sesungguhnya aneh, dan ada sesuatu yang bermasalah di dalam diri kita. Ya janganlah sekiranya lisan kita ini dapat merusak, atau ya mengolok2 orang lain, banyak hal yang bermanfaat yang dapat kita bicarakan. Yup, sebisa mungkin jagalah lisan, karena ia sangat tajam dan dapat melukai siapapun. Apapun yang kita ucapkan, kita lihat, kita dengar, dan kita rasa hari ini semuanya akan dipertanggung jawabkan kelak.

I know you will say "ah sok muna lo", "ah teserah", "ah, lo aja kali". Oke apa pun itu, aku tak peduli.


Tuesday 30 January 2018

melawan kesedihan

Siapa yang tidak pernah sedih di dunia ini?? ya siapapun pasti pernah merasakannya, begitupun aku. Hidup terkadang memang tidak dapat mengikuti apa yg kita mau. Tidak semua harapan dan keinginan kita dapat terwujud, ya kita hanya bisa mengusahakan yang terbaik apa yang kita bisa, itulah takdir.

Kita tidak mampu mengubah takdir yang telah terjadi. Tetapi kita bisa mengusahakan takdir yg baik yang akan terjadi, itulah ikhtiar. Berdamailah, bahwa keinginan tak harus di dapatkan hari ini. Bahwa doa tak harus terkabul hari ini. mungkin besok atau lusa, mungkin saja doa2mu telah sampai di surga kelak, terus berusaha, berdoa dan berpengharapan pada-Nya.

Tulisanku ini bukan mencoba untuk menggurui dirimu, aku hanya menasehati diriku yang bersedih.

Monday 29 January 2018

Pelajaran hidup dari film Jembatan Pensil

Alhamdulillahirrabil alamin... 
Saya sangat bersyukur telah menamatkan kuliah S1 saya dan mendapat gelar sarjana. Alhamdulillah saya di berikan Allah kemudahan untuk menuntut ilmu... 

Di postingan ini saya tidak membahas tentang sinopsis filmnya, tetapi saya akan bercerita tentang apa yang pikirkan tentang film ini. Banyak bagian2 cerita yang menyentuh sisi emosial dari diri saya. Latar ceritanya berada di Pesisir Pantai, saya seperti flashback kembali ke masa kecil saya di waktu SD, saya di besarkan di lingkungan pesisir Pantai. Tetapi kampung dimana saya tinggal jauh lebih maju dimana sudah banyak sekolah terdapat disana.

Mungkin bagi sebagian kita tidak begitu sulit memperoleh pendidikan, tetapi dari filmnya kita melihat bahwa masih ada banyak orang yang mendapatkan pendidikan SD saja susah, hanya 1 bahkan sekolah di desa tersebut, guru pun juga hanya 1, dan tak ada yang membayar. Perjuangan mereka pun untuk bersekolah sangatlah susah, bertaruh nyawa melewati jembatan lapuk yang sudah rusak. Tapi ini bukan hanya film, tapi benar adanya. Pendidikan belum mampu menyentuh semua elemen masyarakat.

Tokoh Ondeng, seorang anak laki-laki yang bersekolah di sekolah gratis itu. Dia seorang anak nelayan. Setiap hari ia menabung untuk membuat jembatan untuk temannya. Setiap hari ia menunggu teman-temannya saat menyebrang jembatan, hingga suatu ketiaka jembatan kayu itu roboh, teman-temannya tenggelam, ialah yang menyelamatkan teman-temannya.

Ibunya Ondeng sudah meninggal, ia hanya tinggal bersama ayahnya yang seorang nelayan. Ondeng selalu takut mendengar petir karena mengkhawatirkan ayahnya di laut sana. Ayahnya begitu sayang padanya. Suatu hari tasnya terjatuh di sungai. Ayahnya berjanji untuk membelikan tas yang baru. Kemudian ayahnya pergi melaut, dan ternyata kapalnya terguling, ia pun meninggal. Ya begitulah nelayan, hidupnya di laut, matinya pun di laut. Sebagai anak pesisir pantai, kabar meninggalnya seorang nelayan yang melaut tidaklah asing. Bagian ini sangatlah sedih bagi saya, saya menjadi teringat ayah yang sudah tua, saya sering khawatir dengan keadaan ayah yang sering berpergian ke luar kota ratusan kilometer mengendarai motor, pernah suatu hari ayah kecelakaan, kakinya terluka, saya selalu lirih megingat ini. Perjuangan seorang ayah demi keluarganya. Keinginan saya saat ini adalah saya ingin membahagiakan kedua orang tua saya di sisa umurnya, saya sangat menyayangi mereka.

Kembali ke film, suatu hari Ondeng sakit karena sangat merasa kehilangan ayahnya. Kemudian Ondeng pergi ke laut, tenggelam dan meninggal. Ondeng pernah berpesan kepada gading kawan ayahnya melaut bahwa buatkan jembatan untuk teman-temannya dari uang tabungannya. Akhirnya diakhir cerita jembatan itu dibuat. Saya berharap semoga pemerintah tidak hanya membangun jembatan-jembatan bagus saja sebagai landmark kota, tetapi juga lebih membangun jembatan-jembatan di pelosok desa yang dapat menghubungan desa2 kecil sehingga kemudahan akses ini dapat memudahkan masyarakat dalam mobilitas dan akses dalam berkegiatan. Saat melakukan review design jembatan baja, saya sangat berharap semoga jembatan itu aman, dan dapat bermanfaat bagi masyarakat yang menggunakannya.

Mungkin sekian cerita saya mengenai film ini. Sekian, terima kasih.